Liputan6.com, Grindavik - Tiga rumah di semenanjung Reykjanes, barat daya Islandia hancur lebur bulan lalu. Kala itu, lava cair keluar melalui dua celah yang terbentuk akibat sistem vulkanik Svartsengi.
Dulunya, lokasi ini merupakan desa nelayan yang sangat berkembang dengan populasi kaum muda.
Baca Juga
Kini Grindavik terbengkalai. Penduduknya telah mengungsi dan mulai menyadari bahwa mereka tidak akan dapat tinggal di sana lagi.
Advertisement
Saking tidak pastinya masa depan mereka, seorang perempuan mengatakan, dia berharap rumahnya ditelan lahar saja.
Selama tiga tahun terakhir, kawasan ini telah mengalami lima letusan gunung berapi, dikutip dari BBC, Senin (5/2/2024).
Pada tanggal 10 November 2023, Grindavik dilanda sejumlah gempa bumi dan dugaan adanya magma di bawah kota tersebut, kata pihak berwenang Islandia memerintahkan evakuasi di Grindavik -- rumah bagi sekitar 3.800 penduduk.
Pada hari-hari berikutnya terlihat jelas bahwa beberapa rumah hancur total akibat aktivitas seismik. Warga berharap bisa kembali ke rumah karena frekuensi gempa berkurang.
Namun pada pertengahan Desember, letusan dahsyat terjadi di rangkaian kawah Sundhnuks yang berlangsung selama tiga hari.
"Saya menyaksikan sendiri letusannya, lalu tiga jam setelah letusan terjadi, saya berkendara pulang," demikian pengakuan warga.
"Sepanjang jalan dari ibu kota Reykjavik ke bandara Keflavik yang mengarah ke Reykjanesbaer, saya melihat celah sepanjang hampir 4 km. Lewat celah itu lalu gunung api memuntahkan lava cair. Rasanya seperti sedang menyaksikan gerbang neraka terbuka," katanya.
Kota Grindavik Selamat Sementara Waktu
Kota Grindavik selamat untuk sementara waktu, lantaran letusan terjadi sekitar 3 km (1,85 mil) jauhnya.
Namun retakan tambahan kemudian ditemukan di kota tersebut, mendorong pihak berwenang untuk menutupnya dan mulai memperbaiki infrastruktur yang rusak.
Tragedi ini terjadi pada 10 Januari 2024 ketika seorang pria yang bekerja di kota tersebut terjatuh akibat salah satu celah.
Empat hari kemudian, letusan berbahaya lainnya terjadi di dekat Grindavik.
Dari pusat komando pusat perlindungan sipil Islandia di Reykjanesbaer, penduduk mengaku menyaksikan tayangan langsung letusan rangkaian kawah Sundhnuks.
Dalam minggu-minggu menjelang letusan pada Januari 2024, pemerintah sudah memutuskan untuk mendirikan tembok pelindung dalam upaya mencegah lava mengalir menuju Grindavik dan pembangkit listrik tenaga panas bumi Svartsengi.
Selama beberapa jam pertama, dinding pelindung terbukti membantu. Namun, pada tanggal 14 Januari 2024 warga menyebut muncul celah lain yang terbuka di balik tembok, membuat kota ini benar-benar tidak terlindungi.
Dalam beberapa menit berikutnya, ketakutan warga menjadi kenyataan. Mereka melarikan diri ketika lahar tumpah ke kota.
Sebuah retakan telah terjadi kurang dari 100 meter dari rumah-rumah mereka di Grindavik. Seorang warga mengaku: "Ini adalah bencana alam paling parah yang pernah dialami Islandia selama 51 tahun."
Advertisement
Letusan Gunung Islandia
Islandia diangggap sebagai negeri api dan es, gunung berapi meletus setelah berminggu-minggu dengan aktivitas seismik yang intens.
Hanya bisa melihat pemberitaan di TV, penduduk di Islandia menyaksikan lahar menelan rumah-rumah mereka. Pemandangan yang nyata dan memilukan.
Kini memasuki Februari, penduduk Grindavik tidak dapat tinggal di kampung halaman mereka.
Salah satu contoh Pall Valur Björnsson harus meninggalkan rumahnya di Grindavik menuju Reykjavik dan merasa pemerintah belum cukup berhasil membantu meringankan ketidakpastian yang dirasakan penduduk kota tersebut mengenai masa depan mereka.
“Sejauh ini, semua tindakan dinilai tergesa-gesa dan penuh kebingungan, dan informasi yang diberikan kepada warga Grindavik justru membingungkan masyarakat, bukan menyelesaikan masalah,” keluhnya.
Kehidupan mereka telah berubah sejak 10 November. Mereka belum diberi tanggal kembali oleh pihak berwenang, dan tidak jelas apakah kota tersebut akan aman untuk ditinggali.
Bahkan jika penduduk diizinkan kembali, beberapa dari mereka mungkin terlalu trauma.
“Sudah 80 hari sejak evakuasi dilakukan. Dalam 80 hari tersebut, masyarakat Grindavik belum memiliki rumah,” kata seorang warga yang tak disebutkan namanya.
“Warga kami sedang menderita, dan kami tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya.”