Liputan6.com, Gaza - Zainab al-Zein dihadapkan pada keputusan tidak masuk akal: memberi makan bayi perempuannya dengan makanan padat yang masih belum dapat dicerna tubuh mungilnya atau menyaksikannya kelaparan karena kelangkaan susu formula di Jalur Gaza.
Bagaimana pun Zainab memilih memberi makan putrinya yang baru berusia 2 1/2 bulan, meski tahu hal itu dapat memicu masalah kesehatan.
Baca Juga
"Saya tahu kami melakukan sesuatu yang merugikan dia, tapi tidak apa-apa," tutur Zainab seperti dilansir AP, Kamis (8/2/2024), sambil memberi bayinya biskuit yang dihancurkan di tenda yang kini mereka sebut rumah. "Dia menangis dan menangis terus."
Advertisement
Perang Hamas Vs Israel di Jalur Gaza telah memicu bencana kemanusiaan yang menyebabkan kelangkaan kebutuhan pokok. Bayi dan anak-anak termasuk kelompok rentan yang terdampak, di mana popok dan susu formula sulit didapat atau harganya melonjak membuatnya tidak terjangkau, sehingga para orang tua memilih alternatif yang tidak memadai atau bahkan tidak aman.
Penderitaan mereka semakin rumit karena pengiriman bantuan yang sporadis terhambat oleh pembatasan Israel dan pertempuran yang tiada henti.
Bagi warga Palestina yang mengalami kondisi yang semakin mengerikan, tindakan mendasar seperti mengganti popok anak telah menjadi kemewahan yang membutuhkan pengorbanan.
"Saya menjual makanan anak saya agar bisa membeli popok," kata Raafat Abu Wardeh, yang memiliki dua anak yang memakai popok.
Bantuan tidak menjangkau semua orang dan kekurangan bahan pokok telah menyebabkan harga meroket. Dengan hancurnya perekonomian Jalur Gaza, hanya sedikit warga Palestina yang memiliki pendapatan tetap dan sebagian besar menghabiskan tabungan mereka atau hidup dari bantuan.
Di kios-kios darurat, anak-anak yang lebih besar yang bekerja sebagai pedagang asongan menjual popok satuan dengan harga tiga hingga lima shekel (USD 1 hingga USD 1,50) atau satu bungkus dengan harga hingga 170 shekel (USD 46). Sebungkus popok sebelum perang berharga 12 shekel (USD 3,50).
"Harga popok sangat menggelikan," kata Anis al-Zein, yang membelinya di sepanjang jalan di pusat Deir al-Balah.
"Seorang anak dikenakan biaya 20 shekel (USD 5) sehari. Apalagi dalam situasi buruk seperti ini, semua harga melambung tinggi dan tidak ada pendapatan bagi masyarakat. Bahkan tidak ada bantuan."
Beberapa orang tua menggunakan popok kain, namun popok tersebut perlu dicuci dengan air dan air juga merupakan hal mewah lainnya.
Perang di Jalur Gaza telah menimbulkan kehancuran yang tak terbayangkan. Otoritas kesehatan Gaza menyebutkan lebih dari 27.000 warga Palestina tewas dan hampir 67.000 orang terluka akibat serangan Israel.
Bantuan Jauh dari Cukup
Kurangnya popok telah menambah buruknya kondisi sanitasi bagi sekitar 1,7 juta pengungsi Palestina. Banyak dari mereka berdesakan di tempat penampungan yang penuh sesak.
Badan PBB untuk Urusan Anak (UNICEF) mengatakan pekan ini bahwa sebagian besar pengungsi baru hanya mendapat 1-2 liter air dalam sehari untuk minum, memasak, dan mencuci. Dikatakan bahwa diare kronis di kalangan anak-anak terus meningkat.
UNICEF mengatakan pengiriman bantuan ke Jalur Gaza tidak memenuhi kebutuhan yang sangat besar.
Badan tersebut memperkirakan 20.000 bayi hingga usia 6 bulan membutuhkan susu formula, yang telah diberikan oleh UNICEF bersama dengan kebutuhan lainnya termasuk popok dan uang tunai.
"Ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan besar anak-anak di Jalur Gaza," kata juru bicara UNICEF Ammar Ammar.
Advertisement
Kematian yang Dapat Dicegah
UNICEF mengungkapkan bahwa kebutuhan bayi adalah bagian dari ancaman yang lebih luas terhadap 335.000 anak di bawah usia 5 tahun di Jalur Gaza, yang berisiko tinggi mengalami kekurangan gizi parah dan kematian yang dapat dicegah.
"Bagi banyak keluarga di Gaza, ancaman kematian akibat kelaparan sudah menjadi kenyataan," kata Ammar.
Kantor kemanusiaan PBB mengatakan pada Rabu (7/2) bahwa pemeriksaan baru-baru ini menunjukkan hampir 10 persen anak-anak di bawah usia 5 tahun menderita kekurangan gizi akut, peningkatan 12 kali lipat dibandingkan sebelum perang.
Angka tersebut bahkan lebih tinggi di Gaza Utara, yang sebagian besar telah terputus dari bantuan selama berbulan-bulan.