Liputan6.com, Kyoto - Sejarah mencatat bahwa pada 16 Februari 2005 Perjanjian Kyoto yang juga dikenal sebagai Protokol Kyoto diberlakukan, tujuh tahun setelah perjanjian tersebut disepakati.
Protokol Kyoto sejatinya bertujuan untuk mengekang polusi udara yang menjadi penyebab pemanasan global.
Baca Juga
Kyoto, Jepang menjadi tempat perjanjian tersebut dinegosiasikan, dan menjadi tuan rumah upacara utama yang menandai mulai berlakunya perjanjian tersebut.
Advertisement
Per 16 Februari 2005, mengutip BBC on This Day, Protokol Kyoto yang ditandatangani 141 negara pada 1997 sah berlaku. Semua negara anggota harus mulai mengurangi emisi gas buang yang dituding sebagai pemicu kenaikan suhu Bumi.
Perjanjian tersebut mengharuskan negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya.
Untuk tahap awal setelah Protokol Kyoto diberlakukan, mulai 2008 sampai 2012 ditargetkan penurunan emisi tersebut mencapai enam persen dibanding tingkat emisi pada 1990. Tujuan akhirnya adalah menghentikan peningkatan suhu Bumi akibat gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kegiatan manusia. Misalnya, aktivitas pembangkit listrik, pabrik-pabrik, dan kendaraan bermotor.
Sekitar 141 negara yang menyumbang 55 persen emisi gas rumah kaca telah meratifikasi perjanjian tersebut, dan berjanji untuk mengurangi emisi sebesar 5,2 persen pada tahun 2012.
Ratifikasi adalah salah satu pengesahan perjanjian internasional.
Kendati demikian negara penghasil polusi terbesar di dunia, Amerika Serikat, belum menandatangani perjanjian tersebut. Amerika Serikat justru menyatakan mundur dari Protokol Kyoto. Presiden AS George Walker Bush menganggap protokol ini tidak ekonomis, tidak realistis, dan keliru karena tidak mewajibkan negara-negara melaksanakan tahap awal.
Rusia meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan November 2004, yang membuat perjanjian tersebut mengikat secara hukum.
Sementara negara-negara berkembang besar termasuk India, Tiongkok dan Brazil tidak diharuskan untuk memenuhi target spesifik untuk saat itu.
Penolakan dari Amerika Serikat
Amerika Serikat tetap menolak menandatangani Protokol Kyoto dalam Konvensi internasional iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Buenos Aries. Langkah yang diambil oleh AS ini mengundang banyak kritik tajam dari kalangan masyarakat internasional. Langkah yang sama juga diambil oleh pihak Australia.
Kendati menolak menandatangani Protokol Kyoto, menurut pihak AS yang diwakili Harlan Watson, negaranya telah mengeluarkan dana miliaran dolar AS. Dana tersebut digunakan dalam rangka mencari teknologi baru untuk mengurangi gas buangan dari rumah kaca yang dianggap sebagai penyebab pemanasan global.
Lebih lanjut Watson menyatakan, negaranya terus berusaha mencari cara membatasi gas buangan. Langkah itu didasari pada keyakinan bahwa berinvestasi untuk menciptakan energi yang lebih bersih adalah strategi terbaik.
Watson menambahkan, pihaknya telah memutuskan untuk mengawasi pembuangan gas karbon dioksida secara sukarela. Dengan demikian, hal itu sama seperti yang termuat dalam Protokol Kyoto.
Advertisement
Masuknya Rusia Hingga Afrika Akan Menanggung Beban
Berbeda dengan Amerika Serikat yang menolak, Rusia justru memilih untuk mentandatangani perjanjian ini.
Masuknya Rusia pada perjanjian ini sangatlah penting, karena protokol tersebut harus diratifikasi oleh negara-negara yang menyumbang setidaknya 55% emisi gas rumah kaca agar menjadi sah.
Target ini baru terpenuhi setelah Rusia bergabung.
Namun ketua Program Lingkungan PBB, Klaus Toepfer, mengatakan Protokol Kyoto hanyalah langkah pertama dan masih banyak kerja keras yang perlu dilakukan untuk melawan pemanasan global.
“Perubahan iklim adalah momok yang ada, dan dapat melemahkan upaya kita untuk mewujudkan dunia yang lebih sehat, adil, dan berketahanan,” katanya.
Ia mengatakan Afrikalah yang akan menanggung beban kegagalan dunia dalam mengambil tindakan.
Banyak ilmuwan mengatakan bahwa target yang ditetapkan dalam Protokol Kyoto hanya sekedar permukaan permasalahan saja.
Perjanjian tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari negara-negara industri hanya sekitar 5 persen, sedangkan kesepakatan di antara banyak ilmuwan adalah untuk menghindari konsekuensi terburuk dari pemanasan global, diperlukan pengurangan emisi sebesar 60% secara menyeluruh.
Target Individu
Protokol tersebut, mengikat secara hukum pada tanggal 16 Februari dan menuntut pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 5,2 persen dari negara-negara industri secara keseluruhan, pada tahun 2012.
Setiap negara telah menetapkan target masing-masing sesuai dengan tingkat polusinya.
Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi mengeluarkan pernyataan menyambut perjanjian tersebut dan juga menyerukan negara-negara yang tidak menandatangani perjanjian tersebut untuk memikirkan kembali.
"Mulai sekarang, kita harus membangun sebuah sistem di mana lebih banyak negara akan bekerja sama di bawah kerangka kerja yang sama untuk menghentikan pemanasan global," kata Junichiro Koizumi.
Pembicara pada acara tersebut termasuk pemenang hadiah Nobel Perdamaian, Wangari Maathai. Ahli ekologi dan wakil menteri lingkungan hidup Kenya itu mengatakan Protokol Kyoto tidak hanya membutuhkan upaya dari pemerintah, tetapi juga perubahan dalam cara hidup masyarakat.
Sementara Kanada, salah satu negara penandatangan pertama perjanjian ini, tidak memiliki rencana yang jelas untuk mencapai target pengurangan emisinya. Bukannya mengurangi emisi, emisinya justru meningkat sebesar 20% sejak tahun 1990.
Sedangkan Jepang juga tidak yakin akan mampu memenuhi persyaratan yang telah ditentukan untuk mengurangi emisi sebesar 6 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2012.
Advertisement