Liputan6.com, Bangkok - Di hadapan puluhan ribu penggemar yang hadir menyaksikan konser Coldplay di Rajamangala National Stadium, Bangkok, Thailand, pada 3 Februari 2024, Chris Martin mengucap satu keinginan; dia sangat ingin tampil di China.
"Saya janji kami akan tampil di China suatu hari nanti," ujar Chris Martin, saat dia mengundang dua penggemar naik ke panggung seperti dilansir CNN, Selasa (13/2).
Dia memilih dua orang beruntung yang berasal dari Guangzhou, China, itu setelah melihat spanduk mereka.
Advertisement
"Yang bisa saya sampaikan adalah saya janji kami akan tampil di China suatu hari nanti," kata pria usia 46 tahun itu sebelum menyanyikan lagu hit yang rilis pada tahun 2015 'Up&Up'.
"Up and up, jangan pernah menyerah. China cinta Coldplay."
Chris Martin menyampaikan pesan yang sama kepada penonton di Tokyo pada November 2023. Dia bahkan melangkah lebih jauh, mengisyaratkan bahwa band-nya tidak mendapat izin dari otoritas China untuk tampil di sana.
"Anda tahu, kami tidak bisa mendapatkan izin (untuk tampil di China)," katanya kepada penonton konser.
"Coldplay cinta China … Tolong, semesta! Izinkan kami tampil di China!"
Sejauh ini, otoritas China dan Coldplay belum memberikan komentar lebih lanjut.
Industri pertunjukan musik di China telah berkembang pesat menjadi salah satu yang terbesar di dunia dalam satu dekade terakhir dan bagi beberapa musisi asing, tampil di sana disebut telah menjadi salah satu capaian karier mereka.
Coldplay bukan satu-satunya yang ingin menghibur penggemarnya di China, musisi dunia lainnya seperti Jon Bon Jovi dilaporkan juga telah menunjukkan minat untuk menggelar pertunjukan di Negeri Tirai Bambu.
Pada tahun 2015, Bon Jovi disebut mengambil kursus menyanyi Mandarin untuk meng-cover lagu cinta Mandarin pada Hari Valentine - langkah yang dinilai cerdik karena membuatnya menuai pujian dan meraih penggemar baru di China. Bagaimanapun, bintang rock Amerika Serikat (AS) tersebut menelan kecewa ketika penyelenggara mengumumkan pembatalan pertunjukan mereka yang dijadwalkan digelar di Beijing dan Shanghai pada tahun itu.
Manajemen Bon Jovi tidak menjawab pertanyaan media pada saat itu, namun pengguna media sosial berspekulasi bahwa keputusan tersebut mungkin berasal dari video klip mereka pada tahun 2009 untuk lagu "We Weren't Born to Follow", yang menampilkan gambar protes pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989.
Yang lain menduga pemicunya adalah lantaran band ini menampilkan gambar Dalai Lama di latar belakang panggung saat pertunjukan mereka pada tahun 2010 di Tokyo. Meski demikian, dua pertunjukan Bon Jovi di Macau, wilayah China yang dikelola berdasarkan sistem terpisah dari China, tetap dilaksanakan pada tahun yang sama.
Aturan Sensor yang Ketat
Band pop rock AS, Maroon 5, juga terpaksa membatalkan pertunjukan di Beijing dan Shanghai pada tahun 2015. Tidak ada alasan resmi yang diberikan, namun banyak yang berspekulasi bahwa izin dicabut karena seorang anggota band mengucapkan selamat ulang tahun kepada Dalai Lama via media sosial.
Hal serupa juga terjadi pada promotor Oasis yang mengatakan bahwa mereka terpaksa membatalkan pertunjukan di China pada tahun 2009 setelah pihak berwenang menemukan seorang anggota band rock asal Inggris itu bermain di pertunjukan Tibetan Freedom dua tahun sebelumnya. Ada pun tur Asia lainnya, termasuk konser di Hong Kong, berjalan sesuai rencana.
Situasinya tidak selalu seperti yang digambarkan sebelumnya. China pernah menjadi bagian dari rangkaian destinasi tur internasional, terutama menjelang dan pasca Olimpiade Beijing 2008, yang menjadikan ibu kota negara itu sebagai panggung yang didambakan dunia sekaligus menandakan kehebatan China sebagai negara adidaya politik, ekonomi, dan budaya.
Namun, banyak hal telah berubah sejak saat itu, termasuk Xi Jinping yang memulai era yang menurut banyak analis lebih otoriter dan terisolasi secara internasional.
Undang-undang sensor China yang terkenal bukan rahasia menjadi penghalang besar. Partai Komunis yang berkuasa telah lama menerapkan sistem sensor yang ketat, mencakup segala hal mulai dari belahan dada perempuan hingga kritik terhadap sistem politik, bahkan lelucon. Tingkat pengawasan dilaporkan meningkat di bawah kepemimpinan Xi Jinping.
Pihak musisi sendiri tentunya juga memiliki kekhawatiran mengenai kebebasan berpendapat dan isu hak asasi manusia di China. Hak-hak LGBTQ, misalnya, sering kali dianut oleh banyak negara Barat, namun hak-hak tersebut tetap menjadi isu sensitif secara politik bagi Partai Komunis China.
Sulit mengetahui apakah tindakan atau pernyataan Coldplay telah membuat berang pihak berwenang China, namun band ini tercatat punya jejak terkait politik.
Pada Oktober 2022, Coldplay mengundang aktor Iran yang diasingkan, Golshifteh Farahani, ke atas panggung selama pertunjukan di Buenos Aires, Argentina, untuk menyanyikan lagu yang telah menjadi lagu protes anti-pemerintah yang terjadi di Iran pada saat itu.
"Perempuan muda dan generasi muda memperjuangkan kebebasan mereka, hak untuk menjadi diri mereka sendiri dan sebagai sebuah band kami percaya bahwa setiap orang harus bisa menjadi diri mereka sendiri selama tidak menyakiti orang lain," kata Chris Martin di hadapan penonton konsernya waktu itu.
Retorika seperti itu di China tidak akan diterima dengan baik oleh pihak berwenang, di mana protes dapat dengan cepat dipadamkan.
Akibatnya, penggemar asal China – seperti duo yang diundang Chris Martin ke atas panggung di Thailand – harus sering bepergian ke luar negeri untuk menyaksikan pertunjukan musik bintang dunia.
Â
Â
Advertisement
Ada yang Mampu Beradaptasi
Pada tahun 2008, penyanyi Islandia, Bjork, dilarang masuk China setelah dia menyatakan dukungan untuk Tibet saat membawakan lagunya "Declare Independence" dalam konsernya di Shanghai.
Tindakan seorang bintang di luar wilayah China juga dapat berpengaruh. Misalnya, Justin Bieber dilarang memasuki negara itu pada tahun 2017 karena menurut Biro Kebudayaan Kota Beijing dia berperilaku buruk.
"Serangkaian perilaku buruknya saat tinggal di luar negeri dan selama penampilannya di China telah menyebabkan kebencian publik," demikian pernyataan biro tersebut.
"Untuk mengatur pasar hiburan domestik ... kami menganggap tidak pantas mendatangkan artis yang berperilaku buruk."
Taiwan adalah isu kontroversial lainnya yang dapat menjerat para musisi. Meskipun tidak pernah menguasai pulau tersebut, China memandang Taiwan sebagai bagian dari wilayah mereka dan menganggap penggunaan bendera Taiwan sebagai bentuk pembangkangan.
Penyanyi Katy Perry memahami hal ini pada tahun 2017. Foto-foto konsernya pada tahun 2015 di Taiwan muncul kembali, mengingatkan pihak berwenang China bahwa dia mengenakan gaun bunga matahari – simbol gerakan protes mahasiswa pro-demokrasi di pulau itu – dan menyampirkan bendera Taiwan di bahunya di atas panggung. Yang terjadi kemudian visanya untuk tampil di peragaan busana ditolak.
Di tengah fenomena serupa yang serupa, ada yang memilih beradaptasi dengan batasan yang ada. Tengok saja bagaimana aturan sensor China yang ketat tidak menghalangi legenda heavy metal, Metallica, menggelar konser pada tahun 2017 di China.
Mereka dilaporkan telah lebih dulu menyerahkan daftar lagu ke Kementerian Kebudayaan China untuk mendapatkan persetujuan, langkah yang mengakibatkan "Master of Puppets", salah satu hits terbesar mereka absen dalam konser.
"Mengapa Anda tidak menghormati budaya mereka ketika Anda berada di sana sebagai tamu dan diundang tampil? Kami ingin bersikap hormat dan hanya karena kami melakukan sesuatu dengan cara berbeda, bukan berarti hal itu harus dipaksakan kepada (orang lain)," kata James Hetfield dalam wawancara dengan South China Morning Post di Hong Kong saat itu.
"Tapi mudah-mudahan kami akan terus datang kembali dan mereka (pihak berwenang China) akan menyadari bahwa kami bukanlah ancaman secara politik dan tidak punya agenda kecuali melintasi batas dengan musik dan membuat orang-orang menikmati lagu-lagu kami."