Liputan6.com, New York - Presiden Joe Biden telah menandatangani perintah yang melindungi warga Palestina di Amerika Serikat (AS) dari deportasi selama 18 bulan ke depan, kata Gedung Putih pada Rabu 14 Februari 2024, mengutip memburuknya kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza.
Langkah tersebut memberikan "penundaan keberangkatan paksa" kepada sekitar 6.000 warga Palestina, kata seorang pejabat pemerintahan Biden seperti dikutip dari Arab News, Kamis (15/4/2024).
Baca Juga
Dalam sebuah pernyataan, penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan bahwa setelah "serangan teroris mengerikan yang dilakukan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober, dan respons militer Israel, kondisi kemanusiaan di Gaza telah memburuk secara signifikan."
Advertisement
Sullivan mengatakan langkah Biden akan memberi warga Palestina di AS "tempat perlindungan sementara." Siapa pun yang secara sukarela kembali ke wilayah Palestina akan kehilangan perlindungan, tambahnya.
Setelah lebih dari empat bulan Israel-Hamas berperang di Gaza, Joe Biden menghadapi tekanan untuk berbuat lebih banyak guna melindungi warga Palestina di Gaza dan menyalurkan bantuan ke daerah kantong tersebut. Dia juga mendapat kritik dari para pemimpin Arab-Amerika dan Muslim karena tidak menyerukan gencatan senjata permanen dalam konflik tersebut.
Abed Ayoub, direktur eksekutif American-Arab Anti-Discrimination Committee (Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab), mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “sangat dibutuhkan” tindakan yang melindungi warga Palestina di AS.
"Kami melihat situasi di Gaza dan Palestina belum membaik, dan ini merupakan hal yang disambut baik, dan kami senang melihat hal ini diterapkan," kata Ayoub.
Pejabat kesehatan Gaza mengatakan setidaknya 28.500 warga Palestina telah tewas dalam serangan Israel di Gaza sejak 7 Oktober, sementara Hamas membunuh 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 lainnya saat mengamuk di Israel selatan, menurut penghitungan Israel.
Spanyol Lantang Dukung Palestina Merdeka
Bicara soal Gaza, Menteri luar negeri (Menlu) Spanyol mengindikasikan bahwa jika Eropa terus ragu-ragu dalam mendukung Palestina maka sebagai negara berdaulat, Spanyol, akan mengambil keputusannya sendiri.
Jose Manuel Albares juga mengatakan bahwa perdamaian di Timur Tengah hanya dapat dicapai melalui pembentukan negara Palestina, yang menghubungkan Jalur Gaza dan Tepi Barat, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Menurut Albares, yang menjabat sebagai menlu Spanyol sejak 2021, meskipun 27 negara anggota Uni Eropa semuanya menginginkan perdamaian di Timur Tengah, namun terdapat perbedaan dalam hal mereka melihat hal itu dapat terwujud.
Bagi Spanyol, posisinya sangat jelas: segera hentikan perang Hamas Vs Israel, berikan akses kemanusiaan yang tidak terbatas ke Jalur Gaza, dan terapkan solusi dua negara.
"Kami menyerukan gencatan senjata permanen, pembebasan segera sandera, akses segera terhadap bantuan kemanusiaan, dan konferensi perdamaian yang akan menjadi kerangka implementasi solusi dua negara," kata Albares dalam wawancaranya dengan Arab News, seperti dilansir Selasa (13/2/2024). "Pada akhirnya, kita semua tahu bahwa selama rakyat Palestina tidak mempunyai negara maka Timur Tengah tidak akan stabil."
"Dan kita semua tahu solusi nyata untuk situasi di Timur Tengah dan perdamaian definitif adalah sebuah negara dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza di bawah satu otoritas Palestina yang dihubungkan oleh koridor dengan pintu keluar ke laut dan dengan ibu kota di Yerusalem Timur."
Menggambarkannya sebagai solusi yang adil dan berkeadilan bagi rakyat Palestina, Albares mengatakan solusi dua negara menawarkan Israel jaminan terbaik untuk mencapai keamanan dalam negeri dan menghindari konflik regional yang lebih luas.
Namun, dalam perannya mengoordinasikan keterlibatan Spanyol dengan Uni Eropa, Albares mengakui bahwa proposal itu masih dalam tahap dialog mengingat blok tersebut sedang mencari cara untuk bergerak maju sebagai unit kolektif.
Albares mencatat kekhawatiran yang semakin meningkat di negara-negara Selatan – istilah yang sering digunakan untuk merujuk pada negara-negara berkembang di dunia – atas respons Uni Eropa yang ragu-ragu terhadap krisis di Jalur Gaza dibandingkan dengan sikap mereka yang tegas terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
"Itulah mengapa hal ini sangat penting, dan saya selalu menjelaskannya kepada rekan-rekan saya di Eropa bahwa kita mempertahankan posisi yang sama: mengikuti Piagam PBB dan prinsip-prinsipnya, baik itu Ukraina, di mana kita mempunyai posisi yang jelas, posisi yang sangat jelas," tutur Albares.
"Negara mana pun berhak mempertahankan diri dari serangan teroris, termasuk Israel, tetapi Anda harus melakukannya sesuai dengan hukum kemanusiaan internasional."
Lebih lanjut, Albares menggarisbawahi, "Harus ada perbedaan antara sasaran teroris dan pengeboman rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, markas besar PBB. Pengungsi juga sama. Tidak peduli warna kulit mereka, agama mereka, jenis kelamin mereka, mereka semua sama dan mereka semua berhak mendapatkan perlindungan kita."
Advertisement
Kekurangan Makanan, Warga Gaza Terpaksa Olah Pakan Ternak Jadi Tepung
Sementara itu, masyarakat yang tinggal di wilayah utara Gaza mengatakan bahwa anak-anak di sana tidak mendapat makanan selama berhari-hari karena izin masuknya bantuan semakin sulit. Akibatnya, beberapa warga terpaksa menggiling pakan ternak menjadi tepung sebagai salah satu cara bertahan hidup, meski stok biji-bijian juga dilaporkan semakin berkurang.
Dikatakan bahwa 300.000 orang yang diperkirakan tinggal di wilayah utara sebagian besar tidak mendapatkan bantuan, dan menghadapi risiko kelaparan yang semakin besar.
Dilansir BBC, Minggu (11/2/2024), masyarakat juga menggambarkan bahwa mereka menggali tanah untuk mengakses pipa air, yang dimanfaatkan untuk minum dan mencuci.
Mahmoud Shalabi, seorang pekerja bantuan medis setempat di Beit Lahia, mengatakan orang-orang telah menggiling biji-bijian yang digunakan untuk pakan ternak menjadi tepung, namun stok biji-bijian tersebut kini habis.
"Orang tidak menemukannya di pasar," katanya. "Saat ini alat ini tidak tersedia di bagian utara Gaza dan Kota Gaza."
Shalabi juga mengatakan stok makanan kaleng sudah habis.
"Apa yang kami dapatkan sebenarnya berasal dari enam atau tujuh hari gencatan senjata [pada bulan November], dan bantuan apa pun yang diizinkan masuk ke utara Gaza sebenarnya telah dikonsumsi sekarang. Apa yang dimakan orang-orang saat ini pada dasarnya adalah nasi, dan hanya nasi."
Sulitnya Akses Bantuan Masuk
Adapun Badan koordinasi kemanusiaan PBB, Coordination of Humanitarian Affairs (Ocha), mengatakan lebih dari separuh misi bantuan di utara Gaza ditolak aksesnya bulan lalu, dan ada peningkatan campur tangan pasukan Israel dalam cara dan di mana bantuan disalurkan.
Hal tersebut kemudian dibantah oleh seorang juru bicara badan militer Israel yang bertugas mengoordinasikan akses bantuan di Gaza yang bulan lalu mengatakan, "tidak ada kelaparan di Gaza. Titik."
Badan tersebut, Cogat, berulang kali menyatakan tidak membatasi jumlah bantuan kemanusiaan yang dikirim ke Gaza.
Lebih jauh, Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan kepada BBC minggu ini bahwa empat dari lima konvoi bantuan terakhir ke wilayah utara telah dihentikan oleh pasukan Israel, yang berarti ada jeda dua minggu antara pengiriman ke Kota Gaza.
"Kami tahu ada risiko kelaparan yang sangat serius di Gaza jika kami tidak memberikan bantuan pangan dalam jumlah yang sangat besar secara rutin," kata kepala regional WFP, Matt Hollingworth.
PBB juga telah memperingatkan bahwa kekurangan gizi akut di kalangan anak-anak di wilayah utara telah meningkat tajam, dan kini berada di atas ambang batas kritis sebesar 15 persen.
Advertisement