Sukses

Tolak Pemilu Dini Meski Didemo Ribuan Warga Israel, PM Benjamin Netanyahu: Kita Butuh Persatuan

Ribuan warga Israel berkumpul di Tel Aviv untuk melakukan protes anti-pemerintah Israel pada Sabtu (17/2/2024).

Liputan6.com, Tel Aviv - Ribuan warga Israel berkumpul di Tel Aviv untuk melakukan protes anti-pemerintah Israel pada Sabtu (17/2/2024). 

Israel dibanjiri aksi protes anti-pemerintah hampir sepanjang 2023, tetapi kemudian mereda selama masa perang Israel vs Hamas di Gaza. Namun, demonstran kembali membanjiri jalan-jalan Tel Aviv pada Sabtu (17/2) malam, menuntut digelarnya pemilihan umum baru, yang sebenarnya baru dijadwalkan pada 2026.

Kerumunan massa kali ini jauh lebih kecil dibandingkan protes massal tahun lalu karena hanya diikuti oleh hanya beberapa ribu orang, menurut media lokal.

"Saya ingin mengatakan kepada pemerintah bahwa Anda sudah memiliki kesempatan, Anda telah menghancurkan segala sesuatu yang dapat Anda hancurkan. Sekaranglah waktunya bagi masyarakat untuk memperbaiki semua hal, semua hal buruk yang telah Anda lakukan," kata seorang pengunjuk rasa yang kepalanya terbungkus bendera Israel, seperti diberitakan VOA Indonesia yang dikutip Senin (19/2/2024).

Sementara itu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu justru menolak gagasan untuk menggelar pemilihan umum diniyang dielu-elukan para demonstran. Ketika ditanya mengenai seruan dari partai berkuasanya, Likud, untuk mengadakan pemilihan umum dini, ia mengatakan bahwa waktu yang tepat ketika perang Gaza berakhir.

"Hal terakhir yang kita perlukan saat ini adalah pemilu dan menghadapi pemilihan, karena hal itu akan segera memecah belah kita," kata Netanyahu. “Kita membutuhkan persatuan saat ini.

Adapun popularitas Benjamin Netanyahu dalam jajak pendapat terpantau merosot sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang dahsyat di Gaza.

 

2 dari 3 halaman

Ribuan Warga Demo di Tel Aviv Minta PM Israel Benjamin Netanyahu Mundur

Awal tahun 2024 ribuan warga Israel juga pernah memprotes pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pada Sabtu (20 Januari) mereka berkumpul di Tel Aviv dan berdemo.

Mereka menyebut pemimpin veteran tersebut salah menangani keamanan negara dan menyerukan pemilu untuk kembali digerlar, dikutip dari Channel News Asia, Minggu (21/1/2024).

Protes anti-pemerintah yang mengguncang negara itu hampir sepanjang tahun 2023 berhenti setelah serangan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober.

Perpecahan politik dikesampingkan ketika warga Israel mendukung militer dan keluarga mereka yang terbunuh atau disandera.

Namun dengan perang dahsyat di Gaza yang sudah memasuki bulan keempat dan jajak pendapat menunjukkan rendahnya dukungan terhadap Netanyahu, seruan untuk pergantian kepemimpinan semakin kuat, meski tidak ada indikasi bahwa posisinya berada dalam ancaman.

Hal ini tercermin dalam jumlah pemilih yang hadir pada Sabtu malam di alun-alun pusat Tel Aviv, tempat banyak protes tahun lalu terjadi.

Walaupun jumlah massa lebih sedikit dibandingkan tahun lalu, jumlah tersebut masih beberapa ribu orang, banyak di antaranya yang menabuh genderang, meneriakkan kekecewaan, dan mengibarkan bendera Israel.

“Pemerintah yang meninggalkan kami pada 7 Oktober terus meninggalkan kami setiap hari. Para keluarga korban, tentara cadangan, para sandera jadi korbannya,” kata Noam Alon, yang saudara laki-lakinya adalah seorang tentara dan terbunuh saat konflik dengan kelompok bersenjata Hamas.

“Kekuasaan ada di tangan kita untuk berubah dan diperbaiki,” ujarnya.

"Pemerintah ini harus bubar. Sekarang!"

Meskipun perpecahan muncul di antara anggota kabinetnya pada masa perang, Netanyahu bertekad untuk tetap berkuasa.

Para pemimpin oposisi telah menawarkan untuk membentuk pemerintahan persatuan yang tidak dipimpin oleh Netanyahu, namun tidak ada langkah yang mendapat dukungan.

 

3 dari 3 halaman

Seruan untuk Pemilu

 

Menteri kabinet perang Rusia Gadi Eisenkot menekankan Israel perlu menyelenggarakan pemilu karena rakyat tidak lagi percaya pada kepemimpinan Netanyahu. Dia menepis kekhawatiran mengenai penyelenggaraan pemilu ketika negara tersebut sedang perang.

"Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sama parahnya dengan kurangnya persatuan saat perang," ujar Eisenkot.

"Kita perlu pergi ke tempat pemungutan suara dan mengadakan pemilu dalam beberapa bulan ke depan, untuk memperbarui kepercayaan karena saat ini tidak ada kepercayaan. Negara Israel adalah negara demokrasi dan perlu bertanya pada diri sendiri, setelah kejadian serius ini, bagaimana kita bisa maju dengan kepemimpinan yang bertanggung jawab atas kegagalan mutlak ini?"

Presiden Institut Demokrasi Israel (IDI) di Yerusalem Yohanan Plesner menuturkan meskipun kabinet perang dibentuk untuk menunjukkan persatuan, hal itu tidak menutupi fakta bahwa terdapat perbedaan besar dalam kebijakan dan pendekatan. Perpecahan itu pun sekarang muncul ke permukaan.

Senada dengan Plesner, ilmuwan politik di Universitas Ibrani Yerusalem Reuven Hazan menilai bahwa ketika perang telah melewati batas 100 hari, perpecahan pasti akan muncul.

"Dan memang demikian," kata Hazan kepada CNN, seraya menambahkan bahwa perbedaan antara kedua kubu semakin buruk setiap hari.

Lebih dari tiga bulan setelah Netanyahu melancarkan perang di Jalur Gaza, tanda-tanda pertempuran akan berakhir masih belum terlihat.

Video Terkini