Liputan6.com, Jakarta - Ketika satelit Nusantara-2 hancur karena roket China yang membawa satelit senilai USD 200 juta gagal terbang pada 2020, upaya Indonesia untuk memperkuat jaringan komunikasi terpaksa mengalami kemunduran. Namun, siapa sangka insiden tersebut justru memberikan ruang bagi Elon Musk untuk meraup untung.
Elon Musk, pemilik SpaceX, menggunakan kegagalan tersebut untuk menyalip badan usaha milik negara (BUMN) asal Negeri Tirai Bambu, China Great Wall Industry Corp (CGWIC). Perusahaan peluncur roket terkemuka di dunia itu berhasil menjadi pilihan utama bagi pemerintah Indonesia untuk mengorbitkan satelit-satelitnya ke luar angkasa.
Baca Juga
Dilansir VOA Indonesia, Rabu (21/2/2024), perusahaan kontraktor China itu sebelumnya memikat Indonesia dengan tawaran manis berupa pembiayaan yang murah, janji dukungan yang luas untuk ambisi ruang angkasa, dan kekuatan geopolitik Beijing. Indonesia sendiri menjadi pasar utama dalam pertumbuhan industri antariksa.
Advertisement
Seorang pejabat senior pemerintah dan dua pejabat industri di Jakarta yang mengetahui masalah itu mengatakan kepada Reuters bahwa kerusakan satelit Nusantara-2 menjadi titik balik bagi Indonesia untuk menjauh dari kontraktor luar angkasa China dan lebih memilih perusahaan milik Musk.
Nusantara-2 adalah peluncuran satelit kedua yang diberikan Indonesia kepada CGWIC, setara dengan jumlah yang dilakukan SpaceX pada saat itu.
Setelah kegagalan tersebut, SpaceX berhasil meluncurkan dua satelit Indonesia. Peluncuran satelit ketiga dijadwalkan akan dilakukan pada Selasa (20/2), sementara di sisi lain China belum menangani peluncuran satelit satu pun.
Kalahkan Satelit Milik Beijing
Menurut temuan Reuters, SpaceX berhasil mengalahkan Beijing dengan memadukan sejumlah faktor, yaitu keandalan peluncuran, penggunaan kembali roket yang lebih murah, dan juga membangun hubungan personal antara Elon Musk dengan Presiden Joko Widodo. Setelah pertemuan antara keduanya di Texas pada 2022, SpaceX juga berhasil memperoleh persetujuan peraturan untuk layanan internet satelitnya, Starlink.
Kesepakatan SpaceX menjadi contoh yang jarang terjadi di mana perusahaan Barat berhasil membuat terobosan di Indonesia. Saat ini, sektor telekomunikasi Nusantara masih didominasi oleh perusahaan China yang menawarkan biaya rendah dan pembiayaan mudah. Keberhasilan SpaceX terjadi setelah Indonesia menolak tekanan dari Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan perjanjiannya dengan Huawei, raksasa teknologi China, karena alasan ketergantungannya pada teknologi Beijing.
Advertisement
Raup Keuntungan di Indonesia
Sekelumit perubahan peta telekomunikasi Indonesia yang dijelaskan kepada Reuters oleh banyak orang, termasuk sejumlah pejabat di Tanah Air dan AS, pelaku industri dan analis tersebut, belum pernah dilaporkan sebelumnya. Beberapa narasumber berbicara dengan syarat anonim karena tidak berwenang berbicara kepada media.
“SpaceX tidak pernah gagal dalam meluncurkan satelit kami,” kata Sri Sanggrama Aradea, Kepala Divisi Infrastruktur Satelit di BAKTI, sebuah lembaga di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Peristiwa kegagalan pada April 2020 membuat Jakarta berada di posisi “sulit” untuk kembali beralih ke CGWIC, tambahnya.
SpaceX, CGWIC, dan Pasifik Satelit Nusantara – pemegang saham utama proyek Nusantara-2 – tidak menanggapi pertanyaan Reuters.
Persaingan AS dan China
Kementerian Luar Negeri China menanggapi pertanyaan Reuters dengan mengatakan "Perusahaan dirgantara China melanjutkan kerja sama luar angkasa mereka dengan Indonesia dalam berbagai bentuk." Pernyataan itu tidak menjelaskan lebih lanjut.
Juru Bicara Kantor Kepresidenan Ari Dwipayana mengatakan pemerintah memprioritaskan teknologi yang efisien dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat ketika memberikan kontrak.
Perselisihan antara SpaceX dan China menawarkan peluang menuju pertarungan yang lebih besar untuk mendominasi industri luar angkasa yang berkembang pesat.
Pasar satelit global – termasuk manufaktur, jasa, dan peluncuran – bernilai USD281 miliar pada 2022, atau 73 persen dari seluruh bisnis luar angkasa, menurut konsultan AS BryceTech.
China meluncurkan rekor 67 roket pada tahun lalu, dari 223 roket yang diluncurkan secara global, menurut laporan profesor Harvard dan pelacak orbital Jonathan McDowell. Sebagian besar diluncurkan oleh CGWIC.
Hal tersebut menempatkan China di posisi kedua setelah AS dalam hal jumlah peluncuran. AS melakukan 109 peluncuran yang mana sebanyak 90 persen dilakukan oleh SpaceX, demikian menurut laporan tersebut.
Washington dan Beijing juga bersaing dalam jaringan komunikasi berbasis satelit.
Layanan internet satelit Starlink milik SpaceX, yang mengendalikan sekitar 60 persen dari total sekitar 7.500 satelit yang beredar di orbit, mendominasi pasar internet satelit. Namun, pada tahun terakhir, China memulai peluncuran satelit untuk mega-konstelasi broadband pesaingnya, yaitu Guowang.
Pejabat militer AS menyatakan bahwa China berencana memanfaatkan satelit dan teknologi luar angkasa untuk melakukan pengintaian terhadap lawan-lawannya dan meningkatkan kemampuan militer.
Advertisement