Liputan6.com, Kolombo - Sri Lanka pada Minggu 25 Februari 2024 mengatakan pihaknya telah mengakhiri perpanjangan visa turis jangka panjang bagi ribuan warga Rusia dan Ukraina, yang menggunakan kebijakan tersebut untuk tinggal di pulau itu sejak invasi Moskow ke Ukraina.
"Pemerintah tidak memberikan perpanjangan visa lebih lanjut," kata Komisaris Jenderal Imigrasi Harsha Ilukpitiya kepada AFP yang dikutip Senin (26/2/2024).
Baca Juga
Komisaris Jenderal Imigrasi Harsha Ilukpitiya mengatakan pihaknya memberikan batas waktu keberangkatan pada 7 Maret.
Advertisement
"Situasi penerbangan kini sudah normal dan mereka tidak mengalami kesulitan untuk kembali," imbuh Komisaris Jenderal Imigrasi Harsha Ilukpitiya.
Lebih dari 288.000 orang Rusia dan hampir 20.000 orang Ukraina telah mengunjungi Sri Lanka dalam dua tahun terakhir, menurut data resmi pemerintah Sri Lanka.
Kendati demikian tidak diketahui pasti berapa banyak yang tinggal lebih lama dibandingkan visa turis 30 hari yang biasanya. Namun ribuan warga Rusia dan sejumlah kecil warga Ukraina diyakini telah menetap di Sri Lanka, beberapa di antaranya untuk menghindari potensi wajib militer.
Beberapa yang tinggal Sri Lanka bahkan telah membuka restoran dan mendirikan klub malam.
Keputusan pemerintah Sri Lanka soal visa ini bertepatan dengan reaksi keras media sosial terhadap klub malam milik Rusia, yang menyelenggarakan pesta whites-only (khusus orang kulit putih) di kota resor pesisir selatan Unawatuna.
Sejatinya Sri Lanka berupaya meningkatkan pariwisata dengan memberikan visa pada saat kedatangan selama 30 hari, karena negara tersebut sangat membutuhkan devisa saat negara tersebut pulih dari krisis ekonomi terburuk sejak pertengahan tahun 2022.
Negara ini gagal membayar utang luar negerinya sebesar $46 miliar pada bulan April 2022 dan protes jalanan selama berbulan-bulan menyebabkan pengunduran diri presiden saat itu, Gotabaya Rajapaksa, tiga bulan kemudian.
Dana talangan IMF sebesar $2,9 miliar telah membantu menstabilkan perekonomian dan mengakhiri kekurangan kebutuhan pokok seperti makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.​
Zelenskyy Akui 31.000 Tentara Ukraina Tewas dalam Perang Melawan Rusia
Volodymyr Zelenskyy pada Minggu (25/2/2024) mengatakan 31.000 tentara Ukraina tewas dalam perang melawan Rusia sejak 24 Februari 2022. Namun, presiden Ukraina itu menolak menyebutkan jumlah pasukan luka karena dia menilai hal itu akan membantu perencanaan militer Rusia.
Melansir BBC, Senin (26/2), biasanya Ukraina tidak mempublikasikan jumlah korban dan perkiraan lainnya menyebutkan bahwa total jumlahnya jauh lebih tinggi.
Pernyataan Zelenskyy muncul setelah Menteri Pertahanan (Menhan) Rustam Umerov, mengungkapkan bahwa setengah dari seluruh bantuan Barat untuk Ukraina tertunda, sehingga memakan korban jiwa dan wilayah.
"Sebanyak 31.000 tentara Ukraina tewas dalam perang ini. Bukan 300.000 atau 150.000 atau apa pun yang dikatakan Vladimir Putin dan lingkaran kebohongannya. Namun, setiap kerugian ini merupakan kerugian besar bagi kami," tutur Zelenskyy.
Berbicara tentang kerugian yang lebih besar dalam perang, Zelenskyy mengatakan puluhan ribu warga sipil juga tewas di wilayah Ukraina yang diduduki Rusia. Namun, jumlah sebenarnya tidak diketahui.
"Saya tidak tahu berapa banyak yang meninggal, berapa yang terbunuh, berapa yang dibunuh, disiksa, berapa yang dideportasi," ujarnya
Para pejabat Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2023 menyebutkan jumlah tentara Ukraina yang tewas mencapai 70.000 orang dan sebanyak 120.000 orang terluka.
Mengenai kerugian yang dialami Rusia, Zelenskyy mengklaim 180.000 tentara Rusia tewas dan puluhan ribu lainnya terluka.
BBC Rusia, dalam proyek gabungan dengan situs Mediazona, telah menetapkan nama lebih dari 45.000 prajurit Rusia yang tewas. Namun, diperkirakan jumlah totalnya lebih besar dari itu.
Ada pun Kementerian Pertahanan Inggris memperkirakan 350.000 tentara Rusia tewas atau terluka dalam perang Ukraina.
Advertisement
Pasokan Barat Melemah
Ukraina saat ini mengalami berbagai kemunduran dalam misinya mengusir Rusia dari wilayahnya. Menhan Umerov mengatakan kurangnya pasokan membuat Ukraina semakin dirugikan dalam perhitungan perang.
"Kami melakukan segala hal yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan, tetapi tanpa pasokan yang tepat waktu, hal itu akan merugikan kami," kata Umeroz.
Jerman memperingatkan pada November bahwa rencana Uni Eropa untuk mengirimkan satu juta peluru artileri pada Maret tidak akan terpenuhi. Kemudian pada Januari, Uni Eropa mengatakan lebih dari setengahnya akan sampai ke Ukraina sesuai tenggat waktu dan jumlah yang dijanjikan baru akan tercapai pada akhir tahun 2024.
Presiden Zelenskyy sendiri mengaku bahwa salah satu alasan serangan balasan Ukraina tahun lalu tidak dimulai lebih awal adalah karena kurangnya senjata. Serangan balasan tersebut sebagian besar gagal – salah satu dari sejumlah kemunduran yang dihadapi Kyiv setelah beberapa keberhasilan awal dalam memukul mundur Rusia sejak perang meletus pada 24 Februari 2022.
Zelenskyy juga menyatakan pada Minggu (25/2) bahwa rencana serangan balasan telah dibocorkan ke Rusia sebelumnya.
Pekan lalu, diumumkan bahwa pasukan Ukraina telah ditarik dari kota utama Avdiivka di timur, menandai kemenangan terbesar Rusia dalam beberapa bulan. Zelenskyy menyalahkan hal ini pada melemahnya pasokan senjata Barat.
Sementara itu, pemerintahan Joe Biden mengungkapkan penundaan paket bantuan senilai USD 60 miliar untuk Ukraina di Kongres berkontribusi pada jatuhnya kota itu.Â
2 Tahun Invasi Rusia ke Ukraina
Sementara itu, para pemimpin Barat melakukan perjalanan ke Kyiv pada Sabtu (24/2) untuk menunjukkan solidaritas terhadap Ukraina saat negara tersebut memperingati dua tahun invasi besar-besaran Rusia.
Di sana, diumumkan bahwa Italia dan Kanada telah menandatangani perjanjian keamanan dengan Ukraina – memperkuat dukungan hingga negara tersebut dapat bergabung dengan NATO.
Kesepakatan Kanada mencakup lebih dari tiga miliar dolar Kanada dalam bentuk bantuan keuangan dan pertahanan.
Bukan hanya Ukraina yang mengalami kesulitan dalam menyediakan sumber daya untuk kegiatan militernya. Menurut para pejabat Barat, Rusia juga kesulitan menyediakan amunisi dan senjata.
"Kemampuan produksi amunisi dalam negeri Rusia saat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konflik Ukraina," klaim seorang pejabat Barat.
Mereka menambahkan bahwa Moskow mampu meningkatkan pasokannya hanya dengan mencari sumber amunisi dan senjata alternatif, yang mana itu tidak menawarkan solusi jangka panjang.
Advertisement