Liputan6.com, Jakarta - Para ilmuwan mendeteksi sinar kosmik paling dahsyat yang pernah menerjang Bumi. Partikel ini pertama kali terdeteksi pada Juli 2023 oleh Observatorium Pierre Auger di Argentina.
Namun, identifikasi resminya baru keluar pada 2023 menggunakan Observatory Telescope Array Project di Utah, Amerika Serikat. Melansir laman Scientific American pada Jumat (01/03/2024), sinar kosmik ini diberi nama Amaterasu merujuk pada salah satu dewi dalam mitologi Jepang.
Meskipun penemuan ini menarik banyak perhatian, para ilmuwan masih dalam kebingungan mengenai penyebab pasti asal-usul Amaterasu ini. Amaterasu pertama kali terdeteksi pada 2021 lalu.
Advertisement
Baca Juga
Partikel ini memiliki energi yang sangat tinggi, melebihi 240 exa-elektron volt (Eev). Para astronom memiperkirakan partikel ini berasal dari Local Void, sebuah area kosong di angkasa yang berbatasan dengan galaksi Bima Sakti.
Meskipun telah diamati oleh para ilmuwan, asal-usul pasti partikel ini masih menjadi misteri menarik. Tidak ada objek astronomi yang sesuai dengan arah kedatangan sinar kosmik ini.
Artinya, ada kemungkinan muncul fenomena astronomi yang belum teridentifikasi atau asal fisik baru di luar Model Standar Fisika. Amaterasu bukan sinar kosmik pertama yang terdeteksi di Bumi.
Sebelumnya, partikel Oh-My-God menerjang bumi pada 1991 dengan kekuatan 32o EeV. Saat ini, para ilmuwan tengah memeriksa apakah kehadiran Amaterasu dapat mempengaruhi iklim atau radiasi di planet kita.
Namun, pada tahap awal, belum ada indikasi adanya dampak negatif dari partikel ini. Komunitas ilmiah global bekerja keras untuk mengungkap misteri di balik Amaterasu.
Observatorium kosmik di seluruh dunia terus memantau dan menganalisis data untuk mencari tahu lebih banyak tentang karakteristik dan asal-usul partikel ini.
Â
Mengenal Sinar Kosmik dan Dampaknya bagi Bumi
Dikutip dari laman Centers for Disease Control and Prevention pada Jumat (01/03/2024), sinar kosmik merupakan partikel berenergi tinggi yang sebagian besar terdiri dari proton atau inti helium. Partikel ini secara konstan mengalir ke setiap bagian alam semesta, termasuk tubuh manusia.
Meskipun sebagian kecil sinar kosmik hanya mencapai Bumi sekitar satu kali per mil persegi setiap tahun. Partikel tersebut mengalami percepatan energi lebih lanjut akibat beberapa fenomena paling intens di alam semesta.
Namun tenang, meski terdengar menyeramkan, paparan sinar kosmik ini sebenarnya tidak terlalu berbahaya bagi manusia di permukaan Bumi. Sebab, atmosfer Bumi akan berperan sebagai pelindung alami.
Atmosfer menyerap sebagian besar sinar kosmik sebelum mencapai permukaan. Partikel berenergi tinggi berinteraksi dengan atom dan molekul di atmosfer, menghasilkan partikel sekunder seperti muon yang memiliki kemampuan menembus lebih dalam.
Namun, intensitas muon ini tetap cukup rendah di permukaan. Paparan sinar kosmik yang diterima manusia di Bumi juga tergolong dosis rendah.
Artinya, jumlah energi yang diserap tubuh dari sinar kosmik ini sangat sedikit dibandingkan dengan sumber radiasi lain seperti sinar medis atau sinar ultraviolet dari matahari. Dosis rendah ini tidak cukup untuk menimbulkan efek kesehatan yang merugikan secara langsung.
Meski begitu, bukan bearti sinar kosmik tidak benar-benar aman bagi manusia. Laman Organisasi Public Health England (PHE) yang dikutip pada Jumat (01/03/2024), mempublikasikan laporan tentang implikasi kesehatan dari dampak radiasi matahari.
Dampak sinar kosmik tersebut ditujukan kepada para penumpang pesawat jarak jauh. PHE telah membentuk The Cosmic Radiation Advisory Group yang beranggotakan para pakar dari British Airways, Kantor Kabinet Inggris, Depertemen Kesehatan, dan sejumlah universitas.
Mereka meyakini adanya bahaya dari udara yang datang dari antariksa. Contohnya, Coronal Mass Ejection (CME) yang berarti ledakan besar di Matahari dan banyak partikel bermuatan magnet yang terlempar ke ruang angkasa.
Dalam laporan PHE disebutkan bahwa peradaban manusia hanya memiliki waktu 12 jam peringatan mengenai 'kedatangan' semburan dari Matahari tersebut. Sebelum pada akhirnya merusak jaringan listrik, saluran pipam dan sinyal kereta api.
Tak hanya itu, laporan PHE juga menyatakan badai Matahari cenderung memengaruhi aktivitas masyarakat yang sedang bepergian melalui udara, khususnya di rute melintasi lautan. Tim peneliti sudah mulai melakukan studi lebih lanjut mengenai pengaruhnya untuk di daratan, sebab pengaruh bahaya dari sinar kosmik sudah jelas berpotensi memengaruhi para awak pesawat terbang.
Penelitian yang didanai oleh NASA itu kemudian menemukan bukti badai Matahari bisa memicu radiasi berbahaya. Bahkan, mengakibatkan masalah kesehatan dalam berbagai tingkatan, tak hanya yang berada di udara, namun juga di daratan.
Hingga saat ini, para ilmuwan terus melakukan penelitian akan bahaya sinar kosmik serupa Amaterasu. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terburuk di masa yang akan datang.
(Tifani)
Advertisement