Liputan6.com, Gaza - Ramadan di Jalur Gaza bergulir dengan latar belakang kelaparan, penyakit, dan pengungsian, sementara perang Hamas Vs Israel terus berlanjut.
Ketika aliran makanan dan bantuan lainnya melambat, laporan PBB yang mengutip otoritas kesehatan Jalur Gaza menyebutkan bahwa angka kematian akibat kurang gizi dan dehidrasi menjadi 25 orang. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak.
Baca Juga
Di Kota Rafah di perbatasan selatan Jalur Gaza, tempat 1,5 juta orang mengungsi, takjil atau makanan berbuka puasa yang biasa digantikan dengan makanan kaleng dan kacang-kacangan. Demikian penuturan pengungsi dari Khan Younis, Mohammad al-Masry.
Advertisement
"Kami tidak mempersiapkan apa pun. Apa yang dimiliki para pengungsi?" ungkap al-Masry, seperti dilansir Malay Mail, Rabu (13/3/2024).
"Kami tidak merasakan nikmatnya Ramadhan … Lihatlah orang-orang tinggal di tenda dalam cuaca dingin."
Om Muhammad Abu Matar, yang juga merupakan pengungsi dari Khan Younis, mengatakan kepada AFP bahwa Ramadhan tahun ini memiliki dicirikan dengan darah, kesengsaraan, perpisahan, dan penindasan.
Kelompok-kelompok bantuan telah memperingatkan risiko kelaparan di Jalur Gaza selama berminggu-minggu dan PBB telah melaporkan adanya kesulitan khusus dalam mengakses bagian utara Gaza untuk pengiriman makanan dan bantuan lainnya.
"Kita kehabisan waktu," kata Cindy McCain, kepala Program Pangan Dunia (WFP), pada Senin (11/3). "Jika kita tidak secara eksponensial meningkatkan jumlah bantuan yang masuk ke wilayah Gaza Utara krisis kelaparan yang sangat dahsyat segera terjadi."
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin pun menyerukan "pembungkaman senjata" selama Ramadan.
Lokasi Buka Puasa yang Tak Biasa
Di Kota Gaza, dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang runtuh, satu keluarga berkumpul mengelilingi meja di samping reruntuhan rumah mereka untuk berbuka puasa pada Senin.
"Hari ini adalah hari pertama Ramadan. Kami memutuskan untuk datang dan berbuka puasa di sini, di rumah kami yang terdampak, di tengah kerusakan dan reruntuhan," kata Om Shaher Al Qta’a.
Sebelumnya pada hari yang sama di Rafah, Zaki Abu Mansour mengatakan kepada AFP bahwa sahurnya sangat sedikit dan dia tidak tahu makanan apa yang akan dia santap berikutnya.
"Ini dapur saya," tambah warga Khan Yunis yang mengungsi itu sambil menunjuk ke sudut tendanya. "Saya hanya punya tomat dan mentimun – hanya itu yang saya punya, dan saya tidak punya uang untuk membeli apa pun."
Ketika jumlah bantuan yang masuk ke Jalur Gaza dengan truk jauh di bawah jumlah sebelum perang dan warga semakin putus asa, pemerintah asing beralih menyalurkan bantuan lewat udara. Terbaru, mereka mencoba membuka koridor bantuan maritim, yang berangkat dari Siprus.
Seorang pejabat senior pemerintah AS mengatakan inisiatif bantuan via maritim bertolak dari pelabuhan Larnaca, di mana sebelum berlayar ke Gaza, pemeriksaan dilakukan oleh pejabat Israel.
Pemeriksaan yang rumit adalah alasan utama mengapa kekurangan pasokan saat ini begitu mencolok, kata para pekerja bantuan, sementara Israel menyalahkan masalah tersebut di pihak Palestina.
Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain kembali mengirimkan pasokan ke Gaza Utara pada hari Senin, namun para pekerja bantuan mengatakan pengiriman melalui darat akan jauh lebih efektif.
Advertisement
Netanyahu: Israellah yang Memutuskan
Juru bicara militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari pada Senin mengatakan serangan udara pada akhir pekan terhadap kompleks bawah tanah di Gaza tengah menargetkan Marwan Issa, wakil kepala sayap bersenjata Hamas, meskipun tidak jelas apakah dia terbunuh.
Israel pada Senin juga melancarkan serangan terhadap sekutu Hamas, Hizbullah. Gubernur wilayah Baalbek-Hermel, Lebanon, mengatakan satu orang tewas dalam serangan tersebut
Militer Israel mengonfirmasi pula jet-jetnya menyerang dua lokasi di wilayah tersebut sebagai pembalasan atas serangan drone Hizbullah yang diluncurkan ke Dataran Tinggi Golan.
Sementara itu, pembicaraan selama berminggu-minggu yang melibatkan mediator AS, Qatar, dan Mesir masih gagal menghasilkan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran sandera.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sendiri berada di bawah tekanan dari keluarga sandera yang putus asa, para kritikus pemerintahannya, dan juga kritik yang semakin tajam dari sekutu utamanya, AS.
Ketika ditanya tentang perselisihan antara dia dan Presiden AS Joe Biden, Netanyahu mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Fox News pada Senin, "Kami memiliki kesepakatan mengenai tujuan dasar, tetapi kami juga memiliki perbedaan pendapat tentang bagaimana mencapainya."
"Pada akhirnya, Israellah yang harus memutuskan. Leher kami dipertaruhkan."
Sejak awal perang, Netanyahu menegaskan Israel akan terus melanjutkan aksinya hingga Hamas berhasil dimusnahkan.
Namun, dalam laporan penilaian ancaman tahunan yang dirilis Senin, para pejabat keamanan nasional AS menyatakan tujuan Netanyahu akan sulit dicapai. Laporan yang sama memperkirakan Israel kemungkinan akan menghadapi perlawanan bersenjata yang berkepanjangan dari Hamas di tahun-tahun mendatang.