Liputan6.com, Gaza - Ramadan 2024 merupakan ironi kejam bagi warga Jalur Gaza. Pasalnya, bulan suci yang mengharuskan umat muslim berpuasa itu tiba di tengah bencana kelaparan di sana.
Warga Jalur Gaza telah hidup dalam kondisi peperangan selama bulan dan seluruh dari mereka disebut sudah bergantung pada bantuan pangan untuk bertahan hidup.
Baca Juga
"Orang-orang di sini sudah berpuasa selama berbulan-bulan," ujar Wakil Direktur Unit Gawat Darurat di Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza Dr Amjad Eleiwa, seperti dilansir BBC, Selasa (19/3)
Advertisement
"Mereka menjelajahi kota mencari makanan untuk bertahan hidup, tapi mereka tidak dapat menemukannya."
Pengeboman membabi buta Israel terhadap Jalur Gaza sebagai respons terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 telah menghancurkan infrastruktur pangan dan lahan pertanian di seluruh wilayah tersebut. Badan-badan bantuan mengatakan peningkatan pemeriksaan keamanan Israel pada truk pengiriman bantuan telah menciptakan hambatan dalam upaya menyalurkan bantuan kepada masyarakat Jalur Gaza.
Badan global yang bertanggung jawab untuk menyatakan kelaparan, Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC), melaporkan pada Senin (18/3) ini bahwa 1,1 juta orang – hampir separuh penduduk Jalur Gaza – sudah kelaparan dan sisa penduduk di sana mungkin mengalami kelaparan pada Juli.
Krisis pangan paling parah terjadi di Gaza Utara. Berbeda dengan Ramadan sebelumnya, tahun ini penduduk di sana tidak dapat mengisi perut mereka saat sahur atau berharap menghilangkan rasa lapar dengan berbuka puasa.
Dekorasi jalanan, penabuh genderang, dan kios-kios yang penuh dengan camilan di Jalur Gaza telah digantikan oleh kehancuran, kematian, dan perjuangan sehari-hari untuk mendapatkan makanan. Harga tepung atau gandum yang tersedia meningkat lima kali lipat.
"Saya ingat Ramadhan lalu, ada makanan enak – jus, kurma, susu, apa pun yang Anda inginkan," kata Nadia Abu Nahel, seorang ibu berusia 57 tahun yang merawat keluarga besar dengan 10 anak di Kota Gaza.
"Dibandingkan tahun ini, rasanya seperti surga dan neraka. Anak-anak sekarang menginginkan sepotong roti, itu adalah makanan yang mereka impikan. Tulang mereka menjadi lebih lunak. Mereka pusing, mereka kesulitan berjalan. Mereka menjadi sangat kurus."
27 Orang Meninggal Akibat Kekurangan Gizi
Menurut badan amal, CARE, setidaknya 27 orang – 23 di antaranya anak-anak – meninggal karena kekurangan gizi atau dehidrasi di Gaza Utara dalam beberapa pekan terakhir. Jumlah sebenarnya, menurut dokter dari beberapa rumah sakit di wilayah utara, kemungkinan besar lebih tinggi.
Di antara mereka yang dirawat karena kekurangan gizi oleh Dr Eleiwa di Rumah Sakit Al-Shifa baru-baru ini adalah seorang anak laki-laki berusia antara 10 dan 12 tahun yang meninggal pekan lalu selama Ramadan; seorang anak laki-laki berusia sekitar empat bulan yang ibunya dibunuh, sehingga dia kekurangan susu padahal tidak ada yang bisa dibeli; dan seorang remaja perempuan berusia 18 tahun yang sudah menderita epilepsi.
"Remaja perempuan itu sudah sakit dan obat-obatannya tidak tersedia lagi. Keluarganya tidak punya makanan," kata Dr Eleiwa.
"Pada akhirnya tubuhnya sangat kurus, hanya tulang dan kulit. Tidak ada lemak."
Di bawah perawatannya di Al-Shifa pada Jumat (15/3), Rafeeq Dughmoush yang berusia 16 tahun terbaring miring. Tulang Rafeeq terlihat dan salah satu kakinya diamputasi dari lutut ke bawah. Sebuah tas kolostomi dipasang di tubuhnya.
"Saya kurus kering," katanya, berbicara perlahan seraya menarik napas di antara kata-katanya. "Saya sangat lemah, sehingga saya tidak bisa menggerakkan tubuh saya dari satu sisi ke sisi lain. Harus dibantu paman saya."
Rafeeq dan saudara perempuannya Rafeef (15) terluka parah ketika serangan udara Israel menghantam rumah mereka, menewaskan 11 anggota keluarga, kata paman mereka, Mahmoud. Di antara korban tewas adalah ibu mereka, empat saudara kandung lainnya, serta keponakan-keponakan mereka.
Pamannya menuturkan bahwa Rafeeq sudah menderita kekurangan gizi, sebelum serangan itu terjadi.
"Kami tidak dapat menemukan buah apa pun untuk dimakan, tidak ada apel, tidak ada jambu biji, tidak ada daging, dan harga makanan apa pun di pasar terlalu mahal," ungkap sang paman.
Rafeef, yang kakinya patah akibat serangan itu dan terjepit, mengatakan dia telah meminta staf rumah sakit untuk memberikan buah atau sayuran apa pun untuk dia makan, namun mereka tidak dapat menyediakannya.
Ramadan, kata Rafeef, dulunya adalah saat yang penuh kegembiraan. "Surga dibandingkan dengan sekarang."
"Sungguh indah," kenangnya. "Namun, masa-masa seperti itu tidak akan kembali lagi. Orang-orang terbaik dalam hidup kami telah pergi untuk selama-lamanya."
Advertisement
Uni Eropa: Israel Gunakan Kelaparan Sebagai Senjata Perang
Para dokter di Rumah Sakit Al-Shifa telah memindahkan banyak pasien anak-anak yang kekurangan gizi ke Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza Utara karena rumah sakit tersebut memiliki fasilitas anak yang lebih baik, namun jumlah anak-anak yang meninggal di rumah sakit tersebut juga tinggi.
Kepala bagian pediatri di Rumah Sakit Kamal Adwan Dr Hussam Abu Safiya menuturkan bahwa 21 anak meninggal di rumah sakit itu karena kekurangan gizi atau dehidrasi dalam empat minggu terakhir dan saat ini terdapat 10 anak dalam kondisi akut.
"Saya merasa tidak berdaya untuk menyelamatkan anak-anak ini dan ini adalah perasaan yang berat dan memalukan," kata Dr Safiya. "Saya memiliki perasaan yang sama terhadap staf saya, yang tidak dapat menemukan cukup makanan untuk diri mereka sendiri dan kadang-kadang tidak makan."
"Israel mengobarkan perang dengan kelaparan. Dengan sengaja merampas makanan anak-anak, membunuh mereka dengan kelaparan – tidak ada hukum di dunia yang mengizinkan penjajah melakukan hal ini."
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell juga menuduh Israel sengaja membuat warga Jalur Gaza kelaparan.
"Di Gaza kita tidak lagi berada di ambang kelaparan, kita berada dalam kondisi kelaparan," katanya pada Senin. "Ini tidak bisa diterima. Kelaparan digunakan sebagai senjata perang. Israel memicu kelaparan."
Israel membantah pihaknya sengaja membuat warga Jalur Gaza kelaparan. Mereka menyalahkan PBB, yang mereka klaim telah menciptakan tantangan logistik dalam pengiriman bantuan, dan Hamas, yang menurut Israel telah mengambil alih bantuan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pekan lalu turut membantah bahwa warga Jalur Gaza kelaparan.
"Itu bukan informasi yang kami miliki dan kami memantaunya dengan cermat," katanya kepada Politico.
Namun, kondisi warga Jalur Gaza yang kelaparan tidak dapat ditepis.
"Fakta-fakta sudah membuktikannya," ujar Abeer Etefa, juru bicara senior Program Pangan Dunia (WFP) untuk Timur Tengah. "Satu koma satu juta anak berada di bawah IPC fase 5 – yaitu bencana kelaparan. Dan lebih dari sepertiga anak di bawah dua tahun mengalami kekurangan gizi akut. Itu berarti mereka berisiko meninggal."
UNRWA: Israel Abai soal Kewajibannya
Pada Jumat (15/3), 200 ton bantuan makanan yang disediakan oleh badan amal World Central Kitchen tiba dengan tongkang di dermaga yang baru dibangun di lepas pantai Gaza. Dermaga darurat itu dibangun oleh badan amal tersebut dari puing-puing bangunan yang hancur. Bantuan diharapkan akan mengurangi kekurangan pangan yang parah di bagian utara dan tengah Gaza, serta menopang kebutuhan selama sisa Ramadan.
Namun, operasi bantuan amal tersebut telah menimbulkan tuduhan terhadap Israel bahwa mereka telah mengabaikan tanggung jawab kemanusiaannya terhadap penduduk sipil, sehingga menyerahkan tanggung jawab kepada badan amal dan negara lain untuk turun tangan mengisi kekosongan tersebut.
"Sebagai kekuatan pendudukan, negara Israel berkewajiban memenuhi kebutuhan penduduk atau memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan," tegas Direktur Komunikasi Badan PBB untuk Urusan Pengungsi Palestina, UNRWA, Juliette Touma. "Dan mereka tidak melakukan hal itu."
Ketika kapal tongkang World Central Kitchen mendekati garis pantai Gaza, Khaled Naji, ayah enam anak, sedang membantu istrinya menyiapkan makan malam di reruntuhan rumah mereka di Deir al-Balah, Gaza tengah.
"Kami membutuhkan bantuan," ungkap Naji. "Mereka bicara tentang bantuan kemanusiaan tapi kami tidak mendapat apa-apa."
Seperti banyak orang di Jalur Gaza, Naji dan keluarganya berusaha untuk merayakan Ramadan.
"Kami puasa karena Tuhan tapi tahun ini kami tidak bisa menikmatinya," ujarnya. "Bukan sahur, bukan saat berbuka, bukan ritual yang biasa kami lakukan. Kami tidak mendandani anak-anak kami dan mengajak mereka salat. Kami tidak mengajari mereka tentang keimanan. Anda hanya memberi makan anak Anda sedikit dan Anda selalu takut ada bom yang jatuh di kepala Anda."
Matahari terbenam tiba, Naji meletakkan selimut di atas lempengan beton dan duduk bersama keluarganya di tengah reruntuhan. Mereka telah mengemis sejumlah kecil makanan segar untuk makan malam. Pada beberapa hari sebelumnya, tidak ada satu pun.
"Situasi kami saat ini di Jalur Gaza, membuat saya iri pada mereka yang tewas," ungkap Naji.
"Kami tidak sedang menjalani Ramadan tahun ini, sebaiknya namanya diganti. Kami berada di bulan kematian."
Advertisement