Sukses

HEADLINE: DK PBB Setujui Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Israel Meradang

Resolusi DK PBB 2728 (2024) yang menuntut gencatan senjata segera atas perang Hamas Vs Israel dimungkinkan tercapai setelah AS memilih abstain ketimbang menggunakan hak vetonya.

Liputan6.com, Jakarta - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu telah menegaskan bahwa jika Amerika Serikat (AS) tidak memveto resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB dalam pemungutan suara yang berlangsung pada Senin (25/3/2024) maka dia akan membatalkan kunjungan delegasi Israel ke AS. Faktanya, itu kejadian.

Resolusi DK PBB 2728 (2024) disetujui oleh 14 negara anggota, yang terdiri dari empat anggota tetap DK PBB dan 10 anggota tidak tetap DK PBB. AS memilih abstain.

Melansir situs web resmi PBB, Resolusi DK PBB 2728 (2024) yang digagas 10 negara anggota tidak tetap menuntut gencatan senjata segera selama bulan Ramadan, yang mengarah pada gencatan senjata yang berkelanjutan dan awet; pembebasan segera dan tanpa syarat seluruh sandera; jaminan akses kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan medis dan kebutuhan kemanusiaan lainnya; dan pencabutan semua hambatan terhadap bantuan kemanusiaan dalam skala besar, sejalan dengan hukum humaniter internasional dan Resolusi DK 2712 (2023) dan 2720 (2023).

"AS telah meninggalkan kebijakannya di PBB. Beberapa hari lalu, mereka mendukung resolusi DK yang mengaitkan seruan gencatan senjata dengan pembebasan sandera ... Mengingat perubahan posisi AS, PM Netanyahu memutuskan bahwa delegasi akan tetap berada di Israel," demikian pernyataan kantor PM Israel via platform X alias Twitter pada Senin.

Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih John Kirby sangat menyayangkan respons Israel. Namun AS, kata Kirby, akan menyampaikan keprihatinannya dalam diskusi yang sedang berlangsung antar kedua pemerintah.

"Ini mengecewakan. Kami sangat kecewa karena mereka tidak jadi datang ke Washington, DC, untuk mengizinkan kami melakukan pembicaraan ... tentang alternatif yang bisa dilakukan selain mereka mendatangi Rafah. Tidak ada yang berubah mengenai pandangan kami bahwa serangan darat besar-besaran ke Rafah adalah kesalahan besar," ungkap Kirby.

Delegasi Israel dijadwalkan mengunjungi AS untuk membahas rencana operasi militer Israel ke Kota Rafah di Gaza Selatan, tempat di mana lebih dari 1 juta warga Palestina berlindung. AS telah berulang kali menyuarakan penentangannya atas rencana Israel itu.

Wakil Presiden (Wapres) Kamala Harris adalah pejabat tinggi AS lainnya yang memperingatkan Israel soal rencana serangan ke Rafah, yang berbatasan dengan Mesir.

"Kami telah menjelaskan dalam beberapa kali pembicaraan dan dengan segala cara bahwa setiap operasi militer besar di Rafah adalah kesalahan besar," ujar Kamala kepada ABC's This Week, seperti dikutip dari Al Jazeera.

"Saya telah mempelajari petanya, tidak ada tempat bagi orang-orang di sana untuk pergi. Dan sepengetahuan kami sekitar 1 juta orang di berada di Rafah karena mereka memang diminta mengungsi ke sana."

Saat ditanya apakah akan ada konsekuensi dari AS jika rencana serangan terhadap Rafah berlanjut, Kamala menuturkan, "Saya tidak menyampingkan (opsi) apapun."

Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken pada Kamis (21/3) menegaskan pernyataan serupa.

"Operasi militer besar-besaran di Rafah adalah sebuah kesalahan, sesuatu yang tidak kami dukung," kata Menlu Blinken seperti dilansir AP, seraya menambahkan serangan masif ke kota itu akan berarti lebih banyak kematian warga sipil dan memperburuk krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.

Perang Hamas Vs Israel yang meletus pada 7 Oktober 2023, menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza, telah menewaskan setidaknya 32.414 orang.

 

Berdasarkan Piagam PBB, resolusi DK PBB mengikat secara hukum bagi 193 negara anggotanya, meskipun seringkali resolusi dilanggar.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana yang dimintai pendapatnya oleh Liputan6.com mengatakan walaupun resolusi DK PBB mengikat, Israel dapat bersikukuh mengabaikannya.

"Tentu ini mengikat bagi anggota PBB," ujar Hikmahanto. "Resolusi DK PBB ini bisa dipaksakan dengan cara DK memandatkan pasukan multinasional PBB melakukan penggunaan kekerasan/penyerangan terhadap Israel. Masalahnya, dalam resolusi DK PBB yang diterbitkan tidak ditentukan penggunaan pasukan multinasional DK PBB, sehingga sulit untuk dipaksakan. Ujung-ujungnya bisa tidak efektif."

2 dari 4 halaman

Hubungan Israel-AS di Ujung Tanduk?

Keputusan AS untuk tidak menggunakan hak vetonya dalam upaya menggagalkan Resolusi DK PBB 2728 (2024) yang mengusik Israel telah menandai perubahan tajam dalam konteks hubungan kedua negara. Sekalipun AS bersikeras sikap abstainnya tidak bermaksud demikian.

Pasalnya, untuk pertama kalinya sejak perang terbaru di Jalur Gaza meletus Oktober tahun lalu dan setelah memveto tiga draf resolusi sebelumnya, AS membuka jalan bagi DK PBB untuk menuntut gencatan senjata segera di Jalur Gaza melalui sikap abstainnya.

"AS memilih abstain dibandingkan memveto draf (resolusi) karena ini mencerminkan pandangan kami bahwa gencatan senjata dan pembebasan sandera harus dilakukan secara bersamaan," terang Kirby, seperti dilansir AP.

AS memveto draf-draf resolusi gencatan senjata sebelumnya sebagian besar karena kegagalan mengaitkannya secara langsung dengan pembebasan sandera, mengutuk serangan Hamas, dan lemahnya negosiasi yang sedang berlangsung. Para pejabat AS dilaporkan meyakini bahwa gencatan senjata dan pembebasan sandera saling terkait, sementara Rusia, China, dan banyak anggota DK PBB lainnya lebih menyukai seruan gencatan senjata tanpa syarat.

Resolusi DK PBB 2728 (2024) yang disetujui pada Senin menuntut pembebasan sandera, namun tidak menjadikannya sebagai syarat gencatan senjata selama Ramadan.

Bagaimanapun, sebelum disetujui, AS sempat memainkan posisi tawarnya untuk menuntut perubahan pada satu kata yang digunakan dalam draf resolusi. Perubahan yang dimaksud adalah pergantian kata "permanen" dengan "awet" untuk menggambarkan gencatan senjata. Permanen adalah kata yang digunakan oleh Hamas dan dinilai memiliki penafsiran lebih kuat.

Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani yang dimintai analisisnya berpendapat bahwa sikap abstain AS ambigu.

"Meski tidak memveto resolusi DK PBB terkait gencatan senjata antara Israel dan Hamas, sikap AS sebenarnya ambigu. Di satu sisi, kebijakan tersebut merupakan simbol dukungan AS bagi upaya perdamaian di Gaza. Sebelumnya, AS selalu memveto resolusi mengenai gencatan senjata. Lebih dari itu, AS berupaya menghindari penyebutan istilah gencatan senjata dengan memperkenalkan istilah lain seperti humanitarian pause. Artinya, kali ini AS sepaham dengan masyarakat internasional yang menekan Israel untuk segera menghentikan tindakan militernya di Gaza. Kebijakan ini memperkuat pernyataan AS sebelumnya yang tidak mendukung rencana agresi militer Israel ke Rafah," ujar Irfan saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (26/3).

"Di sisi lain, AS melalui juru bicara Gedung Putih John Kirby menyangkal anggapan bahwa abstainnya AS menandai perubahan kebijakan terhadap Israel. Lebih dari itu, John Kirby menyatakan bahwa resolusi DK PBB tidak mengikat. Pernyataan tersebut jelas mengingkari fakta bahwa semua resolusi DK PBB adalah hukum internasional yang mengikat. Dengan kata lain, AS memberi kelonggaran bagi Israel untuk terus melancarkan aksi militer terhadap Hamas. Padahal dukungan dari negara adidaya seperti AS dibutuhkan agar resolusi DK PBB dapat diimplementasikan dengan efektif."

Pengajar Hubungan Internasional Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Ryantori mencatat dua poin terkait resolusi DK PBB.

"Resolusi gencatan senjata di Gaza oleh DK PBB memang telah disepakati. Ini tentu harus kita apresiasi. Namun, saya melihat setidaknya ada dua hal yang menjadi ganjalan. Pertama, AS sebagai negara yang powerful lagi-lagi menunjukkan sikap abstain. Ini menurut saya tidaklah mencerminkan posisinya sebagai negara besar. Kedua, ada tersirat bahwa gencatan ini hanya berlangsung di sisa Ramadan tahun ini. Tidak ada jaminan gencatan senjata ini akan berlangsung lama," ujar Ryantori kepada Liputan6.com.

Keputusan AS untuk abstain terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara pemerintahan Joe Biden dan Netanyahu mengenai tindakan Israel dalam perang di Gaza, tingginya jumlah korban sipil, dan terbatasnya jumlah bantuan kemanusiaan yang dapat wilayah kantong itu. Kedua negara juga berselisih mengenai penolakan Netanyahu terhadap berdirinya negara Palestina yang merdeka, kekerasan pemukim Yahudi terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki, dan perluasan permukiman di sana.

Pertentangan antara Biden dan Netanyahu – yang dimulai sejak masa jabatan Biden sebagai wapres – semakin dalam setelah Biden mempertanyakan strategi Israel dalam memerangi Hamas.

Pernyataan pemimpin mayoritas Senat Chuck Schumer, sekutu Biden, semakin menambah bara. Schumer menyatakan Netanyahu tidak bertindak demi kepentingan terbaik Israel. Tidak hanya itu, dia juga menyerukan Israel mengadakan pemilu baru. Biden mengisyaratkan persetujuannya atas pernyataan Schumer, memicu respons keras dari Netanyahu.

Terlalu dini menilai hubungan AS-Israel berada di ujung tanduk mengingat standar ganda yang diperankan AS. 

3 dari 4 halaman

Akankah Israel Mematuhi Resolusi DK PBB?

"Melihat rekam jejak Israel agaknya sulit membayangkan mereka sepenuhnya patuh terhadap resolusi DK PBB. Misalnya, Israel mengabaikan provisional measures dari Mahkamah Internasional untuk memberi jalan bagi bantuan kemanusiaan di Gaza. Sikap itu dipertegas oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, yang mengatakan negaranya tidak akan melakukan gencatan senjata dan terus berperang dengan Hamas hingga seluruh tawanan dibebaskan," ungkap Irfan.

Lebih lanjut Irfan menambahkan, "Walaupun menolak patuh terhadap resolusi DK PBB, Israel sepertinya tidak akan mendapat konsekuensi yang signifikan. Misalnya, agak sulit dibayangkan bahwa DK PBB memerintahkan adanya tindakan militer agar Israel patuh terhadap resolusi tersebut. Memang ada kemungkinan Israel akan dijatuhi sanksi ekonomi dan diplomatik. Namun, dengan sikap AS dan sekutunya di Barat, rasanya membuat sanksi yang efektif akan sangat sulit."

"Ketidakpatuhan Israel sebenarnya justru mengekspos kelemahan rule-based order. Penolakan Israel terhadap resolusi DK PBB yang merupakan hukum internasional yang mengikat justru semakin menunjukkan betapa lemahnya kemampuan PBB dalam mengatasi konflik global. Dalam jangka panjang, ketidakpercayaan negara-negara khususnya yang berasal dari Global South terhadap PBB akan semakin berkurang. Hal ini merupakan preseden buruk bagi upaya mencapai perdamaian dunia melalui organisasi internasional yang menjadi tulang punggung rule-based order."

Hamas sendiri menyambut baik resolusi DK PBB, namun tetap menginginkan gencatan senjata yang bersifat permanen.

"Kami mengonfirmasi kesiapan kami untuk segera terlibat dalam proses pertukaran tahanan yang mengarah pada pembebasan tahanan di kedua pihak," kata kelompok itu.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan via X, "Resolusi ini harus dilaksanakan. Kegagalan tidak bisa dimaafkan."

Fakta menarik lainnya, sekalipun dikenal karib dengan Netanyahu, calon presiden AS dari Partai Republik Donald Trump ikut mendesak Israel menyudahi perang di Jalur Gaza.

"Anda harus menyelesaikan perang," kata Trump yang bermantukan seorang Yahudi saat wawancara dengan surat kabar Israel Hayom, seperti dikutip dari AP. "Kita harus mencapai perdamaian ... dan menurut saya Israel harus sangat berhati-hati karena Anda kehilangan banyak dukungan."

4 dari 4 halaman

Respons Dunia terhadap Resolusi DK PBB 2728

Dunia menyambut baik resolusi DK PBB 2728 (2024). Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Palestina seperti dikutip dari Al Jazeera mengatakan bahwa mengadopsi resolusi adalah sebuah langkah ke arah yang benar untuk mengakhiri perang lima bulan, memungkinkan masuknya bantuan, dan memulai kembalinya para pengungsi.

Kemlu Palestina meminta negara-negara anggota DK PBB memenuhi tanggung jawab hukum mereka untuk segera menerapkan resolusi tersebut. Kemlu Palestina menekankan pentingnya mencapai gencatan senjata permanen setelah bulan Ramadan – bersama dengan mengamankan masuknya bantuan, pembebasan tahanan, dan mencegah pengungsian paksa.

Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun merespons resolusi DK PBB dengan mengungkapkan, "Setelah berulang kali melakukan veto terhadap tindakan DK, AS akhirnya memutuskan untuk berhenti menghalangi tuntutan DK untuk segera melakukan gencatan senjata ... Bagi mereka yang sudah tewas, resolusi DK PBB saat ini sudah terlambat, namun bagi jutaan orang di Gaza yang masih terperosok dalam bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, resolusi ini, jika diterapkan secara penuh dan efektif, masih dapat memberikan harapan yang telah lama dinantikan."

Duta Besar Rusia untuk PBB Vasily Alekseyevich Nebenzya menyampaikan harapan agar resolusi DK PBB digunakan untuk kepentingan perdamaian daripada memajukan operasi tidak manusiawi Israel terhadap Palestina. Dia mengungkapkan pula bahwa Rusia lebih memilih versi draf yang menggunakan kata "permanen".

"Kami kecewa karena itu tidak lolos. Meskipun demikian, kami percaya bahwa pada dasarnya penting untuk memberikan suara yang mendukung perdamaian. DK harus terus berupaya mencapai gencatan senjata permanen," tegasnya.

Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas de Riviere menuturkan resolusi menunjukkan bahwa DK PBB masih dapat bertindak ketika semua anggotanya melakukan upaya yang diperlukan untuk melaksanakan mandat mereka.

"Diamnya Dewan Keamanan terhadap Gaza semakin memekakkan telinga. Sekarang adalah saat yang tepat bagi dewan untuk akhirnya berkontribusi dalam menemukan solusi," kata de Riviere, seraya melanjutkan bahwa upaya perlu dilakukan untuk mewujudkan gencatan senjata permanen dan menghidupkan kembali proses politik guna mewujudkan solusi dua negara.

Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward menyesalkan resolusi DK PBB 2728 (2024) tidak mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober dan menekankan bahwa Inggris dengan tegas mengutuknya. Namun, Woodward juga mengatakan bahwa resolusi mengirimkan pesan yang "jelas" tentang perlunya penegakan hukum kemanusiaan internasional.

"Kami menyerukan agar resolusi ini segera dilaksanakan. Kita perlu fokus pada bagaimana kita memetakan jalan dari jeda kemanusiaan menuju perdamaian abadi dan berkelanjutan tanpa kembali berperang," ujarnya. "Artinya pembentukan pemerintahan baru Palestina untuk Tepi Barat dan Gaza disertai dengan paket dukungan internasional."

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menanggapi resolusi DK PBB 2728 dengan menuliskan via X, "Implementasi resolusi ini sangat penting untuk melindungi seluruh warga sipil."

Kemlu Republik Indonesia via X menyebutkan, "Indonesia menyambut baik adopsi Resolusi DK PBB 2728 (2024) yang menuntut gencatan senjata segera di Gaza."

Indonesia menyerukan agar resolusi yang mengikat secara hukum ini segera diimplementasikan oleh seluruh pihak.

Menlu Afrika Selatan Naledi Pandor menyambut baik resolusi DK PBB 2728 (2024), namun menekankan bahwa keputusan ada di tangan DK.

PM Spanyol Pedro Sanchez memuji resolusi, dengan mengatakan itu sejalan dengan apa yang telah dikatakan Spanyol sejak awal konflik.

"Terwujudnya dua negara, Israel dan Palestina, yang hidup berdampingan secara damai dan aman adalah satu-satunya solusi yang realistis dan layak untuk kawasan ini," tulis Sanchez di X.

PM Belanda Mark Rutte menyambut baik resolusi dan menambahkan, "Apa yang diperlukan sekarang adalah menghentikan kekerasan, membebaskan para sandera, segera mengirimkan lebih banyak bantuan kemanusiaan ke Gaza dan menemukan solusi jangka panjang."

Turki menyebut resolusi dan prospek kembalinya akses kemanusiaan ke Gaza sebagai langkah positif.

"Kami berharap Israel akan mematuhi persyaratan resolusi ini tanpa penundaan," tulis juru bicara urusan luar negeri Turki Oncu Keceli di X.

PM Malaysia Anwar Ibrahim menyatakan dukungan negaranya terhadap resolusi DK PBB dengan istilah yang paling kuat. PM Anwar menekankan resolusi harus segera ditegakkan.

"Kita harus segera membebaskan masyarakat Gaza dari rasa sakit dan penderitaan luar biasa yang mereka alami selama hampir enam bulan," kata PM Anwar.

"Khususnya, AS harus membujuk sekutunya untuk menghormati keinginan komunitas internasional dan dengan demikian mematuhi gencatan senjata serta mengizinkan masuknya bantuan darurat dalam jumlah besar dan segera."

Â