Liputan6.com, Beijing - Presiden China Xi Jinping bertemu dengan mantan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou pada Rabu (10/4/2024). Para analis menilai pertemuan tersebut merupakan upaya untuk mempromosikan unifikasi damai sebagai satu-satunya alternatif selain aneksasi militer terhadap Taiwan.
Ma, yang memimpin delegasi pelajar ke China, bertemu Xi Jinping di Aula Besar Rakyat, Beijing, sebuah tempat yang biasanya diperuntukkan bagi para pemimpin asing untuk bertemu dengan pejabat senior China.
Baca Juga
Xi Jinping disebut memanfaatkan pertemuannya dengan Ma untuk menekankan keyakinannya bahwa Taiwan dan China ditakdirkan untuk melakukan reunifikasi.
Advertisement
"Campur tangan eksternal tidak dapat menghentikan tren historis penyatuan kembali negara dan keluarga,” kata Xi Jinping, menurut media Taiwan seperti dilansir The Guardian, Kamis (11/4).
Xi Jinping juga mengatakan bahwa orang-orang di kedua sisi selat Taiwan adalah orang China, dan "tidak ada dendam yang tidak dapat diselesaikan, tidak ada masalah yang tidak dapat didiskusikan, dan tidak ada kekuatan yang dapat memisahkan kita".
Menurut laporan media lokal, Ma mengatakan bahwa perang antara kedua belah pihak akan menjadi "beban yang tak tertahankan bagi bangsa China".
"Rakyat China di kedua sisi Selat Taiwan pasti akan memiliki cukup kebijaksanaan untuk menangani perselisihan lintas selat dengan damai dan menghindari konflik," ujar Ma.
Masih Berpengaruh Meski Tidak Lagi Menjabat
Xi Jinping mengklaim Taiwan sebagai provinsi China dan telah bersumpah untuk mencaploknya, jika perlu dengan kekerasan. Selama ini, dia memimpin perang politik, ekonomi dan kognitif berskala luas, serta intimidasi militer yang hampir terjadi setiap hari, untuk membujuk Taiwan agar menerima pemerintahan China.
Namun, mayoritas masyarakat Taiwan dan pemerintahnya menolak prospek tersebut. Partai oposisi Kuomintang (KMT), di mana Ma masih menjadi anggota seniornya, juga menolak reunifikasi, namun menyodorkan hubungan yang lebih erat dengan China sebagai cara untuk menjaga perdamaian. Ma adalah salah satu tokoh partai yang paling ramah terhadap China.
Analis senior China di International Crisis Group Amanda Hsiao meyakini China berusaha bersikap lebih ramah, namun juga mungkin mencoba untuk melemahkan partai yang berkuasa dan pemerintahan yang akan datang, hanya beberapa minggu setelah pelantikan Presiden William Lai.
Ma meninggalkan jabatannya delapan tahun lalu, namun masih memiliki pengaruh sosial dan politik, serta tetap menjadi figur publik yang menonjol. Dalam pertemuan keduanya, Xi Jinping dilaporkan memuji promosi Ma terhadap pertukaran lintas selat dan penolakan terhadap kemerdekaan Taiwan.
Wen-Ti Sung, pakar politik di Universitas Nasional Australia, menuturkan Ma mungkin berusaha melestarikan warisan hubungan hangatnya dengan China.
Keterikatan terus-menerus China terhadap Ma, sebut Wen-Ti Sung, dapat menunjukkan ketidakmampuan pembinaan terhadap tokoh politik senior lainnya di Taiwan yang bersedia bersikap lunak terhadap Beijing saat ini.
"Namun, Beijing juga kemungkinan akan menggunakan kunjungan (Ma) untuk memberi sinyal bahwa unifikasi secara damai dengan memenangkan hati dan pikiran tetap menjadi pilihan yang disukainya," ungkap Wen-Ti Sung.
Advertisement
Respons Taiwan
Kementerian Luar Negeri Taiwan mengatakan "kampanye publisitas" China tidak dapat menyembunyikan ambisinya untuk menghilangkan kedaulatan Taiwan.
"Jika China benar-benar ingin menunjukkan niat baiknya terhadap Taiwan, China harus segera menghentikan semua tindakan pemaksaan terhadap Taiwan, menghadapi opini publik arus utama di Taiwan dan atas dasar timbal balik, memulai kembali dialog dengan pemerintah Taiwan yang terpilih secara demokratis," sebut Kementerian Luar Negeri Taiwan.
Pertemuan pada hari Rabu merupakan yang kedua bagi Xi Jinping dan Ma, setelah pertemuan sebelumnya di Singapura pada tahun 2015, ketika Ma masih menjadi presiden. Saat ini, belum ada pemimpin Taiwan yang mengunjungi China sejak berakhirnya perang saudara pada tahun 1949.