Sukses

28 April 1978: Tragedi Pembunuhan dan Kudeta Kekuasaan Presiden Afghanistan Sardar Mohammed Daoud

Presiden Afghanistan, Sardar Mohammed Daoud meninggal pada 28 April 1978 setelah terbunuh dalam kudeta yang menggulingkan pemerintahannya.

Liputan6.com, Kabul - Tepat hari ini, 46 tahun yang lalu, Presiden Afghanistan, Sardar Mohammed Daoud meninggal secara tragis akibat dibunuh. Ia juga digulingkan dari kekuasaannya dalam kudeta yang dipimpin oleh pemberontak prokomunis di negaranya.

Tindakan kejam tersebut menandai awal kekacauan politik di Afghanistan yang berujung pada intervensi oleh pasukan Soviet kurang dari dua tahun kemudian.

Dilansir dari History, Minggu (28/4/2024), Sardar Mohammed Daoud diketahui mengambil alih kekuasaan dalam kudeta pada tahun 1973 dan menjadi Presiden Afghanistan. Sejak saat itu, hubungannya dengan Uni Soviet semakin memburuk karena ia menentang pengaruh komunis di negaranya. Daoud secara aktif melawan kelompok-kelompok komunis di Afghanistan, yang membuatnya menjadi musuh utama bagi pemberontak prokomunis.

Pembunuhan seorang pemimpin Partai Komunis Afghanistan terkemuka pada awal April 1978 dapat dilihat sebagai pemicu bagi pemberontak prokomunis, untuk melancarkan kampanye sukses mereka melawan rezim Daoud.

Peristiwa tersebut mungkin memberi mereka alasan dan keberanian untuk mengambil tindakan lebih agresif terhadap pemerintah Daoud.

Dalam kekacauan politik yang terjadi setelah kematian Daoud, Nur Mohammed Taraki, kepala Partai Komunis Afghanistan, mengambil alih kepresidenan. Pada Desember 1978, Afghanistan menandatangani perjanjian 20 tahun "persahabatan" dengan Uni Soviet.

Perjanjian ini menyebabkan aliran bantuan militer dan ekonomi dari Rusia semakin meningkat ke negara tersebut.

 

2 dari 4 halaman

Mengudeta Pemerintahan Tareki

Meskipun bantuan dari Uni Soviet terus mengalir ke negara, pemerintahan Taraki tetap kesulitan menstabilkan keadaan. Gaya kepemimpinan yang otoriter dan keputusannya untuk menjadikan Afghanistan sebagai negara satu partai membuat banyak orang merasa tidak dihargai.

Pada September 1979, Nur Mohammed Taraki akhirnya digulingkan dan dibunuh dalam sebuah kudeta. Tiga bulan setelahnya, yakni pada Desember 1979, pasukan Uni Soviet menyeberangi perbatasan Afghanistan dengan tujuan untuk memasang pemerintahan yang bersahabat dengan mereka.

Tindakan Uni Soviet ini memicu perang antara pasukan Soviet yang mendukung pemerintahan baru dan pemberontak Afghanistan yang menentang kehadiran militer asing di negara mereka. Perang tersebut berlangsung selama hampir satu dekade dan menyebabkan penderitaan besar bagi rakyat Afghanistan.

Konflik berlanjut hingga tahun 1988, dan berakhir ketika pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, mengumumkan penarikan mundur pasukan Soviet dari Afghanistan. Penarikan pasukan tersebut menandai akhir dari intervensi militer Uni Soviet di Afghanistan.

3 dari 4 halaman

Boikot oleh Amerika Serikat

Dalam beberapa tahun setelah intervensi Soviet di Afghanistan, negara tersebut menjadi medan perang dalam persaingan geopolitik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang dikenal sebagai Cold War (Perang Dingin).

Amerika Serikat merespons tindakan Uni Soviet dengan cepat dan keras yaitu dengan membekukan negosiasi senjata, memotong penjualan gandum ke Rusia, dan memboikot Olimpiade tahun 1980 di Moskow.

Ketegangan meningkat setelah Ronald Reagan menjadi presiden pada tahun 1981. Amerika Serikat memberikan bantuan senjata dan bantuan lainnya kepada apa yang Reagan sebut sebagai "pejuang kebebasan" di Afghanistan.

Bagi Soviet, intervensi di Afghanistan adalah bencana, menguras baik keuangan maupun tenaga kerja Soviet. Di Amerika Serikat, para komentator dengan cepat menyebut pertempuran di Afghanistan sebagai "Vietnam-nya Rusia."

4 dari 4 halaman

Presiden Bangladesh Tewas dalam Upaya Kudeta Bekingan Tentara

Memiliki kasus yang mirip dengan Presiden Afghanistan, Sardar Mohammed Daoud, Presiden Bangladesh, Zia Rahman dibunuh di Kota Chittagong di tenggara negara itu pada 30 May 1981.

Zia diyakini meninggal pada pukul 04.30 waktu setempat ketika pemberontak menyerbu sebuah wisma pemerintah. 

Dia dilaporkan terbunuh oleh peluru senapan mesin ketika dia membuka pintu kamarnya untuk melihat apa yang terjadi di luar, demikian seperti dikutip dari BBC On This Day, Senin (30/5/2022).

Delapan orang diperkirakan tewas dalam penembakan itu, termasuk seorang petugas keamanan, seorang perwira yang menjaga presiden dan salah satu penyerang.

Pembunuhan itu diyakini sebagai bagian dari pemberontakan tentara dan pasukan pemerintah menguasai kota setelah pemimpin pemberontak Mayor Jenderal Manzur Ahmed melarikan diri.

Satu laporan di radio Bangladesh mengatakan Mayor Jenderal Manzur bersembunyi di perbukitan di luar Chittagong, sementara laporan lain mengatakan dia telah ditangkap.

Ada laporan bahwa Mayor Jenderal Manzur melakukan upaya kudeta sebagian karena dia membenci transfer yang direncanakan ke pos non-komando di Dhaka.

Setelah kematian presiden berusia 45 tahun itu, para pemberontak mengumumkan bahwa mereka membentuk komite revolusioner tetapi para diplomat mengatakan mereka telah gagal memenangkan dukungan dari unit-unit militer di seluruh Bangladesh.

Tentara, di bawah kepala stafnya, Mayor Jenderal Hussain Muhammad Ershad, tetap setia kepada pemerintah Dhaka dan dengan cepat memadamkan pemberontakan.

Pemerintah Bangladesh mengatakan pemberontakan di kota pelabuhan dilakukan oleh "beberapa penjahat".

Di ibukota Dhaka, puluhan ribu orang turun ke jalan untuk menunjukkan kesedihan mereka atas kematian presiden mereka, yang secara luas dikagumi dan dihormati.

Abdus Sattar, yang ditunjuk sebagai penjabat presiden, mengumumkan keadaan darurat dan periode berkabung selama 40 hari. Dia juga meminta Mayjen Manzur untuk menyerah.

Bandara Dhaka ditutup dan semua sambungan telepon dan teleks ke India segera ditangguhkan.

Perwira militer terlibat dalam beberapa upaya untuk mencopot Presiden Zia dari jabatannya selama enam tahun pemerintahannya.

Video Terkini