, Jakarta - Krisis geopolitik dan keamanan pada 2023 mendorong negara-negara di dunia membeli lebih banyak senjata. Demikian menurut riset Institut Riset Perdamaian Stockholm, SIPRI, dalam laporan tahunannya.
Bara konflik terbesar adalah invasi Rusia ke Ukraina. Pada tahun 2023, Rusia menganggarkan 5,9 persen belanja negara untuk membiayai perang di selatan. Adapun di Ukraina, ongkos pertahanan membebani 37 persen anggaran tahunan.
Menurut SIPRI, ketimpangan anggaran di Ukraina diimbangi oleh bantuan militer negara-negara NATO yang tahun lalu mencapai USD 35 miliar atau sekitar Rp568 triliun. Dari angka tersebut, 70 persen berasal dari Amerika Serikat (AS).
Advertisement
"Kecuali tiga negara, semua negara anggota NATO telah meningkatkan anggaran pertahanan," kata Xiao Liang, peneliti SIPRI, dalam keterangan persnya seperti dilansir Deutsche Welle Indonesia, Rabu (24/4/2024).
"Selain itu, belanja militer di sebelas dari 31 negara NATO telah mencapai dua persen dari produk domestik bruto. Kami mengasumsikan bahwa negara-negara lain akan menyusul menaikkan anggaran."
Perang di Ukraina dan agresi Rusia mendorong Polandia mencatatkan kenaikan anggaran pertahanan tertinggi di Eropa, yakni sebesar 75 persen menjadi USD 31,6 miliar per tahun.
Â
Konflik Taiwan Vs China
Data statistik yang disusun SIPRI menampilkan konflik Taiwan sebagai faktor terbesar di balik peningkatan belanja pertahanan di Asia. Ketika China tahun lalu menambah anggaran militer sebanyak enam persen atau sekitar USD 296 miliar per tahun, langgam serupa dilakoni negeri tetangga.
Taiwan, misalnya, buru-buru meningkatkan anggaran pertahanan sebanyak 11 persen menjadi USD 16,6 miliar. Jepang mengambil langkah serupa dan mengumumkan belanja militer sebesar USD 50,2 miliar tahun lalu atau naik 11 persen dibandingkan 2022.
Menurut Xiao Liang, respons tersebut bisa dipahami karena China memusatkan semua anggarannya untuk memperkuat kesiapan tempur Pasukan Pembebasan Rakyat (PLA).
"Pengeluaran China meningkat berturut-turut sejak 29 tahun terakhir, yang menjadi sejarah kenaikan terpanjang oleh sebuah negara. Sering kali, kenaikan berlangsung paralel dengan pertumbuhan ekonomi, terlepas dari fluktuasi ketegangan geopolitik atau krisis global. Modernisasi militer China juga mendorong negara-negara lain seperti Jepang, Taiwan atau juga India untuk meningkatkan belanja senjata," tutur Xiao Liang.
Advertisement
Keamanan Militer Kembali Jadi Prioritas
Selain Asia dan Eropa, Timur Tengah pada 2023 kembali mencatatkan kenaikan belanja senjata terbesar dalam satu dekade, yang mencapai USD 200 miliar atau naik sekitar sembilan persen.
Israel, dengan anggaran pertahanan terbesar kedua di Timur Tengah setelah Arab Saudi, tahun lalu meningkatkan belanja senjata menjadi USD 27,5 miliar menyusul serangan teror Hamas pada 7 Oktober 2023. Iran bertengger di peringkat keempat dengan anggaran pertahanan sebesar USD 10,3 miliar.
"Kita hidup di masa, di mana keamanan militer kembali menjadi prioritas," ungkap Niklas Schornig, analis politik di Institut Leibniz untuk Riset Perdamaian dan Konflik di Frankfurt.
"Sebab itu, angka-angka ini hanyalah cerminan dari pola pikir tersebut."
Kejutan terbesar justru tercatat di Afrika dan Amerika Selatan. Di Republik Demokratik Kongo, Afrika Tengah, konflik melawan kelompok kriminal bersenjata mencuatkan jumlah belanja militer sebanyak 105 persen.
Adapun di Sudan dan Sudan Selatan, perang saudara mendorong kenaikan anggaran pertahanan sebesar 78 persen.
"Apa yang mengejutkan adalah tingginya kenaikan belanja di sisa wilayah dunia, terutama di Amerika Latin dan Afrika," kata Xiao Liang.
Perang melawan sindikat kriminal, misalnya, mendorong lonjakan belanja senjata di Meksiko dan El Salvador. Tren serupa dikabarkan mulai muncul di Ekuador dan Brasil.
"Kenaikan ini bisa diduga, tapi ukuran dan skalanya tetap mengejutkan. Soal tren global, kita akan tetap melihat kenaikan pada tahun-tahun depan," ujar Schornig.