Sukses

Kesehatan 2,4 Miliar Pekerja di Seluruh Dunia Terancam Akibat Perubahan Iklim, Ini Alasannya

Berbagai kondisi kesehatan mulai dari kanker hingga keracunan pestisida yang dialami oleh pekerja di seluruh dunia telah dikaitkan dengan perubahan iklim.

Liputan6.com, Jakarta - Laporan baru dari International Labour Organisation (ILO) atau Organisasi Perburuhan Internasional PBB mengungkapkan bahwa perubahan iklim telah memiliki dampak serius terhadap kesehatan dan keselamatan "yang mengkhawatirkan" dari sejumlah pekerja di seluruh dunia.

Laporan tersebut memperkirakan bahwa lebih dari 70% dari 3,4 miliar pekerja di dunia kemungkinan besar akan terpapar panas yang berlebihan pada suatu titik selama mereka bekerja, seperti dilansir dari Euronews, Minggu (28/4/2024).

Data dari 2020, yang merupakan tahun terakhir data tersedia, menunjukkan peningkatan angka dibandingkan dua dekade sebelumnya, ketika hanya mencapai 65,5%.

Menurut data tersebut, hampir 19.000 nyawa hilang setiap tahunnya akibat stres panas di tempat kerja. Hal ini juga bertanggung jawab atas 22 juta cedera kerja dan 26 juta orang di seluruh dunia yang menderita penyakit ginjal kronis.

Laporan tersebut menambahkan bahwa dampak iklim lebih dari sekadar stres panas. Pekerja di sektor pertanian dan pekerja berat yang bekerja di iklim panas terpapar pada beragam bahaya yang dapat memengaruhi kondisi kesehatan.

Orang yang bekerja di ruang dengan sirkulasi udara yang buruk dan kondisi ruang yang panas juga berisiko.

Banyak kondisi kesehatan yang ditemukan pada pekerja berkaitan dengan perubahan iklim, catat laporan tersebut. Termasuk 1,6 miliar orang yang terpapar radiasi UV dengan lebih dai 18.690 kematian terkait pekerjaan setiap tahunnya akibat kanker kulit non-melanoma.

Polusi udara di tempat kerja juga memengaruhi 1,6 miliar orang yang menyebabkan 860.000 kematian di antara pekerja di luar ruangan setiap tahunnya. Pestisida juga terkait dengan kondisi kesehatan bagi 870 juta orang di industri pertanian dengan 300.000 kematian tahunan akibat keracunan pestisida.

Dan 15.000 orang setiap tahunnya meninggal karena terpapar penyakit parasit dan penyakit yang ditularkan oleh vektor.

2 dari 4 halaman

Peringatan Perubahan Iklim Harus Diperhatikan

Laporan tersebut juga menyatakan bahwa pekerja merupakan salah satu kelompok yang paling sering terpapar bahaya iklim dan seringkali terpaksa melakukan pekerjaannya meskipun kondisinya berbahaya. Ini menambahkan fakta bahwa banyak dari bahaya dan risiko tersebut tersebut tidaklah baru.

"Jelas bahwa perubahan iklim sudah menciptakan bahaya kesehatan tambahan yang signifikan bagi pekerja," kata Manal Azzi, pemimpin tim keselamatan dan kesehatan kerja di ILO.

"Ini penting bagi kita untuk memperhatikan peringatan ini. Pertimbangan keselamatan dan kesehatan kerja harus menjadi bagian dari respons kita terhadap perubahan iklim, baik kebijakan maupun tindakan."

Banyak negara di seluruh Eropa sudah mempertimbangkan perlindungan baru bagi pekerja selama periode panas yang intens. Setidaknya lima orang meninggal saat bekerja dalam gelombang panas yang brutal di Italia bulan Juli tahun lalu, dengan jumlah kematian kemungkinan jauh lebih tinggi.

Setelah seorang petugas kebersihan meninggal karena stroke panas di Madrid pada tahun 2021, Spanyol langsung bergerak untuk melarang beberapa pekerjaan di luar ruangan selama cuaca panas ekstrem.

Tahun lalu, Yunani juga memberlakukan larangan bekerja di sektor konstruksi dan pengiriman selama jam-jam panas di siang hari. 

Serikat pekerja juga telah menyerukan cuti dibayar bagi staf ketika terjadi periode panas yang intens.

3 dari 4 halaman

Berdampak juga Terhadap Perekonomian

Studi terbaru lain juga mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat berdampak terhadap penurunan pendapatan global sebesar sekitar 19% hanya dalam kurun waktu 26 tahun ke depan. Fakta tersebut tidak hanya akan berdampak pada pemerintah dan perusahaan besar.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada abad mendatang dunia akan mengalami peningkatan pemanasan global sebesar hampir 3. Para peneliti juga menyatakan bahwa setiap individu dapat menanggung beban ekonomi, bahkan dengan adanya kebijakan dan tujuan iklim saat ini, seperti dikutip dari CNN, Rabu (24/4/2024).

Penelitian yang diterbitkan di Nature pada Rabu (17/4) mengungkapkan bahwa penderitaan finansial dalam jangka pendek memang tidak bisa dihindari, meskipun pemerintah telah meningkatkan upaya untuk mengatasi krisis ini.

Peneliti dari Potsdam Institute of Climate Impact Research, Maximilian Kotz dan Leonie Wenz, mengatakan, "Dampak-dampak ini tidak dapat dihindari karena tidak dapat dibedakan dalam berbagai skenario emisi di masa depan hingga tahun 2049."

Meskipun demikian, langkah-langkah cepat untuk mengurangi dampak pada perubahan iklim bisa mengurangi kerugian finansial dan risiko kemiskinan dalam jangka waktu yang lebih lama, demikian diungkapkan oleh mereka.

4 dari 4 halaman

Dampak Perubahan Iklim dalam Berbagai Bentuk

Seorang profesor dan peneliti lingkungan di Universitas Stanford, Noah Diffenbaugh, mengatakan dampak ekonomi akibat perubahan iklim akan terjadi dalam berbagai bentuk.

Peristiwa cuaca yang ekstrem tidak hanya menyebabkan biaya perbaikan yang tinggi untuk kerusakan properti, tetapi juga dapat memengaruhi sektor pertanian, produktivitas tenaga kerja, dan kemampuan kognitif dalam beberapa situasi.

Meskipun pembahasan mengenai dampak perubahan iklim berfokus pada upaya mitigasi yang beroptensi mahal seperti membatasi penggunaan minyak dan gas atau teknologi untuk mengurangi polusi karbon, studi ini juga menyatakan bahwa biaya kerugian finansial yang timbul secara langsung akibat perubahan iklim sudah melebihi biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis ini.

Para peneliti memperkirakan bahwa untuk mematuhi Perjanjian Iklim Paris, perjanjian internasional antara hampi 200 negara untuk mengatasi perubahan iklim, perekonomian global diperkirakan akan memerlukan biaya sekitar USD 6 triliun atau Rp96 triliun pada tahun 2050. 

Bandingkan dengan estimasi kerugian ekonomi yang dapat ditimbulkan akibat perubahan iklim, yang mencapai sekitar USD 38 triliun atau Rp614 triliun menurut studi tersebut.

Baca selengkapnya disini...Â