Liputan6.com, Berlin - Sekitar 800 tahun lalu, sebuah misteri melanda sebuah desa di Tiongkok ketika ditemukan mayat dengan banyak luka tikaman.
Setelah diperiksa, detektif lokal Song Ci mengetahui bahwa luka-luka tersebut disebabkan oleh pisau sabit. Untuk menemukan pelakunya, ia mengumpulkan para penduduk desa pada suatu siang yang panas dan memerintahkan mereka untuk meletakkan pisau sabit dan memeriksanya.
Lalat blowflies kemudian mulai berkeliaran dan hinggap pada satu pisau sabit. Tertarik oleh sedikit jejak darah korban, lalat-lalat tersebut berhasil mengidentifikasi pelaku yang kemudian ditangkap dan kasus pun ditutup. Demikian seperti dilansir dari DW, Jumat (26/4/2024).
Advertisement
Itu merupakan kasus pertama yang diketahui di mana seorang detektif mengidentifikasi tersangka pembunuhan dengan mempelajari serangga, sebuah bidang yang sekarang dikenal sebagai entomologi forensik.
Sementara itu, Mark Benecke, seorang ilmuwan forensik yang berbasis di Jerman, rutin menganalisis siklus hidup serangga seperti lalat, semut, dan kumbang di tubuh-tubuh korban yang sudah mati di tempat-tempat kejadian kejahatan.
Meskipun terdengar mengerikan, pekerjaannya memiliki peran yang sangat penting dalam kasus-kasus pengadilan dengan membantu menemukan kapan, dan seringkali bagaimana seseorang meninggal.
Dalam satu kasus pada tahun 2017, misalnya, Benecke menentukan bahwa seorang pria berusia 80 tahun di Italia meninggal karena kelalaiannya sendiri dengan mempelajari siklus hidup lalat dan semut yang ditemukan di rumah pria tersebut.
"Tidak banyak entomolog forensik yang ada di sini," kata Benecke. Tetapi pekerjaan mereka bisa menjadi titik terang dalam kasus-kasus yang sulit dipecahkan. "Kami bisa membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan khusus seperti 'Apakah tubuh pernah berada di pinggir hutan atau tidak?'," tambahnya.
Serangga-serangga di TKP
Meskipun bisa diketahui bahwa serangga berguna dalam suatu kondisi tertentu, Benecke mengatakan bahwa seringkali sulit untuk mengumpulkan informasi yang tepat di tempat kejadian untuk memberikan analisis yang berguna bagi kasus pengadilan.
Siklus hidup serangga memang bergantung pada tingkat suhu, kelembaban, dan cahaya di sekitarnya. Mereka sangat sulit untuk ditentukan, terutama di musim dingin atau iklim yang lebih dingin di mana serangga cenderung tidak berada di sekitar.
Selain itu, "Seringkali, jumlah serangga yang terkumpul (di tempat kejadian) tidak memadai, atau bahkan dalam kondisi penyimpanan yang buruk," ungkap Benecke kepada DW melalui email. "Saya pernah diminta untuk menyelesaikan kasusu dengan menggunakan foto dari sebuah serangga yang sudah hancur."
Terakhir, mempelajari siklus hidup serangga biasanya tidak memberikan cukup presisi untuk menentukan waktu kematian yang tepat, yang merupakan informasi penting dalam kasus-kasus pembunuhan yang belum terpecahkan.
Advertisement
Bakteri dan Jamur Dapat Menawarkan Metode Akurat
Dalam beberapa tahun terakhir, ilmuwan telah melakukan penelitian apakah menganalisis bakteri dan jamur dapat menawarkan metode akurat untuk menentukan waktu dan penyebab kematian secara cepat.
Dalam sebuah studi terbaru, para peneliti sepertinya telah menemukan beberapa dukungan untuk hipotesis tersebut. Mereka mengidentifikasi sekelompok mikroba yang terlihat memicu dekomposisi tubuh, terlepas dari iklim atau musim.
Studi ini melibatkan analisis mayat di berbagai iklim di AS selama keempat musim. Para peneliti meninggalkan tubuh-tubuh tersebut di lokasi yang berbeda selama 21 hari, kemudian menganalisis materi genetik dari sampel jaringan dan membuat peta detail dari populasi bakteri dan jamur dari setiap tubuh.
Setelah itu, mereka memasukkan data tersebut ke dalam algoritma kecerdasan buatan yang bisa secara akurat mengidentifikasi waktu kematian seseorang.
Para peneliti kemudian berhasil menemukan 20 mikroba, yang konsisten muncul pada setiap tubuh yang mereka analisis selama periode 21 hari.
Kebahagiaan bagi patolog adalah mendapai bahwa spesies mikroba yang sama selalu mengkolonisasi tubuh yang sudah mati dengan kecepatan yang sama, terlepas dari lokasi atau iklim di mana tubuh itu berada.
Para peneliti juga dapat menentukan komunitas mikroba berbeda yang mengkolonisasi mayat di lingkungan berbeda. Contohnya, beberapa mikroba yang mengkolonisasi jasad dari padang pasir berbeda dari mikroba yang mengkolonisasi mayat di hutan.
Hal ini dapat memungkinkan ilmuwan untuk mengetahui di mana kemungkinan mayat telah mengalami dekomposisi berdasarkan variasi kecil antara mikrobiom -- mikroorganisme yang berguna untuk melindungi tubuh manusia dari penyakit tertentu.
Metode Mikroba Belum Diterapkan di TKP
Menggunakan mikroba di tempat kejadian kejahatan sejatinya bisa membantu patolog forensik dalam menentukan tersangka potensial dengan lebih baik, dan mengonfirmasi atau menyangkal alibi dalam kasus pembunuhan yang dicurigai, terutama ketika waktu kematian masih tidak jelas.
Bukti mikroba pasti ada di tempat kematian, tidak seperti sidik jari, bercak darah, saksi mata, atau kumpulan lalat blowflies pada senjata pembunuh.
Namun, ilmuwan forensik belum menggunakan mikroba sebagai bukti di tempat kejadian kejahatan. Benecke mengatakan bahwa para peneliti masih membutuhkan lebih banyak data untuk memahami banyak faktor yang memengaruhi pertumbuhan mikroba.
"Masih dalam tahap penelitian untuk saat ini. Tetapi selalu layak menggunakan semua informasi yang tersedia (di tempat kejadian)," kata Benecke.
"Data massal dan statistik yang didukung kecerdasan buatan mungkin memungkinkan estimasi yang baik terhadap interval post-mortem (waktu sejak kematian), dan banyak lagi. Ini membutuhkan banyak pekerjaan, orang perlu mencintai topik tersebut, dan tidak banyak yang melakukannya," tambahnya.
Advertisement