Liputan6.com, Arizona - Demo pro-Palestina di kampus-kampus AS belum surut. Polisi pun turun tangan, masuk kampus, dikerahkan untuk menertibkan para demonstran.
Salah satu aksi penertiban yang jadi sorotan tatkala sejumlah petugas terlihat dalam rekaman yang menjadi viral di media sosial, seperti dikutip dari TRT World, Kamis (2/5/2024), menunjukkan polisi secara paksa melepas jilbab seorang wanita Muslim saat ditahan di Arizona State University (ASU).
Baca Juga
Hal ini, yang terjadi di tengah hampir dua minggu protes terhadap perang Israel di Gaza yang melanda institusi pendidikan tinggi di AS, menuai reaksi keras.
Advertisement
Sementara kelompok advokasi Muslim di AS, CAIR menyerukan penyelidikan penuh atas apa yang disebut sebagai insiden Islamofobia di tengah protes Student Spring yang melanda universitas-universitas AS.
Setidaknya empat perempuan telah mengalami pelecehan yang sama, sejumlah sumber mengatakan kepada ABC pada hari Senin (29/4) bahwa sumber awalnya mengaburkan wajah perempuan dalam video untuk melindungi privasinya.
Council on American-Islamic Relations [CAIR-AZ] atau Dewan Hubungan Amerika-Islam cabang Arizona mengutuk tindakan polisi dan menyerukan penyelidikan atas insiden tersebut.
Kami mengutuk tindakan polisi ASU yang dilaporkan dan menyerukan penyelidikan penuh atas insiden ini,” kata Direktur Eksekutif CAIR-AZ Azza Abuseif dalam sebuah pernyataan.
Rekaman tersebut telah menjadi viral di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, dan menimbulkan reaksi keras terhadap petugas, dengan tuduhan Islamofobia.
Penangkapan di Seluruh Kampus AS yang Ikut Aksi Pro-Palestina Mendekati 1.000 Orang
Ini bukan pertama kalinya polisi merespons dengan agresi terhadap pengunjuk rasa dan mahasiswa.
Jumlah penangkapan secara nasional di AS telah mendekati 1.000 orang sejak polisi New York menangkap demonstran di Universitas Columbia pada 18 April.
Penangkapan tersebut telah mendorong mahasiswa di banyak universitas di AS untuk bergabung dalam protes pro-Palestina dan mendirikan perkemahan untuk mendukung Gaza yang terkepung ketika pembantaian Israel di daerah kantong yang diblokade tersebut terus berlanjut.
Para mahasiswa menuntut gencatan senjata di daerah kantong yang diblokade dan menuntut universitas masing-masing untuk memutuskan hubungan dengan perusahaan yang mendukung Israel.
Presiden AS Joe Biden, bersama dengan gubernur dan pejabat lainnya, dengan cepat menyerukan dugaan anti-Semitisme ketika protes pro-Palestina terus menyebar dengan cepat di kampus-kampus AS.
Insiden Islamofobia, yang meningkat sejak dimulainya serangan Israel di Gaza, belum ditanggapi dengan serius.
Penyelenggara protes membantah tuduhan anti-Semitisme, dengan alasan tindakan mereka ditujukan pada pemerintah Israel dan penuntutannya terhadap konflik di Gaza.
Mereka juga bersikeras bahwa beberapa insiden telah direkayasa oleh agitator non-mahasiswa.
Rekaman polisi anti huru hara yang dipanggil di berbagai perguruan tinggi untuk membubarkan demonstrasi telah ditonton di seluruh dunia, mengingatkan kita pada gerakan protes yang meletus selama Perang Vietnam.
Advertisement
Tuntutan Mahasiswa Pro-Palestina
Apa yang menjadi tuntutan mahasiswa yang melancarkan aksi solidaritas terhadap Palestina di kampus-kampus AS dan berbagai belahan dunia?
Mereka menuntut agar kampus-kampus, yang sebagian besar memiliki dana abadi dalam jumlah besar, melakukan divestasi dari Israel. Demikian dilansir BBC.
Para mahasiswa aktivis menekankan bahwa perusahaan-perusahaan yang berbisnis di atau dengan Israel terlibat dalam perang di Jalur Gaza. Begitu pula perguruan tinggi yang berinvestasi di perusahaan-perusahaan tersebut.
Dalam kasus Columbia University, sang rektor mengakui pembicaraan dengan mahasiswa gagal mencapai kesepakatan dan kampus tidak akan melakukan divestasi. Pada 29 April, Rektor Columbia University Minouche Shafik kembali meminta mahasiswa membubarkan diri secara sukarela, dengan mengatakan bahwa aksi protes mereka telah menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi banyak mahasiswa dan dosen Yahudi.
Pada kesempatan yang sama, Shafik seperti dilansir NBC News mengutip acara wisuda pada 15 Mei dengan menyatakan, "Kami juga tidak ingin menghalangi ribuan siswa dan keluarga serta teman-teman mereka untuk merayakan kelulusan."
Meski pihak Columbia University menolak melakukan divestasi dari Israel, namun Shafik memunculkan sejumlah penawaran. Salah satunya berinvestasi di bidang kesehatan dan pendidikan di Jalur Gaza, termasuk mendukung pengembangan anak usia dini dan sokongan bagi para sarjana yang mengungsi.
Pada hari yang sama, 29 April, pemberitahuan pihak kampus Columbia University yang dilihat oleh NBC News meminta mahasiswa membubarkan diri pada pukul 14.00 waktu setempat.
Para pengunjuk rasa harus mengidentifikasi diri mereka kepada pejabat universitas dan menandatangani formulir yang menyetujui resolusi alternatif atas pelanggaran kebijakan universitas akibat perkemahan tersebut. Resolusi alternatif menyatakan bahwa para penandatangan menyetujui masa percobaan disipliner, mematuhi kebijakan universitas, dan setuju untuk berpartisipasi dalam proses disipliner universitas. Mereka yang menandatangani berhak menyelesaikan semester dengan baik dan tidak akan diskors.
Jika perkemahan tidak dibongkar, pemberitahuan tersebut menyatakan, "Kami perlu memulai prosedur disipliner karena sejumlah pelanggaran kebijakan universitas. Ini adalah kebijakan yang Anda setujui untuk dipatuhi saat Anda bergabung dengan komunitas kami."
Bukan Fenomena Baru
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani yang dimintai pendapatnya mengenai aksi pro-Palestina di kampus-kampus AS menuturkan bahwa apa yang terjadi bukanlah fenomena baru.
"Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan keadilan sosial memang muncul di AS. Demo pro-Palestina di kampus-kampus di AS yang belakangan disebut sebagai encampment ini menambah panjang catatan tersebut. Seperti yang kita ketahui, encampment yang dimulai di Columbia University menuntut gencatan senjata di Gaza dan divestasi kampus mereka dari investasi perusahaan yang mendukung Israel," tutur Irfan kepada Liputan6.com.
"Gerakan anti-perang sendiri bukan fenomena yang baru di kalangan kampus di AS. Namun demikian, banyak yang mengatakan bahwa encampment pro-Palestina ini memiliki skala yang besar, sehingga disebut-sebut sebagai aksi mahasiswa paling besar pasca anti-Perang Vietnam tahun 1960-an."
Relatif sulit, ungkap Irfan, untuk melihat efektivitas aksi encampment dalam mendorong perubahan kebijakan luar negeri AS yang lebih signifikan.
"Apalagi, aksi encampment di-frame sebagai tindakan antisemitisme. Sekali ada indikasi antisemitisme maka akan ada sikap bipartisan yang bisa menjadi bumerang bagi encampment. Aksi tersebut pun kini direspons dengan tindakan represif dari aparat keamanan di AS," tutur Irfan.
Terkait tuntutan mahasiswa, Irfan menyatakan bahwa desakan melakukan divestasi bukan hal yang tidak realistis. Irfan mengutip preseden ketika mahasiswa Columbia University berhasil menekan kampusnya untuk stop berinvestasi di perusahaan penjara swasta (private prison company) pada tahun 2015.
"Namun, konteks yang dihadapi berbeda dan isunya (konflik Israel Vs Palestina) jauh lebih kompleks karena memiliki akar yang kuat dalam politik di AS," ujar Irfan.
Irfan yang saat ini tengah bermukin di Brisbane mengisahkan bahwa aksi encampment juga terjadi di The University of Queensland pada 29 April. Merespons aksi tersebut, pihak kampus mengirim email ke seluruh mahasiswa agar mematuhi tata tertib penyampaian pendapat yang dimiliki oleh kampus.
Advertisement