Sukses

9 Fakta Kantor Media Al Jazeera di Israel Digerebek dan Siarannya Distop

Pemerintah Benjamin Netanyahu mengambil langkah untuk menutup operasi media Al Jazeera di Israel. Ini sejumlah fakta di balik upaya tersebut.

Liputan6.com, Yerusalem - Minggu 5 April 2024 jaringan televisi Al Jazeera di Israel digerebek. Pemerintah Benjamin Netanyahu mengambil langkah untuk menutup operasi media yang bermarkas di Qatar tersebut.

Berikut ini sembilan fakta penutupan jaringan televisi Al Jazeera di Israel, mengutip BBC, Senin (6/5/2024): 

  1. Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mengatakan kabinet menyetujui penutupan jaringan televisi Al Jazeera sementara perang di Gaza sedang berlangsung.
  2. Polisi menggerebek kantor penyiaran Qatar di Ambassador hotel (hotel Ambassador) di Yerusalem pada hari Minggu (5/5).
  3. Israel menyebut jaringan televisi Al Jazeera sebagai corong Hamas.
  4. Al Jazeera menyebut klaim bahwa hal itu merupakan ancaman terhadap keamanan Israel sebagai "kebohongan yang berbahaya dan menggelikan".
  5. Jaringan televisi Al Jazeera tersebut mengatakan pihaknya berhak untuk "mengambil setiap langkah hukum".
  6. Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi mengatakan peralatan telah disita dalam penggerebekan kantor Al Jazeera tersebut. Sebuah video yang diposting oleh Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi di X menunjukkan polisi dan inspektur dari kementerian memasuki kamar hotel.
  7. Menurut kantor berita Reuters, layanan satelit Israel Yes menampilkan pesan yang berbunyi: "Sesuai dengan keputusan pemerintah, siaran stasiun Al Jazeera telah dihentikan di Israel."
  8. Namun, pemblokiran ini hanya bersifat parsial, karena saluran tersebut masih dapat diakses melalui Facebook di Israel.
  9. Penutupan Al Jazeera di Israel telah dikritik oleh sejumlah kelompok hak asasi manusia dan pers.

 

2 dari 3 halaman

Permohonan Pembatalan Penyetopan Siaran

Association for Civil Rights in Israel (ACRI) atau Asosiasi Hak-Hak Sipil di Israel mengatakan mereka telah mengajukan permintaan ke Mahkamah Agung negara tersebut untuk mengeluarkan perintah sementara untuk membatalkan larangan tersebut.

Kelompok tersebut mengatakan bahwa klaim bahwa lembaga penyiaran tersebut adalah alat propaganda untuk Hamas adalah "tidak berdasar", dan bahwa pelarangan yang dilakukan pada hari Minggu (5/5) bukan karena masalah keamanan dan lebih untuk "melayani agenda yang lebih bermotif politik, yang bertujuan untuk membungkam suara-suara kritis dan menargetkan media Arab".

Sementara itu, Foreign Press Association (FPA) atau Asosiasi Pers Asing mendesak pemerintah Israel untuk mempertimbangkan kembali keputusannya, dengan mengatakan penutupan Al Jazeera di negara tersebut harus menjadi "penyebab kekhawatiran bagi semua pendukung kebebasan pers".

FPA juga mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Israel sekarang bergabung dengan “klub pemerintah otoriter yang meragukan untuk melarang stasiun tersebut”, dan memperingatkan bahwa Netanyahu memiliki wewenang untuk menargetkan outlet asing lainnya yang ia anggap “bertindak melawan negara”.

 

 

3 dari 3 halaman

PBB Bahkan Minta Israel Batalkan Larangan Stop Siaran Al Jazeera di Negara Tersebut

Direktur Program Committee to Protect Journalists (CPJ)/ Komite Perlindungan Jurnalis, Carlos Martinez de la Serna menyuarakan keprihatinan yang sama, dengan mengatakan: "Kabinet Israel harus mengizinkan Al Jazeera dan semua media internasional beroperasi secara bebas di Israel, terutama selama masa perang."

Kantor Hak Asasi Manusia PBB juga meminta pemerintah Israel untuk membatalkan larangan tersebut, dan menulis di X: "Media yang bebas dan independen sangat penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Sekarang, terlebih lagi mengingat adanya pembatasan ketat terhadap pemberitaan dari Gaza."

Jurnalis asing dilarang memasuki Gaza, dan staf Al Jazeera di sana adalah satu-satunya reporter yang berada di sana.

Selama bertahun-tahun, para pejabat Israel menuduh jaringan tersebut bias anti-Israel.

Video Terkini