, Toronto - Media sosial marak dengan konten para pakar kebugaran, kecantikan yang tampak sempurna. Ternyata, terlalu sering menonton konten semacam ini bisa menimbulkan stres. Demikian hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar di Kanada.
Pinggang ramping, bokong sintal, dan kaki jenjang adalah hal yang dianggap banyak anak muda sebagai standa kecantikan.
Baca Juga
Hal semacam itu kerap ditemukan di jejaring sosial seperti Instagram dan TikTok. Pasalnya, video yang menampilkan konten seperti itu terus-menerus nongol di feed (umpan) media sosial mereka, dikutip dari DW Indonesia, Selasa (14/5/2024).
Advertisement
Selain itu, ada juga video yang menampilkan tren berbahaya. Fenomena thigh gap (celah paha) alias berlomba-lomba punya jarak kedua paha saling berjauhan (yang menandakan betapa kurusnya mereka) misalnya, sudah dipamerkan para oleh remaja putri secara online sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu.
Celah renggang di antara kedua paha yang terlihat jelas, konon dapat tercapai melalui pengaturan pola makan dan pelatihan meditasi.
Thigh gap kini sering disebut legging legs sangat populer karena celah tersebut akan terlihat jika si pemilik pahanya memakai celana legging yang ketat.
Namun fakta bahwa hal tersebut sulit dicapai oleh sebagian besar perempuan dengan berat badan yang sehat, belum tersebar luas.
Misalnya, di Google kita dapat menemukan pertanyaan saran seperti:
Apakah celah paha yang sempit itu sehat? atau Bagaimana cara mencapai pose celah paha di antara kedua kaki saya?.
Dalam tren waist challenge (tantangan punya pinggang kecil), maka pinggang seseorang harus sangat ramping.
Para remaja putri dengan cermat merekam apa yang seharusnya mereka makan sepanjang hari.
Ada juga yang namanya tren body positivity, yaitu penerimaan positif terhadap tubuh sendiri, terlepas dari apakah ia gemuk, kurus, atau disabilitas.
Namun bergantung pada perilaku penelusuran kita di media sosial, maka konten semacam itu malah jadi tenggelam, karena hanya apa yang dicari dan dikonsumsi pengguna yang disarankan oleh algoritme sebagai konten selanjutnya yang muncul di layar media sosial.
Hasil Temuan dari Studi Peneliti di Kanada
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggambaran diri ini juga memengaruhi rasa percaya diri (pede).
Sebuah studi yang dilakukan oleh York University di Toronto, Kanada, kini menemukan dampak dari istirahat dalam menggunakan media sosial setelah jangka waktu singkat.
Bahkan selama seminggu tak menggunakan media sosial telah meningkatkan rasa percaya diri (dari segi performa, penampilan, sosial) di kalangan remaja putri, termasuk meningkatkan sikap positif terhadap tubuh sendiri.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di database spesialis ScienceDirect, 66 siswi dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengonsumsi media sosial seperti biasa, kelompok lainnya harus menjauhkan diri dari semua media sosial selama seminggu.
Para peserta pertama-tama ditanya: Seberapa puas mereka dengan tubuh mereka? Apakah mereka ingin tampil seperti fotomodel?.
Seminggu kemudian, para peserta itu diwawancarai lagi. Sensasi tubuh perempuan yang istirahat selama seminggu dari medsos itu membaik. Dampaknya sangat jelas terlihat, terutama bagi para perempuan yang menginternalisasikan tubuh langsing yang ideal.
Menurut penulis penelitian, efeknya sedemikan besar sehingga jarang terlihat dalam tes psikologi.
Namun, ada kemungkinan bahwa jeda dari medsos tersebut tidak hanya menghasilkan nilai-nilai yang lebih baik, tetapi juga mengubah perilaku waktu luang.
Daripada menghabiskan waktu menggunakan ponsel, para peserta mungkin lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, bersama teman, atau berolahraga. Semua kegiatan ini berkontribusi pada peningkatan kesehatan mental.
Advertisement
Upaya dari Otoritas Media Sosial Masih Sedikit
Sejauh ini langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini tampaknya masih sedikit.
Banyak anak muda mungkin merasa sulit melepaskan diri dari jejaring sosial. Kecenderungan bermain medsos terus meningkat selama bertahun-tahun.
Perusahaan Meta mengumumkan pada Januari tahun ini bahwa mereka akan menyembunyikan konten yang tidak pantas di Facebook dan Instagram dari kaum muda -- sejauh penggunanya mencantumkan usia mereka secara jujur.
Namun peraturan itu sering kali tidak berdampak. Undang-Undang Layanan Digital Uni Eropa, misalnya, dimaksudkan untuk melindungi anak di bawah umur di internet dari konten yang bermasalah, misalnya yang mengarah pada gangguan pola makan.
Ketentuan tersebut ditetapkan kepada operator jaringan medsos agar konten yang relevan harus dihapus atau disembunyikan. Namun studi yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil Reset.tech menunjukkan bahwa hanya 30 persen konten seperti itu yang telah dihapus.