Liputan6.com, Kairo - Selama tujuh bulan terakhir, perang Israel Vs Hamas terjadi. Hal ini mengakibatkan sebagian besar warga Palestina di Gaza berusaha mati-matian untuk menyelamatkan diri.
Lebih dari 34 ribu warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas akibat serangan militer Israel sejak 7 Oktober 2023. Sementara bagi yang selamat, hidup para pengungsi Gaza penuh keterbatasan.
Baca Juga
Mulai dari makanan, air, obat-obatan dan kebutuhan pokok lainnya.
Advertisement
Di sisi lain, bagi mereka yang mampu dan lebih beruntung hidupnya, berupaya mencari perlindungan dengan melewati perbatasan Mesir. Meskipun tidak ada angka pasti yang diketahui, ribuan warga Palestina telah melarikan diri ke Mesir sejak perang dimulai.
Dilansir Middle East Eye, Senin (13/5/2024), banyak dari mereka yang bisa pindah ke negara lain, namun mereka yang tidak memiliki visa untuk melanjutkan perjalanan tetap tinggal di Mesir.
Mayoritas warga Palestina dari Gaza pergi ke sana untuk mendapatkan perawatan medis. Sementara yang lainnya adalah pelajar, berkewarganegaraan ganda Palestina-Mesir, dan penduduk yang mampu membayar uang suap senilai ribuan dolar agar bisa keluar dari wilayah yang terkepung.
Namun, berada di Mesir tak berarti penderitaan mereka berakhir. Bagi kebanyakan dari mereka mengalami babak sulit baru dalam hidup. Kondisi mereka juga semakin terasa sulit ketika tidak ada bantuan dari pemerintah Mesir maupun organisasi internasional.
Â
Tak Bisa Sekolah dan Bekerja
Salah satunya adalah Hamid (bukan nama sebenarnya) yang merupakan ayah tiga anak berusia 42 tahun. Ia berhasil melarikan diri dari Gaza ke Mesir karena mampu membayar "biaya koordinasi" sebesar USD 17.500 atau sekitar Rp280 juta.
Ia berhasil masuk ke Mesir setelah dibantu oleh agen perjalanan Ya Hala, sebuah perusahaan yang mempunyai hubungan dengan lembaga keamanan Mesir, yang memegang monopoli efektif atas izin bagi penduduk Gaza.
Persyaratan visa sementara yang dimilikinya berarti ia tidak dapat mengajukan permohonan status tinggal atau mendaftar sebagai pengungsi.
Akibatnya, dia tidak bisa mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah di Mesir dan dia sendiri tidak bisa bekerja.
"Kondisi kehidupan kami sangat buruk," katanya kepada Middle East Eye.
"Saya menggunakan seluruh tabungan saya dan hanya berharap perang ini berakhir sebelum saya kehabisan uang. Kami memiliki anggaran yang sangat terbatas karena kami tidak tahu kapan berakhirnya (perang)."
Hamid mengatakan, warga Palestina lain dari Gaza yang ia kenal tidak mempunyai cukup uang untuk membeli makanan.
"Saya sangat kecewa dengan dunia," katanya.
Hamid mengatakan, warga Palestina yang melarikan diri paling awal mendapat bantuan paling banyak, karena ada rasa solidaritas yang lebih besar atas penderitaan mereka.
Dia menjelaskan bahwa para tuan tanah akan mengurangi harga sewa warga Palestina dari Gaza, namun, dalam beberapa bulan sejak perang dimulai, antusiasme tersebut telah berkurang.
Advertisement
Terpaksa Bekerja Secara Ilegal
Middle East Eye telah melihat faktu di Facebook, di mana tuan tanah Mesir secara khusus mencantumkan pernyataan "Tidak Ada Warga Palestina" dalam iklan izin tinggal mereka.
Meski begitu, mereka terpaksa memutuskan untuk bekerja secara ilegal, atau mendaftarkan usaha kecil menggunakan nama teman atau anggota keluarga Mesir.
Mohammed misalnya. Ia mendirikan restoran yang menjual makanan cepat saji dari Gaza untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Saya tidak punya pilihan selain mempercayai teman Mesir saya. Saya membayar semua biaya untuk memulai bisnis ini dengan harapan saya dapat memiliki sumber pendapatan yang stabil," katanya.
"Tidak ada apa-apa atas nama saya, yang tidak terlalu pintar tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Banyak warga Gaza yang meminta saya memberi mereka pekerjaan."
"Saya terkadang membiarkan mereka bekerja tanpa kontrak dan hanya memberi mereka uang setiap hari karena saya merasa kasihan pada mereka."
"Saya tahu ini ilegal, tapi menurut saya, membiarkan warga Gaza berjuang setelah semua yang kita lalui juga ilegal."