Liputan6.com, Baghdad - Perusahaan-perusahaan China memenangkan lima penawaran untuk mengeksplorasi ladang minyak dan gas Irak. Demikian disampaikan Menteri Perminyakan Irak Hayan Abdul Ghani pada hari Minggu (12/5/2024), ketika putaran perizinan eksplorasi hidrokarbon negara Timur Tengah itu berlanjut memasuki hari kedua.
Perusahaan-perusahaan China menjadi satu-satunya pemain asing yang memenangkan tender sejauh ini, dengan mengambil izin mencakup 10 ladang minyak dan gas sejak Sabtu (11/5), sementara perusahaan Kurdi Irak, KAR Group, mengambil dua.
Baca Juga
Lisensi minyak dan gas untuk total 29 proyek terutama ditujukan untuk meningkatkan produksi untuk keperluan domestik, dengan lebih dari 20 perusahaan melakukan pra-kualifikasi, termasuk kelompok Eropa, China, Arab dan Irak.
Advertisement
Melansir Reuters, Senin (13/5), Irak menginginkan putaran perizinan ini – yang keenam di negaranya – khususnya untuk meningkatkan produksi gas alam, yang ingin digunakan untuk menyalakan pembangkit listrik yang sangat bergantung pada gas yang diimpor dari Iran. Namun, tidak ada penawaran yang dilakukan pada setidaknya enam ladang gas yang berpotensi menghasilkan gas, sehingga dinilai berpeluang menghambat upaya tersebut.
Fakta lainnya, tidak ada perusahaan minyak Amerika Serikat (AS) yang terlibat. Bahkan, setelah Perdana Menteri Irak Mohammed Shia bertemu dengan perwakilan perusahaan-perusahaan AS dalam kunjungan resminya ke AS bulan lalu.
Tantangan bagi Irak
Abdul Ghani lebih lanjut menuturkan bahwa CNOOC Irak dari China memenangkan penawaran untuk mengembangkan Blok 7 dalam hal eksplorasi minyak, yang tersebar di Provinsi Diwaniya, Babil, Najaf, Wasit, dan Muthanna.
Sementara itu, ZhenHua, Anton Oilfield Services, dan Sinopec masing-masing memenangkan tender untuk mengembangkan ladang minyak Abu Khaymah di Muthanna, ladang minyak Dhufriya di Wasit, dan ladang Sumer di Muthanna.
Adapun Geo-Jade memenangkan tawaran untuk mengembangkan ladang Jabal Sanam untuk eksplorasi minyak di Provinsi Basra.
Pengembangan sektor minyak Irak karena persyaratan kontrak yang dipandang tidak menguntungkan oleh banyak perusahaan minyak besar, serta konflik militer yang berulang dan meningkatnya fokus investor pada kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Advertisement