Liputan6.com, Jakarta - Banyak orang menyukai buah alpukat, terutama yang diolah menjadi olesan di atas roti panggang.Â
Namun, sebuah laporan baru mengungkapkan bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang mengerikan pada buah yang populer ini, seperti dilansir dari Sky News, Selasa (18/6/2024).
Baca Juga
Buah super ini, yang tinggi serat dan lemak sehat, memerlukan banyak air untuk tumbuh, yang membuatnya menjadi sangat rentan di dunia yang semakin panas dan kering.
Advertisement
Buah ini menjadi tren secara global pada tahun 2010-an, menjadi identik dengan kaum milenial dan menu brunch yang mahal.
Namun, seiring dengan popularitasnya yang terus meningkat, produktivitas di negara-negara penghasil utama seperti Burundi, Chili, Peru, Spanyol, Afrika Selatan, dan Meksiko, menurun karena kondisi yang semakin tidak stabil, menurut laporan dari badan amal Christian Aid.
Kini muncul seruan untuk memberikan lebih banyak dukungan kepada petani alpukat yang rentan.
Seorang petani alpukat dan presiden Farmer's Pride Burundi, Jolis Bigirimana, mengatakan bahwa perubahan iklim di negara Afrika tersebut "merupakan masalah besar, terutama bagi para petani alpukat".
"Kami merasakan suhu yang panas, hujan lebat, erosi, yang berdampak buruk pada produktivitas petani dan penghasilan mereka," tambahnya.
"Sekarang kami harus mengeluarkan banyak uang untuk menyirami tanaman kami."
Dr. Chloe Sutcliffe, dari Royal Horticultural Society, mengatakan bahwa Inggris saat ini mendapatkan sebagian besar alpukatnya dari Peru dan Chili, di mana kelangkaan air sudah tinggi.
Ia mengatakan bahwa perluasan produksi alpukat telah mengompromikan akses air bagi beberapa petani kecil.
"Sangat mungkin bahwa dampak perubahan iklim pada ketersediaan air akan semakin memperburuk masalah kelangkaan air di daerah-daerah ini," tambahnya.
Â
Penanaman Alpukat yang Berkurang Karena Suhu Naik
Satu buah alpukat membutuhkan rata-rata 320 liter air, menurut ahli makanan berkelanjutan Honor Eldridge.
Beberapa ahli makanan merekomendasikan kacang polong yang dihancurkan dengan bawang putih dan daun mint sebagai alternatif untuk di atas roti panggang.
Laporan Christian Aid, yang disebut Getting Smashed, mengutip sebuah studi tahun 2022 yang memprediksi bahwa area utama penanaman akan berkurang sebesar 21% pada tahun 2050 meskipun pemanasan global dibatasi hingga 2 derajat Celcius.
Produsen alpukat terbesar di dunia, Meksiko, dapat melihat area potensiaal penanaman berkurang sebesar 31% pada tahun 2050 dengan panas 2 derajat Celcius, kata Christian Aid.
Dunia saat ini beradaa di jalur untuk pemanasan sekitar 2,5 hingga 2,9 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, jauh di atas target 1,5 hingga 2 derajat Celcius di bawah Perjanjian Paris, tetapi jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya setelah adanya kebijakan iklim dan energi yang baru.
Sarah Peake, dari Eden Project, menyerukan "tindakan mendesak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca" dan melindungi sistem penanaman serta orang-orang yang mengandalkan sistem pertanaman untuk mencari nafkah.
"Itu tidak berhenti disitu, kita semua bisa mengurangi dampak kerusakan pada planet ini dengan memikirkan tentang apa yang kita makan dan dari mana asalnya," tambahnya.
Advertisement
Ditakuti oleh Seluruh Petani Buah
Pohon-pohon persik dikabarkan mulai berbunga di Jaemor Farms, di Georgia pada bulan Maret 2024.
Hal tersebut merupakan perbedaan yang mencolok dari tahun lalu, ketika musim dingin dengan suhu beku yang disertai juga dengan udara hangat menghancurkan sejumlah besar buah favorit di negara bagian AS tersebut, seperti dikutip dari CNN, Selasa (14/5).
Pemilik Drew Echols yang merupakan seorang petani generasi kelima, mengatakan bahwa menjadi lebih sulit dari biasanya untuk memprediksi kapan buah-buahan seperti persik Georgia ikonik ini akan mulai berbunga.
Layaknya petani lain, ia harus menggunakan tindakan kreatif nan strategis, seperti mencoba varietas buah baru atau menggunakan mesin angin untuk mengontrol suhu udara agar tanamannya terlindungi.
"Kekhawatiran terbesar yang dihadapi seorang petani, terutama produsen buah persik, selalu cuaca," kata Echols kepada CNN. "Anda selalu memperhatikan ramalan cuaca setiap hari, merencanakan pekerjaan dan berdoa serta berharap bahwa Anda akan mendapatkan hasil panen yang baik."
Â
Buah-buahan Lain yang Diganggu oleh Perubahan Iklim
Krisis iklim yang menciptakan musim dingin yang lebih hangat dari biasanya dan musim semi yang datang secara awal, mengancam persik dan banyak tanaman buah lainnya, termasuk plum, apel, dan aprikot.
Musim dingin yang lebih hangat menandakan bunga yang datang lebih awal, dan penurunan suhu yang secara tiba-tiba bisa merusak atau membunuh buah-buahan tersebut yang secara drastis memengaruhi jumlah yang dipanen dalam tahun tersebut.
Tahun 2023 lalu, Georgia dikabarkan kehilangan lebih dari 90% panen persik setelah musim dingin yang tidak normal menyebabkan pohon berbunga terlalu awal. Negara Bagian Persik ini biasanya menghasilkan lebih dari 130 juta pound persik setiap tahunnya, dengan hasil panen yang pada tahun 2021 bernilai hampir $85 juta atau sekitar Rp1,3 triliun.
Meskipun tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya, Echols khawatir akan kehilangan besar lagi.
Advertisement