Liputan6.com, Doha - Raneem Hijazi ingat betapa eratnya dia menggendong putranya yang berusia satu tahun, Azzouz, sebelum serangan udara Israel melanda. Suara drone yang terbang di atas gedung tempat tinggal mereka di Jalur Gaza semakin keras dan dia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Apa pun yang terjadi pada saya, terjadi juga pada dia," ungkap Raneem tentang alasannya mendekap erat bayinya dalam kondisinya tengah mengandung, seperti dilansir CNN, Kamis (16/5/2024).
Baca Juga
Dia tidak ingat momen dampaknya, tapi kenangan setelahnya terpatri di otaknya.
Advertisement
"Anda tidak merasakan benturan itu, Anda hanya membuka mata dan Anda berada di bawah reruntuhan," ujarnya.
Dia segera meraba-raba, mencari Azzouz, hingga ibu mertuanya berteriak.
"Dia menemukannya di atas perut saya. Dia mengangkatnya. Tubuhnya berada di tangannya dan kepalanya jatuh ke perut saya," kenang Raneem.
Sejak 24 Oktober itu, Raneem mempertanyakan keinginannya untuk hidup. Dia awalnya meminta keluarganya untuk membiarkannya mati, namun mereka malah mencari bantuan untuk mengeluarkannya dari rumah yang hancur di Khan Younis.
Pada saat dia sampai di rumah sakit, dia dianggap meninggal. Kehamilannya yang berusia delapan bulan membuat dokter kembali memeriksanya dan mereka melahirkan putrinya, Mariam, melalui operasi caesar.
"Saat dia menarik napas pertama, saya hidup kembali. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa ini adalah keajaiban," kata Raneem.
Raneem menceritakan kisahnya dengan suara lemah sambil terbaring di ranjang Rumah Sakit Hamad di Doha, Qatar. Lengan kirinya diamputasi dan kedua kakinya mengalami kerusakan parah, sehingga memerlukan cangkok tulang untuk memperbaikinya.
Melampaui yang Pernah Dilihat
Meski sesekali terdengar erangan kesakitan, lorong-lorong yang relatif sepi di bangsal Gaza di Rumah Sakit Hamad sangat berbeda dengan fasilitas medis yang kewalahan di Jalur Gaza. Di balik setiap pintu terdapat kisah tentang kelangsungan hidup yang ajaib, yang dinodai oleh kehilangan yang tidak dapat dihibur. Para ibu yang dirawat karena cedera yang mengubah hidup mereka mulai memproses kehilangan seorang anak dan berjuang dengan berkurangnya kemampuan mereka untuk merawat anak-anak mereka yang masih hidup.
"Putri saya adalah penyelamat saya. Saat pertama kali saya cedera, saya berkata, 'Saya tidak menginginkannya. Saya ingin anak laki-laki saya kembali'," kata Raneem.
"Saya bahkan tidak bisa mengangkat kepala. Tidak bisa melihatnya, apalagi merawatnya."
Kuat harapan Raneem agar suatu saat putrinya memberinya tenaga untuk melanjutkan hidup.
Raneem dievakuasi dari Jalur Gaza untuk perawatan medis sebulan setelah cederanya. Mariam, yang hampir setua masa perang dan memiliki pipi tembem yang sama dengan mendiang kakak laki-lakinya, berada bersama kakek dan neneknya di Mesir.
Perempuan itu menyaksikan Mariam tumbuh dewasa melalui video call. Sementara itu, dokter meyakinkan Raneem bahwa dia akan bisa berjalan lagi.
"Saya telah bekerja di bidang ortopedi selama sekitar 21 tahun. Jenis cedera, tingkat keparahan cedera, jenis pengeroposan tulang, dan jenis infeksi yang kami hadapi pada pasien Gaza adalah sesuatu yang melampaui (apa pun) yang pernah saya lihat sebelumnya," kata Dr. Hasan Abuhejleh, konsultan ahli bedah ortopedi di Rumah Sakit Hamad.
Dia harus memberitahu banyak pasien bahwa amputasi mereka, meskipun diperlukan untuk menyelamatkan hidup mereka, bisa dihindari jika ada lebih banyak sumber daya yang tersedia di Jalur Gaza.
Lebih dari 4.800 orang telah dievakuasi dari Jalur Gaza untuk mendapatkan perawatan medis sejak Israel melancarkan serangan militer sebagai respons serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, dan ribuan lainnya yang berada dalam kondisi serius menunggu untuk meninggalkan wilayah kantong itu.
Pernyataan PBB dan badan-badan bantuan dalam pembaruan pada 10 Mei menyebutkan bahwa Israel telah menolak 42 persen permintaan evakuasi medis yang dibuat. Dalam beberapa hari terakhir, mereka menambahkan, "Penutupan Penyeberangan Rafah tiba-tiba, menghentikan semua evakuasi medis bagi pasien yang sakit kritis dan terluka ke luar Jalur Gaza."
Advertisement
Kisah Perempuan Hamil Lainnya
Shaimaa Al-Ghoul kehilangan suami dan dua dari empat anaknya dalam serangan udara di Rafah pada Februari. Keluarga tersebut sedang tidur di satu kamar ketika tiba-tiba tempat tidurnya terbelah dua dan Shaimaa terjatuh ke lantai dasar.
"Saya mendengar Hothaifa (putranya yang berusia 11 tahun) memohon kepada tim penyelamat agar tidak meninggalkannya. Saya tidak mendengarkan suami saya, Jenan, atau Mohamed, jadi saya tahu mereka adalah martir," katanya.
Dia sedang hamil sembilan bulan dan yakin pecahan peluru yang mengenai perutnya juga membunuh putranya yang belum lahir. Benar saja, Abdullah dilahirkan dalam kondisi tidak bernyawa pada hari berikutnya.
Shaimaa membagikan foto-foto ceria anak-anaknya sebelum perang hingga kemudian menunjukkan foto jasad putrinya Jenan dalam kondisi mengenaskan. Melalui foto Jenan, dia ingin menunjukkan kengerian perang dan memori yang dihantui oleh dia dan orang-orang lainnya.
Putranya, Hothaifa, berkeliaran di lorong rumah sakit dengan menggunakan tongkat. Kakinya yang cedera terlalu bengkak untuk menahan beban.
Tidak Bisa Disembuhkan
Shahed Alqutati, yang berusia 23 tahun, baru saja menyelesaikan fisioterapi. Kaki kirinya diamputasi dan kaki lainnya dibungkus dengan fiksator eksternal – sebuah bingkai logam yang menyatukan tulang-tulangnya yang hancur. Serangan yang melanda apartemennya di lantai tiga di Gaza Utara pada 11 Oktober membuat dia dan suaminya Ali, seorang profesor universitas berusia 26 tahun, terpental ke jalan.
Karena terkejut, Shahed membuka matanya dan menemukan kakinya robek dan darah di mana-mana.
"Suami saya ada di depan saya. Dia juga terluka. Dia kehilangan kedua kaki dan tangannya. Saya berteriak kepadanya 'Ali, Ali'. Dia mendengar saya dan dia juga berteriak 'Shahed'. Dia melihat lengannya terputus dan bertanya 'di mana lengan saya?"
Itu adalah kata-kata terakhir yang mereka ucapkan. Keduanya dilarikan ke rumah sakit, namun Ali tidak selamat. Shahed tidak hanya kehilangan cinta dalam hidupnya, namun juga bayi yang akan mereka miliki.
"Seminggu sebelum perang kami membeli segalanya untuk bayi, pakaian, kaos. Semuanya pink, pink, pink. Kami sangat bersemangat," kenangnya.
Putrinya, Sham, lahir dalam kondisi tak bernyawa dua hari setelah serangan atau dua bulan sebelum hari perkiraan lahirnya.
Penderitaan Shahed tidak berakhir di situ. Dia dibawa ke Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza untuk perawatan – dan pada bulan November rumah sakit itu mengalami pengepungan Israel yang menyebabkan pasien dan staf medis tanpa makanan atau air, sementara persediaan medis yang semakin menipis. Setelah dua pekan, militer Israel memaksa dia dan orang lain keluar dari rumah sakit.
Ayahnya mendorongnya dengan kursi roda di sepanjang jalan yang rusak. Di sebuah pos pemeriksaan, kata Shahed, "Tentara Israel menembak ke udara dan menyuruh orang-orang untuk kembali. Kembali ke mana? Tidak ada tempat untuk pergi. Kami berjalan dan berjalan terlalu lama."
Saat mereka mencapai Rafah, luka-luka Shahed sudah berdarah dan terinfeksi, namun dia masih takut masuk rumah sakit karena melihat gelombang besar orang-orang yang terluka akibat konflik tersebut.
"Jika saya pergi ke rumah sakit, saya akan mati, bukannya sembuh," ujarnya.
Ayahnya yang kemudian membalut lukanya jauh dari rumah sakit.
Perawatan diberikan setelah dia dievakuasi secara medis keluar dari Jalur Gaza. Bersamaan dengan itu, dia memproses kehilangannya.
"Tidak seorang pun akan merasakan sakit (saya). Ketika bersama orang lain (saya) terlihat kuat, bahagia, tertawa. Tapi, saat saya sendirian, saya merasakan sesuatu yang menyakitkan di sini," katanya sambil menunjuk ke jantungnya.
"Saya tidak dapat disembuhkan dari ini. Ini akan tetap bersama saya sepanjang hidup saya. Amputasi, patah tulang, luka bakar, gangguan syaraf … Tidak ada kaki baru bagi saya. Ini adalah sesuatu yang tidak akan dilupakan. Dan bagaimana caranya saya bisa lupa? Saya kehilangan orang yang saya cintai dan bayi saya," tambahnya.
Raanem dan Shahed menggambarkan keputusasaan serupa yang membelenggu mereka pada kengerian perang di Jalur Gaza. Mereka tidak yakin akan masa depan mereka dan di mana mereka akan berakhir, ditambah khawatir dengan anggota keluarga mereka yang terjebak di Gaza.
"Hidup telah berakhir. Tidak ada lagi kegembiraan," kata Raanem.
"Saya memejamkan mata dan semua kenangan membanjiri saya. Saya pergi ke mal dan melihat susu formula yang saya gunakan untuk putra saya dan saya merasa sekarat. Itu hanya susu formula bayi. Anda bisa membayangkan apa yang terjadi ketika saya melihat foto atau videonya atau mainannya atau pakaiannya."
Air mata mengalir di wajahnya saat dia menonton video Azzouz yang terkikik.
"Rasa sakitnya tidak akan pernah hilang. Ini adalah hal-hal yang tidak bisa dilupakan. Kami melahirkan hanya untuk kehilangan mereka," imbuhnya.
Advertisement