Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada Sabtu (1/6/2024) bahwa tidak akan ada gencatan senjata permanen di Jalur Gaza sampai Hamas berhasil dihancurkan. Penegasan tersebut menimbulkan keraguan atas bagian penting dari proposal gencatan senjata yang disebut Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dibuat oleh Israel sendiri.
Pada Jumat (31/5), Biden menyatakan bahwa Israel mengajukan proposal kesepakatan yang mencakup gencatan senjata awal selama enam pekan dengan penarikan sebagian militer Israel dan pembebasan sebagian sandera, di mana kedua belah pihak berunding untuk mencapai penghentian pertempuran secara permanen.
Baca Juga
Namun, pernyataan Netanyahu pada Sabtu menekankan bahwa dirinya tidak dapat menerima gagasan Israel untuk menyetujui gencatan senjata permanen sebelum berhasil menghancurkan kekuatan militer dan pemerintahan Hamas.
Advertisement
Perundingan perdamaian keduanya terhenti selama berbulan-bulan. Israel menuntut pembebasan semua sandera dan penghancuran Hamas, sementara Hamas menuntut adanya gencatan senjata secara permanen, penarikan pasukan Israel, dan pembebasan banyak tahanan Palestina.
Hamas mengatakan pada Jumat bahwa pihaknya siap untuk terlibat secara positif dan konstruktif. Namun, salah satu pejabat senior kelompok tersebut, Mahmoud Mardawi, menuturkan dalam sebuah wawancara televisi Qatar bahwa mereka belum menerima rincian proposal itu.
"Tidak ada kesepakatan yang bisa dicapai sebelum tuntutan penarikan tentara pendudukan dan gencatan senjata dipenuhi," katanya.Â
Perang dimulai pada 7 Oktober 2023 ketika Hamas menyerang Israel selatan dari Jalur Gaza. Menurut penghitungan Israel, serangan tersebut menewaskan lebih dari 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan menyandera lebih dari 250 orang.
Sebagai balasan, serangan darat dan udara Israel di Jalur Gaza menghancurkan wilayah tersebut, menyebabkan kelaparan yang meluas, dan menurut otoritas kesehatan Palestina menewaskan lebih dari 36.000 orang. Sebagian besar korban tewas yang dilaporkan adalah warga sipil.
Bulan lalu, Netanyahu menentang seruan para pemimpin dunia untuk menghentikan eskalasi kekerasan dengan mengirimkan pasukan Israel ke Rafah. Wilayah tersebut merupakan zona aman terakhir di Jalur Gaza yang kecil dan padat yang belum mereka masuki. Akibatnya, lebih dari satu juta warga Palestina yang berlindung di sana kembali mengungsi.
Israel mengatakan Rafah, yang berada di perbatasan dengan Mesir, adalah benteng utama terakhir Hamas di Jalur Gaza. Israel mengklaim aktivitas militernya untuk menghancurkan kelompok tersebut tidak akan berhasil sampai mereka berhasil memasuki Rafah.
Pada Rabu (29/5), penasihat keamanan Nasional Netanyahu, Tzachi Hanegbi, mengatakan perang di Jalur Gaza diperkirakan akan terus berlanjut setidaknya hingga akhir 2024.
Desakan untuk Gencatan Senjata
Di AS, sekutu utama Israel, penderitaan besar warga sipil di Jalur Gaza telah menekan Biden untuk menghentikan perang. Biden berharap dapat memenangkan masa jabatan kedua dalam Pilpres ASyang digelar pada November.
"Sudah saatnya perang ini berakhir dan memulai hari baru," ujar Biden pada Jumat.
Biden meminta para pemimpin Israel untuk menolak tekanan dari kelompok-kelompok di dalam negeri yang ingin perang berlanjut tanpa batas waktu.
Di Israel, kemarahan akibat serangan 7 Oktober mendorong timbulnya dukungan luas terhadap perang di Gaza, meskipun koalisi pemerintahan juga menghadapi tekanan untuk memulangkan sandera yang masih tersisa.
Pemimpin oposisi Yair Lapid mendesak Netanyahu menyetujui kesepakatan terkait sandera dan gencatan senjata. Dia menyatakan bahwa partainya akan mendukung kesepakatan tersebut bahkan jika faksi sayap kanan dalam koalisi pemerintah menolak, sehingga kesepakatan tersebut kemungkinan besar akan disetujui di parlemen.
"Pemerintah Israel tidak dapat mengabaikan pidato penting Presiden Biden. Ada kesepakatan yang perlu dilakukan dan itu harus dilakukan," kata Lapid dalam via media sosialnya pada Sabtu.
Israel mengatakan gencatan senjata permanen tidak mungkin dilakukan terhadap kelompok yang ingin menghancurkannya dan melancarkan serangan pada 7 Oktober.
Dari sisi Hamas, kelompok itu menegaskan pihaknya tidak akan menyetujui kesepakatan apa pun yang memungkinkan aktivitas militer Israel di Gaza dilanjutkan.
Advertisement