Sukses

Laporan WHO: Industri Tembakau Bidik Anak-anak Lewat Vape

Menurut temuan WHO, perusahaan-perusahaan tembakau menggunakan strategi pemasaran yang khusus menyasar kaum muda dan anak-anak.

, New York City - Untuk memperingati Hari Tanpa Tembakau pada tahun 2024, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan laporan yang menguraikan praktik tak sedap di industri rokok.

Menurut temuan WHO, perusahaan-perusahaan tembakau menggunakan strategi pemasaran yang khusus menyasar kaum muda dan anak-anak. Strategi ini dipilih demi mencegah penurunan jumlah konsumen, yang belakangan ini mulai berkurang karena masalah kesehatan.

Menurut WHO, anak-anak adalah target utama pemasaran rokok elektrik. Alasannya, jika seseorang mengalami kecanduan nikotin sebelum usia 21 tahun, kemungkinan besar dia akan kecanduan seumur hidup.

Produk dengan rasa buah dan permen dengan kemasan berdesain kartun memudahkan produsen menjaring minat anak-anak, kata WHO. Namun begitu, perusahan menyangkal bahwa mereka secara eksplisit menargetkan anak-anak.

Vape Ciptakan Krisis Kesehatan Publik

Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 2019 mengumumkan munculnya "krisis kesehatan masyarakat akibat kecanduan rokok elektrik".

Sejak saat itu, beragam inisiatif diperkenalkan di seluruh dunia, sebagai upaya untuk mengendalikan konsumsi vape.

Tapi apa yang dulu dianggap krisis, kini sudah menjadi fakta keseharian, dengan tingginya angka perokok di kalangan usia muda, terutama pada kelompok Gen-Z.

Menurut laporan WHO, anak-anak antara 13 hingga 15 tahun lebih sering menghisap rokok elektrik ketimbang manusia dewasa di semua wilayah.

Para peneliti mencatat, sebanyak 32 persen kelompok usia 15 tahun di Eropa dilaporkan pernah menghisap vape, sementara 20 persen di antaranya mengatakan rutin mengkonsumsi vape dalam 30 hari terakihr.

Terlebih, sebagian besar anak-anak yang diwawancarai WHO mengaku tidak menghisap rokok elektrik sebagai upaya mengurangi konsumsi rokok konvensional.

 

2 dari 3 halaman

Persaingan Industri Vape Dorong Kecanduan Dini

Vape atau rokok elektrik pertama kali dipasarkan di AS dan Eropa pada pertengahan dekade 2000an. Prinsipnya menggunakan "free-base nicotine" alias nikotin murni, yang diekstrak dengan menggunakan amonia untuk memperkuat intensitas rasa ketika dibakar.

Masalahnya, bahkan dengan kadar nikotin yang rendah sekalipun, rokok berbasis "free-base nicotine" tetap menyisakan rasa terbakar di kerongkongan, yang akan terasa menyakitkan bagi kaum non-perokok dan sebabnya kurang menarik bagi calon konsumen baru.

Namun pada tahun 2016, perusahaan AS bernama Juul memperkenakan desain baru rokok elektronik yang menggunakan bahan baru, yakni garam nikotin yang mampu menguap dalam suhu rendah.

Dengan cara ini, vape bisa dibuat dengan mengandung kadar nikotin yang lebih tinggi, dengan rata-rata yang mencapai 50mg di AS. Di Eropa, konsentrasi nikotin pada rokok diibatasi maksimal 20mg.

 

3 dari 3 halaman

Dampak Kesehatan Jangka Panjang Masih Samar

WHO mencatat, selain berusaha memperlemah regulasi kesehatan terkait penggunaan vape di berbagai negara, industri rokok juga mempengaruhi riset ilmiah soal dampak kesehatan rokok elektrik.

Pada 2024, raksasa rokok Philip Morris International mensponsori seri liputan jurnalistik mengenai berhenti merokok, yang menggambarkan "produk nikotin tidak terlalu berbahaya." Repotnya, laporan tersebut diterbitkan di Medscape, sebuah situs berita kedokteran di AS. Publikasinya dihentikan setelah ramai protes pembaca.

Manipulasi riset atau karya pseudosains yang ikut dibiayai industri rokok, turut menyumbang pada ketidakjelasan seputar dampak kesehatan dari rokok elektrik.

Karena meski memperingatkan terhadap bahaya keguguran kandungan, misalnya, pemerintah di Inggris tetap merekomendasikan vape ketimbang rokok konvensional, karena dinilai berisiko lebih kecil atau bisa memudahkan proses berhenti merokok. Namun imbauan serupa tidak dikeluarkan pemerintah di AS atau di negara-negara lain.

Usia produk yang tergolong muda dan minimnya riset terkait membuat samar dampak kesehatan vape bagi manusia. Meski begitu, ragam studi lain telah membuktikan kaitan erat antara konsumsi nikotin dan tingginya risiko penyakit kanker.

Merokok juga berimbas pada kesehatan organ reproduktif, memperlemah sistem kekebalan tubuh dan berpotensi memperkuat resistensi sel tumor terhadap obat-obatan kemoterapi.