Sukses

WHO: Warga Gaza Terpaksa Makan Makanan Ternak dan Minum Air Limbah

Ambisi untuk membangun kembali sistem kesehatan Jalur Gaza, yang hancur akibat perang, sangat tinggi. Namun, tanpa perdamaian, hal tersebut tidak mungkin terjadi.

Liputan6.com, Gaza - Sejumlah warga Jalur Gaza kini hanya bisa minum air limbah dan makan makanan ternak. Demikian disampaikan kepala regional WHO pada Selasa (4/6/2024), seraya memohon peningkatan akses bantuan segera ke wilayah yang terkepung itu.

Direktur Regional Mediterania Timur WHO Hanan Balkhy juga memperingatkan bahwa perang Israel Vs Hamas berdampak besar pada layanan kesehatan di wilayah yang lebih luas.

"Dan terhadap anak-anak akan memiliki dampak jangka panjang yang parah," kata pakar kesehatan anak tersebut kepada AFP dalam wawancara di kantor pusat WHO di Jenewa, seperti dilansir CNA, Rabu (5/6).

"Di Jalur Gaza, ada orang yang makan makanan ternak, makan rumput, dan minum air limbah."

Dia menambahkan, "Anak-anak hampir tidak bisa makan, sementara truk-truk (bantuan) berjejer di luar Rafah."

Perang di Jalur Gaza paling berdarah yang pernah terjadi dipicu oleh serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang diklaim mengakibatkan kematian 1.194 orang. Sementara itu, serangan balasan Israel pada hari yang sama, menurut otoritas Jalur Gaza, telah menewaskan sedikitnya 36.550 warga Palestina.

PBB telah lama memperingatkan bahwa kelaparan akan terjadi di Jalur Gaza, di mana 1,1 juta orang – sekitar setengah dari populasi – menghadapi tingkat kerawanan pangan yang sangat parah.

Badan kemanusiaan PBB (OCHA) pada hari Selasa mengungkapkan kendala akses terus melemahkan penyampaian bantuan kemanusiaan yang aman untuk menyelamatkan jiwa di seluruh Gaza, dan kondisinya semakin memburuk pada bulan Mei.

Aliran bantuan sebagian besar masuk melalui persimpangan Kerem Shalom dengan Israel.

Ketidakamanan yang terkait dengan pertempuran dan pengeboman, serta jalanan yang sering dipenuhi puing-puing, juga menghambat distribusi bantuan.

Balkhy, yang mulai menjabat pada bulan Februari, menuturkan Jalur Gaza membutuhkan "perdamaian, perdamaian, perdamaian", ditambah peningkatan akses bantuan melalui darat.

Setelah kunjungan baru-baru ini ke penyeberangan Rafah dari Mesir ke Jalur Gaza selatan – saluran penting bantuan yang ditutup oleh pasukan Israel awal bulan lalu – dia mendesak Israel untuk membuka perbatasan tersebut.

Balkhy menegaskan Kerem Shalom tidak cukup dan upaya keras di koridor maritim dan pengiriman udara tidak masuk akal ketika jalur darat yang jauh lebih murah dan efektif sudah ada dan truk-truk berbaris di luar koridor tersebut.

Dia juga menyuarakan rasa frustrasinya atas pemblokiran peralatan medis yang dianggap Israel dapat digunakan untuk tujuan militer.

"Kita berbicara tentang ventilator, bahan kimia pemurni hingga air bersih," kata dokter asal Arab Saudi itu.

2 dari 2 halaman

Kesehatan Mental Anak

Balkhy menekankan kebutuhan yang sangat besar bagi para pasien di Jalur Gaza, dengan sebanyak 11.000 orang yang sakit kritis dan terluka memerlukan evakuasi medis.

"Pasien yang keluar menunjukkan beberapa trauma yang sangat kompleks: patah tulang, organisme yang resistan terhadap berbagai obat, anak-anak yang sangat cacat," jelas Balkhy.

"Untuk merehabilitasi orang-orang seperti ini dan merawat mereka, Anda memerlukan layanan kesehatan yang sangat kompleks."

Balkhy tidak luput menyinggung "beban berat" pada sistem kesehatan yang rapuh di negara-negara tetangga yang ikut menampung warga Palestina yang terluka, terutama Mesir.

Pekan lalu, WHO memperingatkan adanya penghentian mendadak terhadap evakuasi medis sejak Israel melancarkan serangan di Rafah pada awal Mei dan memperingatkan akan lebih banyak orang yang meninggal saat menunggu perawatan.

Balkhy, seorang dokter spesialis penyakit menular, berbicara tentang dampak jangka pendek dan jangka panjang dari konflik terhadap anak-anak.

Dia menjelaskan bahwa perang telah memberikan dampak buruk terhadap upaya-upaya kesehatan dasar masyarakat, seperti air bersih, makanan sehat dan imunisasi rutin, sehingga anak-anak rentan terhadap campak, cacar air, diare dan penyakit pernapasan.

"Ini akan berdampak besar pada kesehatan mental. Ini akan menyebabkan sindrom stres pasca-trauma yang parah," tegasnya.

Mengenai anak-anak yang diselamatkan dari reruntuhan, dia mengungkapkan, "Saya bahkan tidak tahu bagaimana mereka bisa pulih secara psikologis."