Sukses

Jelang COP29 di Baku Azerbaijan, Proses Pendanaan untuk Iklim Jadi Bahasan

Polemik terbesar dalam konferensi kali ini adalah pembiayaan iklim, lebih tepatnya: Berapa beban biaya yang harus dibayarkan negara industri?

Liputan6.com, Bonn - Di Bonn, Jerman, ribuan delegasi dari pemerintahan, peneliti dan pegiat iklim dari 198 negara berkumpul sejak Senin (3/6/2024). Selama dua pekan ke depan, mereka bertugas menetapkan pondasi bagi penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, pada November mendatang.

Polemik terbesar dalam konferensi kali ini adalah pembiayaan iklim, lebih tepatnya: Berapa beban biaya yang harus dibayarkan negara industri?

Seberapa besar dana yang harus dibayarkan pemerintah, dan berapa yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha? Dan bagaimana memastikan transparansi penggunaan biaya iklim di negara tujuan?

"Pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah rumit dan ada sangat banyak negara yang terlibat, waktu selama dua pekan di bulan November mendatang tidak akan cukup," kata Petter Lyden, Direktur Kebijakan Iklim Internasional di lembaga swadaya Germanwatch.

"Konferensi persiapan seperti yang sedang diselenggarakan di Bonn sangat krusial," imbuhnya.

Miliaran hingga Triliunan USD

Pada tahun 2009, negara-negara kaya berjanji menyediakan dana sebesar USD100 miliar atau sekitar Rp1.626 triliun hingga 2020 untuk membantu negara berkembang menanggulangi dampak krisis iklim.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, OECD, melaporkan target itu baru terpenuhi pada tahun 2022, atau telah dua tahun dari rencana semula, dikutip dari laman DW Indonesia, Kamis (6/6).

"Meski pencapaian dana iklim sebesar USD 100 milir per tahun patut dirayakan, pendanannya harus mempertimbangkan eskalasi kisis iklim sejak beberapa tahun terakhir yang volumenya melampaui jumlah tersebut," kata Melanie Robinson dari lembaga penelitian World Ressource Institute, WRI.

Perjanjian Iklim Paris 2015 telah menetapkan agar komitmen pendaaan iklim diperbaharui sebelum tahun 2025.

Menurut riset WRI tahun 2021 lalu, dibutuhkan sebesar USD5 triliun per tahun pada 2030 untuk membiayai mitigasi dan adaptasi, serta menanggulangi dampak krisis iklim.

 

2 dari 3 halaman

Produksi Emisi Rumah Kaca

Tanggung jawab dilayangkan kepada negara-negara industri maju, yang terus memproduksi emisi gas rumah kaca demi kemakmuran sendiri.

"Dana iklim bukan cuma biaya, tapi investasi," kata Joe Thwaites dari lembaga iklim AS, NRDC. Dia merujuk pada bencana cuaca ekstrem, seperti gelombang panas, banjir dan kekeringan yang semakin sering melanda dunia, dengan intensitas yang juga meningkat drastis.

"Bahkan jika nilai investasinya mencapai triliunan Dollar AS, kita akan berhemat banyak triliunan lain dengan menghindari kerusakan," imbuhnya.

Siapa yang harus Membayar?

Jika sebagian besar negara-negara industri maju sepakat menanggung biaya iklim, dua produsen emisi terbesar, Arab Saudi dan Cina, sejauh ini masih dikecualikan karena dianggap negara berkembang.

"Sudah saatnya mengambil tindakan dan kita membutuhkan lebih banyak negara untuk mengambil alih tanggung jawabnya," kata Menteri Pembangunan Jerman Svenja Schulze, pada konferensi iklim di Berlin, April silam.

"Semua produsen emisi terbesar, termasuk negara-negara Teluk dan Cina, kita semua harus berbuat lebih banyak."

Kebuntuan juga menghalangi pembahasan soal tanggung jawab perusahaan dan investor swasta dalam krisis iklim.

Menurut Thwaites, tanggung jawabnya tetap dipegang negara, melalui pajak, regulasi atau subsidi. Karena pada akhirnya, negara lah yang merundingkan serta menjamin tercapainya target iklim, bukan perusahaan swasta.

"Meski penting untuk melihat peran yang bisa dimainkan masing-masing pelaku perekonomian global, pemerintah lah yang harus mempertanggungjawabkan komitmen iklim," kata dia.

3 dari 3 halaman

Tuntutan Transparansi

Tantangan lain dalam KTT Iklim di Baku adalah jaminan transparansi keuangan. Betapapun besarnya uang yang dijanjikan, sasaran iklim tidak akan tercapai jika dananya tidak dibayarkan atau diselewengkan di negara tujuan.

Ketidakpastian sebabnya masih membayangi soal siapa yang bersedia lebih dulu memenuhi komitmen iklim bersangkutan.

"Negara maju punya banyak ruang untuk bermain dengan bagaimana mereka ingin menampilkan statistik pendanaan iklimnya sendiri," kata Tom Evans, penasehat senior di lembaga pemikir iklim, E3G. "Hal ini mengarah pada besarnya ketidakpercayaan dan sikap skeptis tentang apakah target pendanaan sudah benar-benar terpenuhi."

PBB akan menyelesaikan kerangka transparansi baru pada KTT COP tahun ini. Semua negara diharapkan menggunakan pedoman pelaporan terpadu untuk menunjukkan kontribusi mereka dalam perjuangan melawan perubahan iklim – dan itu juga termasuk statistik keuangan.