Sukses

Jurnalis Rusia Nikita Tsitsagi Tewas Akibat Serangan Drone Ukraina, Total 30 Wartawan Moskow Meninggal di Medan Perang

Kementerian luar negeri Rusia mengatakan sebuah drone atau pesawat tak berawak Ukraina "dengan sengaja menyerang jurnalis Rusia yang sedang menyiapkan laporan di wilayah tersebut".

Liputan6.com, Moskow - Seorang jurnalis Rusia tewas dalam serangan drone atau pesawat tak berawak di Ukraina timur, kata organisasi beritanya pada Minggu (16/6/2024), dua hari setelah kematian koresponden lainnya di dekat garis depan pertempuran.

"Koresponden kami Nikita Tsitsagi tewas dalam serangan drone tentara Ukraina," News.Ru memposting di Telegram, seperti dikutip dari AFP, Senin (17/6/2024).

Dikatakan serangan itu terjadi di sekitar biara Saint-Nicolas dekat Kota Vugledar, tempat terjadinya pertempuran sengit selama tiga bulan terakhir.

Kementerian luar negeri Rusia mengatakan sebuah drone atau pesawat tak berawak Ukraina "dengan sengaja menyerang jurnalis Rusia yang sedang menyiapkan laporan di wilayah tersebut".

“Ini adalah serangan kedua terhadap pekerja media dalam seminggu, dengan serangan yang sama,” kata juru bicara kementerian Maria Zakharova, menyalahkan Ukraina.

Sebelumnya pada hari Kamis (13/6), seorang jurnalis televisi pemerintah Rusia tewas dan seorang lainnya terluka dalam serangan pesawat tak berawak Ukraina di Golmivsky, sebuah desa yang dikuasai Rusia dekat garis depan di wilayah Donetsk.

Kementerian luar negeri Rusia menuduh Ukraina sengaja menargetkan para jurnalis tersebut.

Presiden Vladimir Putin awal bulan ini mengatakan bahwa ""setidaknya 30" jurnalis Rusia telah terbunuh sejak dimulainya konflik di Ukraina.

2 dari 3 halaman

Vladimir Putin Ungkap Syarat Akhiri Perang Rusia Vs Ukraina, Disebut Taktik Adolf Hitler hingga Propaganda

Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengungkap sejumlah syarat agar Moskow mau mengakhiri perangnya di Ukraina, termasuk menyerahkan seluruh empat wilayah yang diklaim oleh Moskow dan membatalkan upaya Ukraina bergabung dengan NATO.

Jelang konferensi perdamaian di Swiss, Putin pada Jumat (14/6/2024) mengatakan persyaratan "akhir" perang Rusia dan Ukraina secara lebih rinci sejak ia melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina lebih dari dua tahun lalu.

Dilansir CNN, Minggu (16/6), selain harus menarik diri dari empat wilayah yang diduduki di Ukraina timur dan selatan, Putin mengatakan Ukraina harus melakukan demiliterisasi dan negara-negara Barat harus mencabut sanksi mereka terhadap Rusia.

Di sisi lain, persyaratan tersebut menjadi simbol kegagalan Rusia dalam mencapai tujuan awal perangnya, ketika Moskow percaya bahwa mereka dapat merebut Kyiv dalam hitungan hari dan wilayah Ukraina lainnya dalam hitungan minggu.

Para pejabat Ukraina dan negara-negara Barat telah berulang kali memperingatkan bahwa Putin bermaksud untuk menerima kekalahan total di Kyiv, dan bahwa setiap gencatan senjata atau perundingan perdamaian hanyalah kedok untuk memungkinkan pasukan Rusia berkumpul kembali dan melancarkan serangan baru dan lebih sengit di masa depan.

Namun, dalam komentarnya kepada Kementerian Luar Negeri, Putin mengatakan kondisi Rusia untuk perundingan perdamaian "sederhana", dimulai dengan penarikan total pasukan Ukraina dari seluruh wilayah Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhzhia. Moskow hanya menguasai sebagian wilayah tersebut, namun mengklaim seluruh wilayah itu merupakan bagian dari wilayah Rusia pada tahun 2022.

Kali ini, Putin menekankan bahwa Ukraina harus menyerahkan tidak hanya wilayah di garis depan Rusia yang tersebar di masing-masing wilayah, namun juga "seluruh wilayah tersebut."

"Segera setelah mereka menyatakan di Kyiv bahwa mereka siap mengambil keputusan tersebut dan memulai penarikan nyata pasukan dari wilayah ini – dan juga secara resmi memberitahukan tentang pembatalan rencana untuk bergabung dengan NATO – pihak kami akan segera, pada saat yang sama, membuat perintah untuk gencatan senjata dan memulai negosiasi," katanya.

Putin juga berjanji untuk "menjamin penarikan unit dan formasi Ukraina tanpa hambatan dan aman", dan mengatakan Moskow mengakui perannya dalam stabilitas global. Dia meminta agar syarat-syaratnya untuk mengakhiri perang perlu dituangkan dalam perjanjian internasional.

Selengkapnya di sini...

3 dari 3 halaman

Ukraina Dapat Pinjaman USD 50 Miliar dari Aset Rusia yang Dibekukan

Adapun para pemimpin negara-negara G7 sepakat memberikan pinjaman sebesar USD 50 miliar untuk membantu Ukraina. Bunga yang diperoleh dari keuntungan aset-aset bank sentral Rusia yang dibekukan akan digunakan sebagai jaminan.

Rincian kesepakatan tersebut dibahas oleh para pemimpin G7 pada pertemuan puncak di Italia. Presiden Joe Biden mengatakan kepada wartawan pada hari Kamis (13/6/2024) bahwa langkah tersebut adalah bagian dari "perjanjian bersejarah", sementara itu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyebutkan pemberian pinjaman melalui aset Rusia merupakan langkah maju yang penting dalam memberikan dukungan berkelanjutan bagi Ukraina dalam memenangkan perang.

Penasihat keamanan nasional Biden, Jake Sullivan, mengatakan tujuan dari pemberian pinjaman ini adalah untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan bagi Ukraina saat ini untuk energi ekonomi dan kebutuhan lainnya sehingga mampu memiliki ketahanan yang diperlukan untuk menahan agresi Rusia yang terus berlanjut. Demikian seperti dilansir kantor berita AP, Jumat (14/6).

Tujuan lainnya adalah mengirimkan uang ke Ukraina dengan cepat.

Pejabat Prancis mengatakan pinjaman tersebut dapat dicairkan sebelum akhir tahun 2024.

Penilaian kerusakan terbaru Bank Dunia di Ukraina, yang dirilis pada bulan Februari, memperkirakan bahwa biaya rekonstruksi dan pemulihan negara tersebut mencapai USD 486 miliar selama 10 tahun ke depan.

Mantan Duta Besar AS untuk Ukraina John Herbst mengatakan bahwa pendanaan AS yang tidak dapat diandalkan merupakan alasan tambahan yang sangat penting untuk melakukan hal tersebut.

China mengkritik langkah AS memanfaatkan aset-aset Rusia untuk memberikan pinjaman terhadap Ukraina.

Juru bicara Kedutaan Besar China Liu Pengyu mengatakan bahwa AS "memicu perlawanan dan menghasut konfrontasi."

"Kami mendesak AS untuk segera berhenti menerapkan sanksi sepihak yang ilegal dan memainkan peran konstruktif dalam mengakhiri konflik dan memulihkan perdamaian."