Liputan6.com, Jakarta - Dengan dunia maya yang semakin berkembang dan canggih, sejumlah negara di dunia seperti Rusia, China, Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan negara-negara Asia termasuk Indonesia, menghadapi tantangan baru, terutama dalam keamanan siber.
"Kita semua tahu bahwa berbagai risiko yang ditimbulkan oleh dunia maya terhadap keamanan adalah kekhawatiran semua negara," tutur Liis Vihul, selaku direktur utama dan pendiri Cyberlaw International dalam panel bertajuk "Digital Security Initiative by ICSF and Dutch Embassy in Indonesia" yang diadakan di Hotel JW Marriot, Jakarta Pusat, pada Rabu (26/6/2024).
Baca Juga
Seperti diketahui, pada awal 2024, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah merundingkan Konvensi Kejahatan Siber dan Perjanjian Kejahatan Siber yang berpotensi mengubah hukum pidana internasional dan memperkuat kewenangan polisi dalam dunia maya, yang akhirnya memicu perdebatan antar negara-negara anggota.
Advertisement
"Semua negara pasti setuju bahwa serangan siber merupakan suatu tindakan yang harus segera ditindak, tetapi semua negara juga memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai bagaimana mengelola dan mengatur siber secara keseluruhan," ucap Vihul.
Menurut Vihul, setiap negara memiliki ancaman siber yang berbeda.
"Misalnya, negara demokrasi liberal cenderung melihat ancaman siber sebagai ancaman terhadap proses demokratis mereka. Tetapi di sisi lain, negara otoriter melihat bahwa ancaman siber akan memengaruhi cengkeraman kekuasaan mereka," lanjut Vihul.
Perbedaan pandangan antar negara memengaruhi apakah Perjanjian Kejahatan Siber PBB yang sempat disinggung oleh Vihul layak diterapkan atau tidak.
"Karena adanya pandangan mengenai kebebasan berekspresi dan pengelolaan dunia maya yang berbeda antara negara demokratis dan otoriter, jadi sulit untuk membayangkan bagaimana sebuah perjanjian dapat memberikan panduan jelas terhadap negara-negara tersebut."
Hukum Internasional Belum Mampu Menangani Kejahatan Siber
Michael Schmitt, selaku Direktur Urusan Hukum di Cyberlaw International, juga mengatakan bahwa hukum internasional masih cukup buruk dalam menangani kejahatan siber yang dilakukan oleh aktor non-negara.
Menurutnya, hukum internasional sekarang hanya berfokus pada hubungan antar negara dan tidak dirancang untuk menangani kejahatan yang dilakukan oleh aktor non-negara, terutama dalam kejahatan siber.
"Oleh karena itu, hukum internasional tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk menindak mereka yang melakukan kejahatan siber yang merugikan," tutur Schmitt.
Berbeda pandangan dengan Liis Vihul, Schmitt mengatakan bahwa Perjanjian Kejahatan Siber bisa menangani masalah tersebut, "Kecuali, Perjanjian Kejahatan Siber yang ditujukan untuk menegakkan hukum bersama tersebut diterapkan."
"Anda tidak akan beruntung dalam memberantas pelaku kejahatan siber jika perjanjian itu belum diterapkan," tambah Schmitt.
Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi, seperti munculnya kecerdasan buatan, negara-negara harus menjaga peraturan agar tidak terlalu jauh berbeda dari hukum yang sudah ada.
"Hukum internasional harus berkembang untuk menyesuaikan dengan kewajiban negara terkait teknologi baru dan ancaman yang akan datang," ucap Schmitt.
Advertisement
Bagaimana di Indonesia?
Pada kesempatan yang sama, ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja juga membagikan pandangannya mengenai kejahatan siber, terutama dalam negara Indonesia.
"Indonesia tentu tidak sendiri, kejahatan siber ini merupakan ancaman bagi semua negara dan merupakan persoalan yang harus ditangani secara bersama-sama," ucap Ardi.Â
Ardi mengungkapkan bahwa persoalan mengenai siber ini belum lama, dan Indonesia mengalami kekhawatiran akan kejahatan siber tersebut ketika pada tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalami kasus penyadapan.
"Pertanyaan saya waktu itu, kok bisa? Pertanyaan saya itu pun menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain, sehingga lahirlah concern kami," lanjut Ardi.
Ardi juga mengatakan bahwa Indonesia sudah lama mengkhawatirkan tata kelola teknologi.
"Kita lebih memprioritaskan kemajuan teknologi, dan semua teknologi yang ada ditangan semua masyarakat Indonesia itu berisiko, jadi kita harus pintar dalam memilih dan memilah," lanjutnya.
Upaya ICSF Saat Ini
Ardi Suteja juga mengungkapkan upaya yang saat ini dilakukan oleh Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) terkait masalah ini.
"Peran kita di sini sebenarnya kecil, seperti mengadvokasi isu-isu terkait siber, agar bisa membangun awareness dan menjadi terlibat dalam membangun kewaspadaan," ucapnya.
Namun, hal yang menjadi hambatan adalah adanya kesenjangan dalam generasi di Indonesia saat ini.
"Kita juga memikirkan bagaimana pesan yang kami beri dapat tersampaikan dengan baik kepada seluruh generasi di Indonesia," tambah Ardi.
Ardi juga menambahkan bahwa mereka telah mempertimbangkan langkah-langkah konkret yang bisa dimulai dengan anak-anak yang masih bersekolah.
"Edukasi yang kita akan beri (kepada anak sekolahan) tersebut harus ada strategi sendiri dan harus kami kemas sendiri," katanya.
"Kembali lagi, ini merupakan permasalahan global, kalau tidak paham akan fatal. Tujuan kita adalah meminimalisir ancaman siber, apalagi setelah kejadian PDN," lanjut Ardi.
Seperti diketahui, server Pusat Data Nasional (PDN) sempat diserang oleh serangan siber Ransomware yang mengganggu.
Advertisement