Liputan6.com, Taipei - Beijing mengumumkan bahwa para pendukung “keras kepala” kemerdekaan Taiwan terancam hukuman mati. Terkait hal tersebut, pemerintah Taiwan pada Kamis (27/6) mendesak masyarakatnya untuk menghindari “perjalanan yang tidak perlu” ke China.
Media pemerintah melaporkan pekan lalu, Beijing menerbitkan pedoman mengenai hukuman pidana bagi pendukung kemerdekaan Taiwan, termasuk hukuman mati untuk kasus-kasus “sangat serius” yang melibatkan para pendukung “keras kepala” kemerdekaan Taiwan.
Baca Juga
Sebagai dampaknya, mengutip VOA Indonesia, Sabtu (29/6/2024), badan kebijakan utama Taiwan mengenai China, Dewan Urusan Daratan (MAC) pada Kamis (27/6) menaikkan peringatan perjalanannya ke tingkat “oranye”, tertinggi kedua.
Advertisement
"Setelah penilaian menyeluruh, pemerintah menganggap perlu meningkatkan peringatan perjalanan di daratan China, Hong Kong dan Makau… dan menyarankan masyarakat untuk menghindari perjalanan yang tidak perlu," kata juru bicara MAC Liang Wen-chieh.
Jika masyarakat Taiwan harus pergi ke China, Liang menyarankan mereka untuk tidak membahas isu-isu sensitif, memotret situs militer, bandara dan pelabuhan, dan "membawa buku-buku yang berkaitan dengan politik, sejarah dan agama".
China mengklaim Taiwan yang demokratis sebagai bagian dari wilayahnya dan menolak mengesampingkan penggunaan kekerasan untuk menjadikan pulau yang mempunyai pemerintahan sendiri itu berada di bawah kendalinya.
Beijing diketahui belum melakukan komunikasi tingkat tinggi dengan Taipei sejak tahun 2016 dan mencap Presiden Taiwan Lai Ching-te sebagai “separatis berbahaya”. Pada hari Senin (24/6), Lai mengatakan China “tidak berhak menghukum” rakyat Taiwan atas pandangan atau dukungan mereka.
Amerika Serikat juga mengkritik pedoman hukuman mati yang diterapkan Beijing. Departemen Luar Negeri AS mengecam “bahasa dan tindakan pejabat RRT (Republik Rakyat China) yang dapat meningkatkan ketegangan dan mengganggu stabilitas.”
Adapun Beijing telah meningkatkan tekanan terhadap Taiwan dalam beberapa tahun terakhir. Setelah pelantikan Lai bulan lalu, China mengadakan latihan militer di sekitar pulau itu.
Perundingan Nuklir Informal Pertama AS dan China dalam 5 Tahun Sorot Janji Tiongkok Hadapi Taiwan Tanpa Nuklir
Taiwan juga jadi pembahasan dalam perundingan senjata nuklir semi-formal antara Amerika Serikat (AS) dan China yang pertama kali dalam lima tahun.
Melansir laporan VOA Indonesia Senin (24/6/2024), dua delegasi AS yang hadir diketahui menyebut para wakil dari Beijing memastikan AS bahwa mereka tidak akan menggunakan ancaman nuklir terhadap Taiwan.
"Perwakilan China memberikan jaminan setelah rekan-rekan mereka dari AS mengungkapkan kekhawatiran bahwa China mungkin akan menggunakan, atau mengancam akan menggunakan, senjata nuklir jika menghadapi kekalahan dalam konflik terkait Taiwan. Beijing menganggap pulau yang diperintah secara demokratis itu sebagai wilayahnya, klaim yang ditolak oleh pemerintah di Taipei," kata pakar David Santoro, penyelenggara perundingan Jalur Dua di AS.
"Mereka mengatakan kepada pihak AS bahwa mereka benar-benar yakin mampu memenangkan pertarungan konvensional atas Taiwan tanpa menggunakan senjata nuklir," imbuh pakar David Santoro.
Pembicaraan Jalur Dua biasanya melibatkan mantan pejabat dan akademisi yang punya kemampuan mumpuni untuk memaparkan tentang kebijakan pemerintah mereka, meskipun mereka tidak berperan langsung dalam proses resmi. Negosiasi antar-pemerintah dikenal Jalur Satu.
Pembicaraan Jalur Dua adalah bagian dari dialog senjata nuklir dan postur selama dua dekade yang terhenti setelah pemerintahan Trump menarik dana pada 2019.
Adapun pihak Washington diwakili oleh sekitar belasan delegasi, termasuk mantan pejabat dan cendekiawan pada diskusi dua hari tersebut, yang berlangsung di ruang konferensi hotel Shanghai.
Beijing mengirimkan delegasi pakar dan analis, termasuk beberapa mantan perwira Tentara Pembebasan Rakyat.
Seorang juru bicara dari Departemen Luar Negeri menyatakan kepada Reuters bahwa mereka melihat potensi manfaat dari perundingan Jalur Dua. Meskipun Departemen tersebut tidak ikut serta dalamnya, seperti yang diungkapkan juru bicara tersebut.
Menurut juru bicara tersebut, diskusi semacam itu tidak dapat menggantikan perundingan formal di mana para peserta harus berbicara dengan kewenangan mengenai isu-isu yang sering kali sangat kompleks di lingkungan pemerintahan, terutama terkait dengan China.
Sejauh ini anggota delegasi China dan kementerian pertahanan Beijing tidak menanggapi permintaan komentar.
Advertisement
Taiwan Deteksi 41 Pesawat China Beroperasi 24 Jam di Sekitar Wilayahnya, Ada Apa?
Sementara itu, Kementerian pertahanan Taiwan mengatakan pada Sabtu (22 Juni 2024) bahwa pihaknya telah mendeteksi 41 pesawat militer China di sekitar pulau itu dalam waktu 24 jam. Sehari setelah Beijing mengatakan pendukung kemerdekaan Taiwan yang keras kepala terancam hukuman mati.
Pada hari Sabtu (22/6), seperti dikutip dari Channel News Asia, Kementerian Pertahanan Taipei mengatakan pihaknya telah mendeteksi 41 pesawat militer Tiongkok dan tujuh kapal angkatan laut yang beroperasi di sekitar Taiwan selama periode 24 jam hingga pukul 6 pagi.
"32 pesawat melintasi garis tengah Selat Taiwan," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan, mengacu pada garis yang membagi dua jalur air sepanjang 180 km yang memisahkan Taiwan dari China.
Kementerian Pertahanan Taipei menambahkan bahwa pihaknya telah "memantau situasi dan memberikan tanggapan yang sesuai".
Serangan terbaru ini terjadi setelah China menerbitkan pedoman peradilan pada hari Jumat (21/6) yang mencakup hukuman mati untuk kasus-kasus yang "sangat serius" terhadap pendukung kemerdekaan Taiwan yang "keras kepala", media pemerintah melaporkan.
Sebelumnya pada tanggal 25 Mei, Taiwan mendeteksi 62 pesawat militer Tiongkok di sekitar pulau itu dalam waktu 24 jam, jumlah tertinggi dalam satu hari pada tahun 2024 -- ketika Tiongkok menggelar latihan militer setelah pelantikan Lai, yang dianggap Beijing sebagai "separatis berbahaya".
Adapun China mengklaim Taiwan yang demokratis dan memiliki pemerintahan mandiri sebagai bagian dari wilayahnya, dan menyatakan bahwa Tiongkok tidak akan pernah berhenti menggunakan kekuatan untuk menjadikan Taiwan berada di bawah kendali Beijing.
Oleh sebab itu, China meningkatkan tekanan terhadap Taipei dalam beberapa tahun terakhir dan mengadakan latihan perang di sekitar pulau itu setelah pelantikan pemimpin baru Taiwan, Lai Ching-te, bulan Mei lalu.
Presiden Taiwan Lai Ching-te Mengaku Tak Akan Tunduk pada Tekanan China
Presiden Taiwan Lai Ching-te mengatakan pada Rabu (19/6/2024) bahwa negaranya tidak akan tunduk pada tekanan China.
Tiongkok mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan mengatakan tidak akan pernah meninggalkan pulau tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah meningkatkan tekanan militer dan politik terhadap pemerintah Taipei dengan unjuk kekuatan terbaru, tiga hari setelah pelantikan Lai, dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (20/6).
Berbicara pada konferensi pers pada Rabu (19/6) yang menandai bulan pertamanya menjabat, Lai mengatakan: "Aneksasi Taiwan adalah kebijakan nasional Republik Rakyat Tiongkok."
"Selain kekuatan militer, mereka semakin menggunakan metode pemaksaan non-tradisional untuk mencoba memaksa Taiwan tunduk," katanya.
"Namun, Taiwan tidak akan tunduk pada tekanan tersebut. Rakyat Taiwan akan dengan tegas membela kedaulatan nasional dan menegakkan cara hidup konstitusional yang demokratis dan bebas."
Ia juga menegaskan kembali bahwa Taiwan akan berusaha "menghindari konflik".
"Orang-orang Taiwan mencintai perdamaian dan bersikap baik kepada orang lain. Tetapi, perdamaian harus didukung oleh kekuatan. Perdamaian sejati bukan sekadar kata-kata kosong, perdamaian yang dijamin oleh kekuatan adalah perdamaian sejati," katanya.
Di sisi lain, China mengatakan bahwa latihan perang merupakan hukuman atas pidato pelantikannya, yang dijuluki Beijing sebagai "pengakuan kemerdekaan Taiwan".
Mengepung Taiwan dengan kapal perang, jet tempur, dan kapal penjaga pantai, Tiongkok mengatakan latihan tiga hari -- yang dijuluki Joint Sword-2024A -- merupakan ujian kemampuannya untuk menguasai pulau itu.
Setelah latihan tersebut, Beijing bersumpah tekanan militer akan terus berlanjut "selama provokasi 'kemerdekaan Taiwan'.
Advertisement