Liputan6.com, Nairobi - Pemimpin sekte sesat Kenya, Paul Nthenge Mackenzie, diadili di pengadilan di kota pelabuhan Samudera Hindia Mombasa bersama 94 pendampingnya. Mereka semua semua menolak bersalah terhadap tuntutan terorisme pada sidang bulan Januari.
Mackenzie, yang ditangkap pada April tahun lalu, didakwa telah menggalang para pengikutnya untuk mati kelaparan agar "bertemu dengan Yesus".
Baca Juga
Dilansir The Guardian, Selasa (9/7/2024), mereka juga menghadapi tuntutan pembunuhan, penculikan, dan kekerasan terhadap anak-anak dalam kasus berbeda.
Advertisement
Pemimpin sekte itu diadili atas temuan lebih dari 400 jasad di hutan Shakahola, yang terletak di pedalaman dari kota pantai Malindi di Samudera Hindia. Kasus ini dikenal sebagai "Pembunuhan Hutan Shakahola".
Hasil otopsi menemukan bahwa untuk sementara, penyebab kematian utama seluruh korban adalah kelaparan. Beberapa dari mereka, termasuk anak-anak, telah disetrum dan dipukul.
Dokumen pengadilan sebelumnya juga mengatakan bahwa beberapa organ dalam sejumlah korban telah diambil.
Mackenzie, seorang mantan sopir taksi, menyerahkan diri pada 14 April 2023 setelah polisi mendapat informasi pertama kali soal hutan Shakahola, tempat kuburan massal ditemukan.
Reformasi Hukum untuk Aliran Agama
Pada bulan Maret, otoritas mulai merilis beberapa jasad korban kepada kerabat korban setelah berupaya mengidentifikasi mereka menggunakan DNA selama berbulan-bulan.
Sejumlah pertanyaan pun muncul tentang bagaimana Mackenzie, yang mengklaim dirinya sendiri sebagai pastor dengan sejarah ekstremisme, dapat menghindari penindakan meskipun kasusnya telah banyak diketahui.
Menteri Dalam Negeri, Kithure Kindiki, tahun lalu mengatakan bahwa polisi Kenya terlalu longgar dalam menginvestigasi laporan awal kasus tersebut.
"Pembunuhan Shakahola adalah pelanggaran terburuk terhadap keamanan dalam sejarah negara kita," katanya kepada komite senat.
Ia berjanji untuk "melakukan reformasi hukum untuk mengatur pendeta-pendeta yang tidak bertanggung jawab".
Advertisement
Presiden Turun Tangan
Presiden Kenya William Ruto telah berjanji untuk turun tangan dalam menangani kasus berkedok agama.
Di Kenya yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, kisah ini menyoroti kegagalan upaya pemerintah mengatur gereja-gereja dan aliran sesat yang tidak bermoral dan terlibat dalam kriminalitas.