Liputan6.com, Kampala -- Pengadilan Uganda telah menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada seorang pria berusia 24 tahun karena menghina presiden dan keluarga orang nomor satu di negeri itu melalui videonya yang diposting di TikTok.
Edward Awebwa didakwa melakukan ujaran kebencian dan menyebarkan informasi yang "menyesatkan dan jahat" terhadap Presiden Yoweri Museveni, Ibu Negara Janet Museveni dan putranya Muhoozi Kainerugaba, yang merupakan panglima militer.
Baca Juga
Pengadilan juga mendengar bahwa Awebwa telah menyebarkan informasi yang kasar - mengatakan akan ada kenaikan pajak di bawah pemerintahan Presiden Uganda Museveni.
Advertisement
Dia telah mengaku bersalah dan meminta pengampunan.
Hakim ketua mengatakan bahwa meskipun dia memohon belas kasihan, dia tidak terlihat menyesali tindakannya, dan kata-kata yang digunakan dalam video tersebut "sangat vulgar".
"Terdakwa layak mendapatkan hukuman yang memungkinkan dia belajar dari masa lalunya sehingga di lain waktu dia akan menghormati sosok presiden, ibu negara, dan putra pertama," kata hakim Stella Maris Amabilis seperti dikutip dari BBC, Jumat (12/7/2024).
Dia dijatuhi hukuman enam tahun untuk masing-masing dari empat dakwaan terhadapnya, yang dijalankan secara bersamaan.
Kelompok hak asasi manusia sering mengecam pihak berwenang Uganda atas pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
Tuduhan Penghinaan Presiden Lainnya
Pada tahun 2022, penulis Uganda pemenang penghargaan Kakwenza Rukirabashaija didakwa dengan dua tuduhan “komunikasi ofensif” setelah membuat pernyataan tidak menyenangkan tentang presiden dan putranya di Twitter.
Dia meninggalkan negaranya ke Jerman setelah menghabiskan satu bulan di penjara, di mana dia mengaku telah disiksa.
Aktivis dan penulis Stella Nyanzi, yang juga berada di pengasingan, sebelumnya telah dipenjara setelah menerbitkan puisi yang mengkritik Museveni.
Presiden Museveni berkuasa sejak 1986 - 14 tahun sebelum Awebwa lahir.
Pada tahun 2022 ia menandatangani undang-undang yang menentang kebebasan berpendapat yang dikritik oleh kelompok hak asasi manusia, dengan mengatakan bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk menekan kebebasan berbicara online.
Tahun 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa satu bagian dari undang-undang yang menghukum “komunikasi yang menyinggung” adalah inkonstitusional.
Pengacara hak asasi manusia Uganda Michael Aboneka mengatakan Awebwa telah didakwa berdasarkan undang-undang yang lebih luas yang masih mereka permasalahkan di pengadilan karena “peraturan tersebut tidak jelas”.
Dia mengatakan kepada program BBC Newsday bahwa presiden dan keluarganya akan dikritik “dari sudut mana pun”.
"Kecuali jika mereka mengatakan bahwa mereka akan menangkap setiap warga Uganda karena mengkritik mereka dalam setiap hal," kata Aboneka.
Advertisement
Posting Media Sosial Dianggap Hina Agama dan Keadilan Raja Salman, Guru di Arab Saudi Divonis Penjara 20 Tahun
Sementara itu, seorang guru di Arab Saudi dijatuhi hukuman 20 tahun penjara kepada gara-gara aktivitas media sosialnya.
Asaad bin Nasser Al-Ghamdi, seperti dikutip dari pemberitaan Middle East Monitor Selasa (25/6/2024), divonis bersalah atas tuduhan terkait aktivitas media sosialnya, termasuk tuduhan menghina agama dan keadilan Raja Salman, mendukung gagasan teroris, berupaya mengacaukan sistem, dan membahayakan persatuan nasional.
Semua itu bermula dari penangkapan Asaad bin Nasser Al-Ghamdi terkait cuitan di akun Twitter pribadinya, yang ingin ditutup oleh Jaksa Penuntut Umum. Di antara tweet yang dianggap sebagai bukti yang memberatkannya adalah tweet yang menyatakan belasungkawa kepada Dr Abdullah Al-Hamid, pendiri the Saudi Civil and Political Rights Association (HASM) atau Asosiasi Hak Sipil dan Politik Saudi (HASM). Al-Ghamdi juga mengkritik proyek Visi 2030 dan transformasi di Kerajaan serta pengabaian pihak berwenang terhadap aliansi agama lama.
Partai oposisi Saudi National Assembly Party (Majelis Nasional Saudi) mengecam Pengadilan Kriminal Khusus di Riyadh karena menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada guru Asaad bin Nasser Al-Ghamdi, disertai dengan larangan bepergian, menurut laporan Kantor Pers Yaman.
Al-Ghamdi, yang sudah ditahan selama satu setengah tahun, dilaporkan terus menerus disiksa dan diabaikan secara medis di penjara Dhahban dan Al-Hayer. Partai tersebut mengklaim bahwa dia diberi obat yang mempengaruhi kondisi mentalnya, sehingga menyebabkan penurunan kesehatan yang nyata.
Akibat Hina Raja, Musisi dan Anggota Parlemen di Thailand Dijatuhi Hukuman Penjara
Di penjuru lainnya, pengadilan Thailand menjatuhkan hukuman penjara pada Senin (27/5/2024), terhadap seorang aktivis musisi yang membakar potret raja dan seorang anggota parlemen oposisi karena menghina monarki.
Musisi dan anggota parlemen tersebut telah melanggar undang-undang lese-majeste Thailand, salah satu undang-undang yang paling ketat di dunia, yang melindungi monarki dari kritik dan membawa hukuman hingga 15 tahun penjara untuk setiap pelanggaran.
Dilansir CNA, Rabu (29/5/2024), Chonthicha Jangrew (31) seorang anggota parlemen dari Partai Move Forward, menerima masa jabatan dua tahun karena pidatonya yang dibuat pada tahun 2021 di sebuah protes anti-pemerintah. Dia membantah tuduhan tersebut dan diberi jaminan sambil menunggu banding. Hal ini diungkapkan oleh pengacaranya, Marisa Pidsaya kepada Reuters.
Sementara itu, hukuman empat tahun penjara dijatuhkan kepada musisi Chaiamorn Kaewwiboonpan (35) karena membakar potret Raja Maha Vajiralongkorn.
Chaiamorn, yang dinyatakan bersalah karena melakukan pembakaran foto raja, membantah tuduhan tersebut dan mengatakan dia melakukannya untuk melampiaskan rasa frustrasinya atas penahanan sesama aktivis atas tuduhan penghinaan terhadap kerajaan.
Kelompok bantuan hukum Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand mengatakan Chaiamorn juga diberikan jaminan dan bermaksud mengajukan banding.
Pengadilan belum mengeluarkan pernyataan mengenai hukuman tersebut. Namun, Istana biasanya tidak mengomentari undang-undang tersebut.
Menurut kelompok bantuan hukum Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand, lebih dari 272 orang telah didakwa berdasarkan undang-undang lese-majeste sejak tahun 2020, dan 17 orang ditahan sebelum persidangan.
Advertisement