Sukses

Pengamat: Masyarakat Amerika Serikat Semakin Mentolerir Kekerasan Politik

Pengamat menilai lewat kasus penembakan Donald Trump, masyarakat Amerika Serikat semakin mentolerir kekerasan politik.

Liputan6.com, Jakarta - Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat Didin Nasirudin menyoroti kasus penembakan mantan presiden AS Donald Trump saat menyampaikan kampanye di Butler, Pennsylvania pada Sabtu (13/7/2024).

Didin Nasirudin menyebut lewat kasus ini masyarakat Amerika Serikat semakin mentolerir kekerasan politik.

Ia menilai retorika kekerasan yang turut dikontribusikan Trump telah mendorong reaksi serupa dari kubu Partai Demokrat dan memicu munculnya sikap permisif tehadap tindak kekerasan dalam arena politik AS.

Didin Nasirudin bahkan menggambarkan situasi yang telah dibangun oleh Trump dalam sebuah peribahasa.

"Siapa menabur angin, akan menuai badai," kata Didin Nasirudin.

Didin Nasirudin mengatakan, Amerika Serikat beberapa kali mengalami tragedi pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap presiden atau kandidat presiden dan mayoritas korban adalah politisi Partai Republik.

Hal ini sangat ironis karena Partai Republik sangat getol memperjuangkan Amandemen Kedua (Second Amendment) konstitusi AS terkait kebebasan kepemilikan senjata api.

"Trump sendiri kerap memprovokasi pendukung fanatiknya untuk melakukan tindakan kekerasan seperti penyerbuan Capitol Hill di mana sebagian pelaku penyerbuan meneriakan kata-kata 'Gantung Mike Pence' karena wapresnya yang juga merangkap Presiden Senat pada 2020 itu menolak keinginan Trump untuk membatalkan kemenangan Joe Biden di pilpres, pada sidang pleno Kongres 6 Januari 2021."

"Insiden lainnya adalah percobaan penculikan Gubernur Michigan Gretchen Whitmer dan mantan Ketua DPR Nancy Pelosi oleh para pendukung fanantik Donald Trump."

Jadi menurut Didin Nasirudin, percobaan pembunuhan Trump di Pennsylvania erat kaitannya dengan peribahasa: "Siapa menabur angin, akan menuai badai."

"Mungkin tepat digunakan untuk kasis ini," kata Didin.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masyarakat AS Semakin Memtolerir Kekerasan Politik

Didin menyebut, retorika kekerasan yang turut dikontribusikan Trump telah mendorong reaksi serupa dari kubu Partai Demokrat dan memicu munculnya sikap permisif tehadap tindak kekerasan dalam arena politik AS.

Studi bertajuk The Dangers to Democracy report oleh pusat studi Chicago Project on Security & Threat di the University of Chicago pada Juni 2023 yang dilansir The Guardian menunjukan semakin banyak masyarakat AS mendukung kekerasan politik.

Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di kubu pendukung Partai Republik tapi juga Partai Demokrat.

Di kubu Partai Republik, 18 juta orang dewasa atau 7 persen populasi membenarkan tindak kekerasan untuk mengembalikan Trump ke Gedung Putih, kata Didin.

Di kubu Partai Demokrat, studi tersebut menunjukkan, 44 juta warga dewasa atau 17 persen populasi mendukung penggunaan kekerasan untuk memaksa anggota Kongres melakukan hal yang benar.

Dukungan penggunaan kekerasan untuk memulihkan hak aborsi di tingkat pemerintah Federal juga meningkat.

Meningkatnya sikap permisif terhadap kekerasan politik tidak terlepas dari meningkatnya polarisasi politik di Amerika Serikat.

Menurut hasil riset Pew Research Center pada 2023, saat ini kurang dari separo masyarakat AS yang mengaku bisa berkompromi terkait isu-isu penting.

Untuk isu-isu paling krusial seperti aborsi, imigrasi dan kebijakan soal senjata api, polarisasi sangat kental. Hanya 18 persen masyarakat mengaku bisa berkompromi dalam isu aborsi, 19 persen untuk kebijakan soal senjata api dan 21 persen untuk isu imigrasi Dampak Terhadap Pipres 2024

 

3 dari 4 halaman

Efek Rally Around the Flag

Didin Nasirudin juga menyebut bahwa sejumlah pihak meyakini, percobaan pembunuhan Trump yang diabadikan dengan foto-foto yang dramatis menjadi 'skakmat' bagi Trump dalam pilpres tahun ini.

Alasan mereka, efek "Rally Around the Flag" akan membuat dukungan publik AS terhadap Trump meningkat tajam seperti yang terjadi pasca penembakan Presiden John F. Kennedy dan Ronald Reagan.

JFK menang dalam pilpres 1960 mengalahkan pesaingnya dari Partai Republik, Richard Nixon, dengan hasil tidak terlalu mengesankan dengan suara elektoral 303 vs. 219.

Pembunuhan JFK di akhir tahun ketiga masa jabatannya, otomatis membuat wapres Lyndon B. Johnson menjadi plt Presiden AS.

Didin menyebut, LBJ menjadi pihak yang menerima efek Rally Around the Flag akibat kematian JFK, sehingga ketika maju di pilpres pada 1964 melawan Barry Goldwater dari Partai Republik, LBJ menang sangat telak dengan meraih suara elektoral 486 vs 52.

Hal serupa diungkapkan oleh Didin dengan apa yang dialami oleh Ronald Reagan.

"Ketika mengalahkan calon petahana Partai Demokrat, Jimmy Carter, dan calon independen, John B. Anderson, pada pilpres 1980, Reagan sukses meraih suara elektoral 489 vs 52 dan menang di 44 negara bagian," kata Didin.

Percobaan pembunuhan pada Maret 1981 meningkatkan job approval Reagan dari 60 persen menjadi 70 persen. menurut Gallup.

Ketika maju lagi di pilpres 1984 melawan Woltare Mondale, Reagan menyapu bersih hampir semua negara bagian kecuali Minnesota tempat kelahiran Mondale, dan DC, sehingga meraih 525 vs 12 suara elektoral.

"Ketika Trump berucap pasca penembakan 'It was God alone who prevented the unthinkable from happening' dalam Truth Social, dia seperti berusaha meniru ucapan Reagan yang disampaikan secara privat bahwa 'Tuhan telah menyelamatkan jiwanya' dan berharap akan meraih efek Rally Around the Flag yang signifikan," kata Didin Nasirudin.

"Tapi dengan AS yang sudah terpolarisas, kedua kubu semakin mentolelir aksi kekerasan politik, dan jumlah swing voters hanya 5-10 persen saja menurut sejumlah riset, peningkatan dukungan drastis seperti yang diterima Reagan kemunkinan tidak akan diraih oleh Trump."

"Apalagi beberapa petinggi Partai Demokrat seperti Gretchen Whitmer dan Nancy Pelosi sebelumnya mengalami percobaan penculikan atau aksi kekerasan yang dilakukan oleh pendukung Trump, dan pelaku penembakan Trump,Thomas Matthew Crooks, terdaftar sebagai anggota Partai Republik."

4 dari 4 halaman

Pilpres AS Masuk Era dengan Kemenangan Marjin Tipis

Didin Nasirudin menyebut, meskipun demikian AS saat ini memasuki era low-margin victory politics, artinya kemenangan di pilpres diraih dengan marjin yang sangat tipis di swing states seperti pada pilpres 2016 dan 2020.

"Jadi jika Trump bisa menang tipis saja di Pennsylvania, Michigan atau Wisconsin, mimpi Biden untuk menjadi presiden dua periode pupus sudah. Alasannya, prediksi berbasis poling maupun non-poling menyebut Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin menjadi jalur kemenangan untuk Biden satunya untuk terpilih kembali dengan meraih suara elektoral pas-pasan 270."

"Tapi sebaliknya, jika Partai Demokrat bisa memframing aksi percobaan pembunuhan Trump sebagai efek dari retorika kekerasan Trump dan kebijakan Partai Republik yang melonggarkan kepemilikan senjata api, Biden masih punya peluang asal bisa mempertahankan ketiga negara bagian Blue Wall tersebut."

"Apalagi Pennsylvania adalah tempat kelahiran Biden. Carter dan Mondale yang kalah telak oleh Reagan di 1980 dan 1984 masih menang di negara bagian Georgia dan Minnesota tempat kelahiran masing-masing."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.