Sukses

Kondisi Gaza Makin Memprihatinkan, Kesehatan Mental Anak-anak Ikut Terdampak

Para pengungsi anak di Gaza merasakan trauma mendalam, terlebih sejak perang Israel Vs Hamas kian intensif.

Liputan6.com, Gaza - Perang antara Israel dan Hamas di Gaza masih belum menampakkan tanda-tanda berakhir. Kehancuran infrastruktur paling dirasakan warga Palestina, selain kehilangan nyawa orang-orang yang mereka cintai akibat serangan bom tanpa peringatan.

Belakangan kondisi mental mereka yang terdampak perang Israel vs Hamas jadi sorotan. Sebab tak hanya orang dewasa, melainkan juga anak-anak tak berdosa.

Adalah kisah Nabila Hamada yang diulas VOA Indonesia. Dalam kisah yang dikutip Sabtu (20/7/2024), Hamada dikisahkan melahirkan putra kembarnya di Gaza pada awal perang, di sebuah rumah sakit yang dipenuhi pengungsi dan aroma busuk yang berasal dari jenazah para korban.

Ketika pasukan Israel mengancam rumah sakit tempat Hamada melahirkan, ia dan suaminya pergi menyelamatkan diri dengan hanya membawa salah satu bayi mereka, karena staf rumah sakit mengatakan bayi satunya terlalu lemah untuk dibawa pergi.

Tak lama setelahnya, rumah sakit terbesar di Gaza itu digerebek oleh pasukan Israel.

Sejak itu, ia pun tidak pernah melihat lagi putranya yang ditinggal di rumah sakit tersebut.

Trauma kehilangan sang putra membuat Hamada yang berusia 40 tahun merasa sangat takut kehilangan putra kembarnya yang lain, sampai-sampai ia bergeming dan tidak siap menghadapi beban sehari-hari untuk menyelamatkan diri.

"Saya tidak bisa merawat anak-anak saya yang lain, yang lebih tua, atau memberi mereka kasih sayang yang mereka butuhkan,” imbuhnya.

Hamada adalah satu di antara ratusan ribu warga Palestina yang kesulitan merawat kesehatan mental mereka setelah sembilan bulan terkepung perang. Trauma yang dirasakan tak kunjung berhenti.

Orang-orang di Gaza harus menghadapi kematian keluarga dan kerabat dalam serangan bom Israel.

Mereka sendiri terluka atau mengalami kecacatan.

Mereka berkerumun di dalam rumah atau tenda di tengah perang yang berkecamuk, yang memaksa mereka pergi menyelamatkan diri berulang kali, tanpa tempat aman untuk memulihkan diri.

2 dari 3 halaman

Merasa Cemas

Kecemasan, ketakutan, depresi, kurang tidur, amarah dan agresi menjadi lazim, kata para pakar dan praktisi kepada The Associated Press.

Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan, terutama karena banyak orang tua yang kesulitan menjaga diri mereka sendiri.

Tak banyak sumber daya yang tersedia yang bisa membantu warga Palestina mencerna apa yang sedang mereka alami.

Praktisi kesehatan mental mengatakan, kekacauan dan banyaknya orang yang mengalami trauma membatasi kemampuan mereka untuk memberikan bantuan sepenuhnya.

Oleh karena itu, mereka pun menawarkan suatu bentuk “pertolongan psikologis pertama” untuk memitigasi gejala-gejala paling buruk.

“Ada sekitar 1,2 juta anak yang membutuhkan dukungan kesehatan mental dan psikososial. Ini pada dasarnya berarti hampir semua anak di Gaza,” kata Ulrike Julia Wendt, koordinator perlindungan darurat anak dari Komite Penyelamatan Internasional.

3 dari 3 halaman

Anak-anak Rasakan Trauma

Wendt telah mengunjungi Gaza sejak perang kembali pecah di wilayah tersebut.

Ia mengatakan, program sederhana, seperti waktu bermain dan kelas seni rupa, bisa sangat membantu: “Tujuannya untuk menunjukkan kepada mereka bahwa yang terjadi bukan hanya hal-hal buruk.”

Pengungsian yang dijalani berkali-kali juga memupuk trauma, di mana sekitar 1,9 juta dari total 2,3 juta orang di Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri.

Sebagian besar dari mereka tinggal di kamp tenda yang kumuh dan kesulitan mendapatkan makanan dan air.

Jehad El Hams, yang mengungsi ke Khan Younis, mengaku kehilangan mata kanan dan jari-jemari tangan kanannya ketika ia memungut sesuatu yang ia kira kaleng makanan.

Benda itu ternyata sebuah alat peledak yang kemudian meledak.

Anak-anaknya hampir terkena ledakan saat itu.

Sejak saat itu, ia susah tidur dan mengalami disorientasi.