Sukses

Turki Ancam Invasi Israel

Presiden Recep Tayyip Erdogan dari Turki mengancam akan menginvasi Israel terkait perang di Gaza saat ketegangan regional meningkat. Pejabat Israel mengisyaratkan Erdogan dapat menghadapi nasib yang sama seperti Saddam Hussein dari Irak.

Liputan6.com, Ankara - Pemimpin Turki pada hari Minggu (28/7/2024) mengancam akan melakukan intervensi militer di Israel untuk menghentikan perang Yerusalem di Gaza, dalam eskalasi retorika yang signifikan dari militer terbesar kedua NATO.

Dalam pertemuan dengan Partai AKP, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan Turki "harus sangat kuat sehingga Israel tidak dapat melakukan hal-hal konyol ini ke Palestina."

"Sama seperti kita memasuki Karabakh, sama seperti kita memasuki Libya, kita mungkin melakukan hal yang sama kepada mereka," kata Erdogan, menurut laporan Reuters.

Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, membalas dengan pernyataan pedas dan menyatakan bahwa Erdoğan akan mengalami nasib yang sama mematikannya dengan mantan presiden Irak, Saddam Hussein, yang dieksekusi dengan cara digantung pada tahun 2006.

"Erdogan mengikuti jejak Saddam Hussein dan mengancam akan menyerang Israel. Biarkan saja dia mengingat apa yang terjadi di sana dan bagaimana itu berakhir," kata Katz dalam sebuah pesan yang diunggah ke X yang menyertakan foto Erdogan dan mantan pemimpin Irak tersebut.

Fox News Digital yang dikutip Rabu (31/7/2024) belum mendapat respons dari Departemen Luar Negeri AS, Kedutaan Besar Turki di Washington, D.C., atau NATO untuk memberikan komentar tentang cara mereka berupaya meredakan ketegangan antara negara NATO tersebut dan sekutu utama Barat di Timur Tengah.

Sementara itu, situs Politico.eu mengatakan Menlu Israel, Israel Katz, menuntut NATO mengusir Turki atas ancaman Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk mengirim pasukan ke Israel.

“Mengingat ancaman Presiden Turki Erdogan untuk invasi Israel dan retorikanya yang berbahaya, Menteri Luar Negeri Israel Katz menginstruksikan para diplomat … untuk segera terlibat dengan semua anggota NATO, menyerukan kutukan terhadap Turki dan menuntut pengusirannya dari aliansi regional tersebut,” kata kementerian luar negeri Israel pada hari Senin (29/7).

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ancaman Turki Saat Israel Hadapi Peningkatan Agresi Hamas, Houthi dan Hizbullah

Ancaman yang dilontarkan oleh presiden Turki tersebut muncul saat Israel menghadapi peningkatan agresi dari militan Islam yang didukung Iran, termasuk kelompok teroris Hamas, Houthi, dan Hizbullah.

Erdogan tidak merinci apa saja yang akan dilakukan Turki dalam intervensi militer, meskipun ia telah berulang kali mengkritik keras perang di Gaza.

"Tidak ada alasan mengapa kita tidak bisa melakukan ini...Kita harus kuat agar dapat mengambil langkah-langkah ini," kata Erdogan kepada pejabat Partai AKP.

Pemimpin Turki tersebut sepertinya merujuk pada aksi militer yang dilakukan Ankara, ibu kota Turki, pada tahun 2020 ketika negara itu mengirim pasukan untuk membela Pemerintah Kesepakatan Nasional Libya yang diakui PBB di tengah perang saudara yang pertama kali meletus pada tahun 2014.

Turki telah membantah terlibat langsung dalam aksi militer Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh, tempat negara itu mengklaim tengah melakukan operasi "antiteror" terhadap pemberontak Armenia. Meskipun pada tahun 2023, Ankara dilaporkan mengatakan bahwa pihaknya menggunakan "segala cara" untuk mendukung sekutunya, termasuk melalui pelatihan militer.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu belum menanggapi komentar Erdogan secara terbuka, meskipun ia dan pemimpin Turki tersebut telah secara rutin saling melontarkan sindiran tajam selama bertahun-tahun.

Baik Netanyahu maupun Erdogan telah membandingkan satu sama lain dengan Adolf Hitler terkait perang Turki yang berlangsung lama melawan militan Kurdi dan tindakan permusuhan Israel terhadap Palestina.

3 dari 3 halaman

Turki Memiliki Angkatan Darat Terbesar Kedua di NATO

Turki bergabung dengan NATO pada tahun 1952 dan memiliki angkatan darat terbesar kedua di aliansi tersebut. NATO tidak memiliki mekanisme khusus untuk menangguhkan atau mengeluarkan anggota, meskipun anggota dapat mengundurkan diri secara sukarela.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg menepis kemungkinan menciptakan mekanisme seperti itu pada tahun 2021, dengan mengatakan hal itu "tidak akan pernah terjadi."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini