Sukses

Nicolas Maduro Klaim Kemenangan di Pilpres Venezuela, Aktivis Khawatir Kebebasan Pers Makin Buruk

Para aktivis menyebut, jurnalisme di Venezuela telah berada di bawah tekanan, diserang langsung oleh rezim Maduro

Liputan6.com, Caracas - Presiden Venezuela Nicolas Maduro sudah menyampaikan klaim kemenangannya dalam pinpres tahun ini. Namun, bagi sebagian orang, kemenangannya mengancam dan akan semakin mengikis kebebasan pers di negara tersebut, ujar lembaga pengawas hak-hak media, Reporters Without Borders.

“Selama beberapa dekade, jurnalisme di Venezuela telah berada di bawah tekanan, diserang, di bawah sensor langsung oleh rezim Maduro,” kata direktur regional kelompok itu, Artur Romeu.

“Tidak ada kebebasan pers di Venezuela dalam jangka waktu lama, tetapi kondisi saat ini membuat kami percaya bahwa itu bisa menjadi lebih buruk, jika tidak ada rasa saling percaya,” katanya kepada AFP, dalam sebuah wawancara di Guatemala.

“Konteksnya adalah mengecilnya ekosistem berita. Banyak outlet media telah menghilang,” kata Romeu, dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (2/8/2024).

Beberapa orang tewas dan puluhan lainnya terluka, ketika pihak berwenang membubarkan protes terhadap klaim kemenangan Maduro dalam pemilu yang digelar pada Minggu (28/7).

Sejumlah survei independen telah memperkirakan, pemungutan suara tersebut akan mengakhiri 25 tahun Chavismo, gerakan populis yang didirikan oleh pendahulu dan mentor Maduro beraliran sosialis, mendiang Hugo Chavez.

“Jika pemilihan umum diadakan dengan banyak tuduhan penipuan serius, dengan banyak ketidakpercayaan, sulit untuk membayangkan konteks di mana jurnalisme dapat menjadi lebih dinamis, lebih hadir, dan melakukan tugasnya dengan cara yang lebih terstruktur,” kata Romeu.

“Benar-benar tidak ada optimisme. Sulit untuk memiliki harapan,” tambahnya.

2 dari 2 halaman

Kekhawatiran Serupa di Nikaragua

Romeu juga menyuarakan kekhawatiran tentang situasi di Nikaragua, di mana Presiden Daniel Ortega telah mengasingkan dan memenjarakan para pembangkang dan pesaingnya, sejak kembali berkuasa pada 2007.

Sekitar 260 jurnalis dari negara Amerika Tengah tersebut telah dipaksa mengasingkan diri, menurut para pegiat hak media.

“Nikaragua adalah negara Amerika Latin yang saat ini mungkin mengalami situasi terburuk dalam hal kebebasan pers. Saya mengatakannya dalam sudut pandang hak asasi manusia secara umum,” kata Romeu.

“Situasi di Nikaragua dalam hal hak asasi manusia dan khususnya kebebasan pers layaknya film horor. Pemerintah secara sistematis mencampuri, setiap harinya, arus informasi dalam segala bentuknya, yang berdampak pada proses jurnalistik setiap saat,” tambahnya.