Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada hari Kamis (8/8) bahwa ia "menyesali" bahwa Hamas dapat melakukan serangan 7 Oktober 2023, tanpa secara eksplisit mengambil tanggung jawab.
Benjamin Netanyahu, yang menolak untuk meminta maaf atas kegagalan keamanan atas serangan terburuk Israel dan berfokus pada penghancuran Hamas, ditanya apakah ia akan meminta maaf selama wawancara dengan majalah Time.
Baca Juga
"Minta maaf?" katanya.
Advertisement
"Tentu saja, tentu saja. Saya minta maaf, sangat menyesal, bahwa sesuatu seperti ini terjadi. Dan Anda selalu melihat ke belakang dan berkata, 'Bisakah kita melakukan hal-hal yang dapat mencegahnya?'," kata PM Israel itu.
Pemimpin sayap kanan tersebut adalah perdana menteri Israel yang paling lama menjabat dan telah lama menyebut dirinya sebagai pelindung setia keamanan Israel.
Tak lama setelah serangan 7 Oktober 2023, Netanyahu diketahui memposting di media sosial bahwa badan intelijen telah gagal mengantisipasi operasi Hamas dan memperingatkannya. Kendati demikian dia menghapus dan meminta maaf atas unggahan itu setelah banyak orang Israel menuduhnya mengalihkan kesalahan dan membahayakan persatuan nasional.
Israel Serang 2 Sekolah di Gaza Tewaskan 18 Orang, Klaim Targetkan Pusat Komando Hamas
Sementara itu, di tengah sorotan atas pernyataan PM Benjamin Netanyahu, Badan pertahanan sipil Gaza mengatakan serangan Israel menghantam dua sekolah di Kota Gaza pada hari Kamis (8/8/2024), menewaskan lebih dari 18 orang, sementara militer Israel mengatakan serangan itu menghantam pusat komando Hamas.
"Pendudukan Israel menewaskan lebih dari 18 warga dalam serangan terhadap dua sekolah," kata pejabat senior badan tersebut Mohammad al-Mughayyir kepada AFP yang dikutip Jumat (9/8), mengacu pada sekolah Al-Zahra dan Abdel Fattah Hamoud di Kota Gaza.
Mughayyir mengatakan 60 orang juga terluka dan lebih dari 40 orang masih hilang. "Ini adalah penargetan yang jelas terhadap sekolah dan fasilitas sipil yang aman di Jalur Gaza," katanya.
Adapun militer Israel mengatakan sekolah-sekolah tersebut menampung pusat komando Hamas.
"Kompleks sekolah tersebut digunakan oleh teroris dan komandan Hamas ... dari mana mereka merencanakan dan melakukan serangan," kata militer dalam sebuah pernyataan.
Sebelumnya, serangan udara Israel pada hari Sabtu (27/7) menghantam sebuah sekolah yang digunakan oleh para pengungsi di Jalur Gaza tengah.
Setidaknya 30 orang yang berlindung di sekolah perempuan di Deir Al-Balah dibawa ke Rumah Sakit Al Aqsa dan dinyatakan meninggal setelah serangan, yang menurut militer Israel (IDF), menargetkan pusat komando dan kendali Hamas yang digunakan untuk menyimpan senjata dan merencanakan serangan.
Saat itu mereka juga mengklaim bahwa Hamas menggunakan kompleks itu sebagai tempat persembunyian untuk mengarahkan dan merencanakan berbagai serangan terhadap pasukan IDF serta mengembangkan dan menyimpan sejumlah besar senjata di dalamnya. Demikian seperti dilansir kantor berita AP.
Israel Prioritaskan Memberangus Hamas daripada Pembebasan Sandera?
Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan paling mematikan dalam sejarah Israel. Sebanyak 1.198 orang tewas, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka resmi Israel.
Militan Palestina menyandera 251 orang, 111 di antaranya masih ditahan di Gaza, termasuk 39 orang yang menurut militer Israel telah tewas.
Kampanye militer balasan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 39.677 orang, menurut kementerian kesehatan wilayah itu, yang tidak memberikan rincian kematian warga sipil dan militan.
Netanyahu menegaskan kembali bahwa tujuan perang Gaza adalah untuk melenyapkan Hamas sehingga tidak menimbulkan ancaman apa pun bagi Israel di masa mendatang.
Ketika ditanya apakah ia bersedia menerima kesepakatan gencatan senjata yang akan membebaskan semua sandera, tetapi tidak akan mengakhiri kendali Hamas atas Jalur Gaza, ia berkata, "Tidak, saya tidak berpikir demikian."
"Dan saya pikir ada konsensus luas di Israel bahwa jika kita melakukan itu, kita hanya akan mengalami pengulangan. Akan ada penyanderaan di masa mendatang, akan ada 7 Oktober mendatang, dan hal-hal yang lebih buruk yang sebenarnya dapat terjadi."
"Satu-satunya pilihan bagi Israel adalah mencapai kedua tujuan: Membebaskan semua sandera dan memenangkan perang."
Advertisement
Perang Akan Berakhir?
Adapun PM Benjamin Netanyahu mengatakan kepada The Times bahwa ia "ingin mengakhiri perang," dan bahwa ia akan melakukannya "besok, jika saya bisa," tetapi penting bagi Hamas untuk kehilangan Gaza.
"Mengapa kita membutuhkan itu? Karena Hamas, daerah kantong Hamas, daerah kantong teroris Iran, berjarak 40 mil dari Tel Aviv, oke? Membiarkan mereka tetap di tempatnya tidak hanya berarti mereka akan mampu mengulangi kebiadaban 7 Oktober, tetapi juga melampaui itu,” kata Netanyahu.
“Ketika mereka bertindak serempak dengan poros teror Iran, dengan Hizbullah di utara, dengan Houthi dan pihak lain yang menembaki kita secara bersamaan, itu adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.”
Pembunuhan Haniyeh
Israel juga disorot atas tudingan pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh yang tewas dibunuh minggu lalu saat berada di Iran. Meskipun pejabat Israel belum mengaku bertanggung jawab, Iran menyalahkan Israel atas pembunuhan itu dan telah bersumpah untuk memberikan tanggapan.
“Saya telah mengatakan bahwa kami tidak akan mengomentari itu, dan saya belum mengubah pandangan saya,” kata PM Netanyahu yang menolak berkomentar apakah Israel berada di balik pembunuhannya.
PM Netanyahu juga menolak klaim bahwa Israel meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut untuk menyabotase kesepakatan gencatan senjata, dengan mengatakan bahwa penting untuk menunjukkan kepada Iran bahwa "kami bukan domba."
“Kita dihadapkan dengan jerat kematian yang Iran coba pasang di leher kita, dan saya pikir pesan yang kita kirim, 360 derajat, adalah bahwa kita tidak akan menjadi domba yang digiring ke pembantaian. Israel bukanlah domba pengorbanan bagi Iran atau bagi proksi mereka."
Advertisement