Sukses

Dino Patti Djalal: Dunia Ini Serasa Neraka Bocor!

Dino Patti Djalal menyebut bahwa dunia harus mencapai target sesuai perjanjian Paris untuk mengurangi emisi dan memperlambat laju pemanasan Bumi.

Liputan6.com, Jakarta - Dunia sedang tak baik-baik saja, hal itu terjadi akibat peningkatan suhu Bumi yang melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius. Pemanasan global terjadi di mana-mana. Perubahan iklim disebut jadi biang kerok masalah tersebut.

"Kita banyak melihat masalah-masalah nasional dan masalah internasional. Ada mengenai pengungsi, ada yang mengenai perdagangan, investasi, migran, segala macam, dan isu perubahan iklim ini biangnya dari semua isu ini. Maha isu istilahnya, jadi super structure," ujar pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal kepada Liputan6.com dalam program Climate Talk edisi khusus beberapa waktu lalu.

"Jadi di perubahan iklim ini pembangunan, kesejahteraan, keadilan, perdamaian, konflik, semuanya itu dinaungi di bawah perubahan iklim ini," sambungnya.

Mengutip Mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup di Era Presiden Soeharto, Emil Salim, Dino Patti Djalal menyebut bahwa dunia panas serasa seperti di neraka. "Dia bilang ini dunia serasa neraka, jadi benar-benar neraka bocor," ujarnya.

Dino Patti Djalal menyebut bahwa dunia harus mencapai target sesuai perjanjian Paris untuk mengurangi emisi dan memperlambat laju pemanasan Bumi.

"Jadi dengan kata lain, kalau kita mau mencapai target 1,5 derajat Celcius suhunya sesuai perjanjian Paris itu harus kita capai 2050, ya kan? Jadi pertengahan abad ini," jelas Dino yang baru-baru ini meluncurkan buku bertajuk "Angka dan Fakta Perubahan Iklim untuk Masa Depan Indonesia".

Untuk diketahui, situs Kementerian Lingkungan Hidup RI menyebut Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020. Perjanjian Paris didukung 195 negara, berbeda dengan periode pra-2015, yang ditandai absennya negara-negara kunci seperti AS dan Australia. 

Komitmen tersebut merupakan berkontribusi secara global untuk menahan suhu Bumi tidak melewati 1,5 derajat celcius. 

 

 

2 dari 4 halaman

Dino Patti Djalal: Indonesia Bagian dari 8 Miliar Orang yang Harus Bersama-sama Menyelesaikan Masalah Perubahan Iklim

Menurut Dino, paradigma soal perubahan iklim tersebut harus segera dipahami oleh bangsa Indonesia. "Karena kalau kita tidak telaten, kita bisa merugi. Dan yang membuat masalah ini unik adalah kita enggak bisa bilang 'ok, Indonesia menyelesaikan sendiri, enggak bisa," ucapnya.

Indonesia, tutur Dino, adalah bagian dari 8 miliar orang yang harus bersama-sama menyelesaikan masalah perubahan iklim ini.

"Sekjen PBB bilang ini adalah masalah eksistensial. Jadi bukan hanya masalah yang kayak COVID kemarin datang, setelah setahun dua tahun selesai. Atau masalah perang yang hanya bangsa ini yang mengalami. Kayak dulu kita di Aceh misalnya. Tapi ini bisa benar-benar mengancam nasib umat manusia," jelas Dino.

"Planet Bumi tetap akan ada, dia kan tahan banting. Ya sudah ada 4 miliar tahun. Tapi kalau umat manusianya kita hanya satu spesies, yang bisa sengsara dan kalau lebih buruk lagi bisa punah. Makanya Sekjen PBB bilang ini existential issue for humanity," papar mantan Dubes Indonesia untuk AS itu.

"Tapi kalau kita ada blind spot, buta terhadap ancaman perubahan iklim ini, maka dampaknya akan sangat dahsyat bagi kita. Dan kebetulan juga waktu kita hitung windows-nya bagi kita untuk mulai bertindak itu adalah dalam dekade ini. Jadi dengan kata lain, kalau kita mau mencapai target 1,5 derajat Celcius suhunya naik sesuai perjanjian Paris itu harus kita capai 2050, ya kan? Jadi pertengahan abad ini," tegas Dino.

"Jadi, melihat timeline yang sangat sempit itu kita merasa perlu membangunkan baik pemerintah maupun publik mengenai bahaya (perubahan iklim) ini," ujarnya lagi.

3 dari 4 halaman

Senjata untuk Mengalahkan Monster Perubahan Iklim: Pohon

Dino mengatakan, "solusi yang paling hebat apa? Kita punya senjatanya. Senjata untuk mengalahkan monster perubahan iklim itu, namanya pohon. Kita bisa tahu kita akan berhasil mencapai dunia nyaman atau dunia 'neraka' tahun 2050 dan di tahun 2030".

Jadi, sambung Dino, tahun 2050 dan 2030 itu suatu angka yang harus di dicatat dan dicermati. Menurutnya, dunia secara teori bisa mencapai 100% EV (electric vehicles) di tahun 2034.

"Nah, itu menarik. Sekarang ini sudah sekitar apa? Jadi 25 persen kemudian bisa naik, kalau enggak salah 75% di 2030 dan 100% kalau semuanya serius itu tahun 2000-2034," ucap mantan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia era Presiden SBY.

Dino menjelaskan, 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam tahun 2050, kalau situasi yang terburuk itu tercapai.

"Sewaktu Perjanjian Paris ditandatangani 2015 itu orang masih optimis ya kan? Nah, sekarang saya bisa katakan kita belum memenangkan perang ini. Bahkan kita mungkin istilahnya overshoot. Jadi targetnya 1,5 tapi kalau kita geber-geberan bisa 1,7-1,8. Jadi ada studi yang menyatakan semua negara sekarang sudah menyampaikan dokumen kepada PBB, bilang kami akan menurunkan segini, itu ya semua negara, ya kan? Nah kalau itu terlaksana semua itu sekitar 1,8, kalau semua terlaksana," papar Dino.

Tapi upaya tersebut, kata Dino, terganjal masalah.

"Dari mayoritas negara-negara ini yang benar-benar serius hanya segelintir. Jadi di Eropa misalnya, target mereka net zero target itu mereka bikin undang-undang. Berarti apa? Kalau tidak dilaksanakan melanggar hukum, jadi mereka mau enggak mau harus dilaksanakan. Tapi bagi negara lain sebagian besar, ada targetnya tapi hanya target di atas kertas. Ganti pemimpin, lupa dan terbengkalai, dan lain sebagainya gitu."

"Jadi ini risiko politik kita menembus 2 derajat Celsius sangat tinggi, apalagi kalau mencapai 3 atau 4 derajat Celcius. Dan saya bisa katakan, enggak kebayang kalau kita hidup di dunia 3 atau 4 derajat Celcius. Kalau 2 derajat saja, ini bangsa Indonesia perlu tahu, kalau dua derajat Celcius saja suhu naik. Sekarang udah 1,5 ya, kalau naik 2 derajat Celcius, 99% terumbu karang dunia akan mati," tegasnya.

"Coral bleaching. Bisa bayangin negara Indonesia negara maritim, enggak punya karang, karangnya mati. Kalau karangnya mati juga ikannya enggak ada. Dan anak kita bermain di laut yang karangnya mati."

 

 

4 dari 4 halaman

Ini Alasan Dino Patti Djalal Kerap Suarakan Masalah Perubahan Iklim

Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang didirikan oleh Dino Patti Djalal diketahui secara konsisten dari awal hingga kini kerap mengangkat isu kebijakan luar negeri, termasuk di dalamnya hubungan internasional dan juga diplomasi. Beberapa tahun belakangan organisasi non-profit tersebut peduli terhadap masalah perubahan iklim dan bahkan menggas acara Indonesia Net Zero Summit (INZS).

Ketika ditanya soal gagasan awalnya dan seberapa penting masalah perubahan iklim ini untuk FPCI dan juga masyarakat Indonesia, Dino menyebut hal itu dilakukan untuk masa depan Bumi, tempat tinggal anak-anaknya kelak.

"Why am i doing this? Kenapa saya melakukan ini? Saya 59 tahun. Hidup saya mungkin tinggal 15-20 tahun lagi kalau saya sehat ya. Asumsi sayalah gitu ya, sekitar 15-20 tahun. Berarti apa? 2050 ketika kita tahu dunia itu neraka atau nyaman gitu ya? Yang hidup di sana siapa? Anak saya. Anak saya yang sekarang sudah mulai masuk di kampus. Dan 2050 itu adalah peak age mereka, usia apa yang paling produktif," paparnya.

Dino Patti Djalal kemudian memaparkan pengalamannya merasakan pemanasan global di India. "Jadi itu hanya salah satu dampak dari climate change. Saya pernah terakhir itu di India, India kan sering kena heatwave ya. Pada saat kena heatwave dan saya keluar saja itu sudah enggak bisa bernapas. Waktu itu sekitar 40 derajat Celcius tahun lalu".

"Nah, bisa bayangin enggak? Sekarang ini kan kita bisa keluar bawa anak-anak naik sepeda di depan kemudian, dan lain sebagainya gitu ya, hidup normal ya. Kalau dunia itu 3 atau 4 derajat Celcius, itu 50 derajat Celcius suhu sehari-hari, kita keluar enggak bisa napas, kita enggak bisa jogging, enggak bisa naik sepeda, dan badan kita enggak terbiasa. Badan manusia itu enggak biasa hidup dalam itu. Kita lihat film Dune kan? Itu kan mereka hidupnya jadi susah biologisnya gitu ya.

"Jadi benar-benar enggak bisa ada orang yang bilang, wah ini urusan orang kaya nih. Atau ini urusan Amerika, ini urusan Eropa, negara-negara kaya, ini semua manusia akan terkena dampaknya. Paru-parunya, badannya, kehidupannya, semuanya akan terkena dampaknya."

Perihal kampanye FPCI soal perubahan iklim yang menyasar kaum muda atau Gen Z, Dino menyebut bahwa merekalah agen perubahan.

"Ya. Jadi anak-anak muda itu harus tahu bahwa, oke you nyaman sekarang ya kan, suhu masih segini, kita masih bisa apa-apa, berteduh dan segala macam. Tapi 2050, you will live in that world. Ya, itu dunia Anda tuh yang akan menjadi habitat Anda? Nah, makanya mereka harus ikut berjuang di sini. Mereka harus berjuang," tutur Dino lagi.

"Dan kenapa anak muda? Kan kalau kita lihat berbagai episode bangsa kita yang besar, kebangkitan nasional siapa yang mulai? Kan anak muda, ya kan? Sumpah Pemuda siapa? Anak muda. Revolusi kemerdekaan siapa motornya? Anak muda, ya kan? 1966 waktu itu siapa? Anak muda. Reformasi 98 siapa? Ya kan? Jadi selalu kalau ada gebrakan besar itu anak muda yang jadi engine-nya. Kenapa? Karena kalau saya kan sudah tua, sudah lemes, sudah loyo gitu. Dan kita juga pemikirannya juga biasanya enggak se-fresh anak muda. Jadi anak muda harus jadi, menurut saya motor dari transisi besar ini. Dan ini bukan hanya transisi Indonesia ya, harus benar-benar transisi umat manusia, gitu ya."

Â