Sukses

Sah, Taliban Punya Duta Besar di Negara Kaya Minyak UEA

Ini merupakan keberhasilan diplomatik bagi penguasa Afghanistan, yang tidak diakui secara resmi sebagai pemerintah yang sah di negara itu.

Liputan6.com, Kabul - Sebuah langkah tak biasa dicapai oleh Taliban, penguasa Afghanistan saat ini. Duta besar (dubes) atas nama kelompok tersebut di Uni Emirat Arab (UEA), resmi diterima.

Melansir VOA Indonesia, Sabtu (24/8/2024), surat-surat kepercayaan dubes Taliban untuk negara kaya minyak di Teluk Arab itu ditermua pada Rabu (21/8). Ini merupakan keberhasilan diplomatik bagi penguasa Afghanistan, yang tidak diakui secara resmi sebagai pemerintah yang sah di negara itu.

Ini merupakan duta besar kedua Taliban sejak yang pertama diangkat untuk China pada Desember 2023 lalu,

Perkembangan tersebut menggarisbawahi perbedaan pendapat internasional mengenai cara menghadapi pemerintah yang saat ini berada di Kabul.

Kementerian Luar Negeri Afghanistan di Kabul mengukuhkan berita mengenai Badruddin Haqqani dalam unggahan di platform media sosial X.

Kementerian itu tidak menanggapi permintaan informasi mengenai Haqqani, yang sebelumnya adalah utusan Taliban untuk UEA.

Adapun Haqqani ini tidak terkait dengan Penjabat Menteri Dalam Negeri Sirajuddin Haqqani, yang pada Juni lalu bertemu dengan pemimpin UEA, Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, tetapi ia berasal dari timnya.

Untuk diketahui, Sirajuddin Haqqani adalah pemimpin jaringan berpengaruh Haqqani yang ada saat ini. Jaringan tersebut adalah gerakan militan yang bersekutu dengan Taliban, dan ditetapkan sebagai teroris global. Ia diburu oleh AS karena keterlibatannya dalam berbagai serangan maut dan juga masuk beberapa daftar orang yang dikenai sanksi.

Sejauh ini Taliban masih dikucilkan oleh Barat. Kendati demikian mereka telah mengupayakan hubungan bilateral dengan beberapa kekuatan regional besar. Pekan lalu, Perdana Menteri Uzbekistan Abdullah Aripov tiba di Afghanistan, suatu kunjungan tingkat tertinggi yang dilakukan pejabat asing sejak Taliban kembali berkuasa di Afghanistan tiga tahun silam.

PBB menyatakan pengakuan resmi terhadap Afghanistan yang dipimpin Taliban “hampir mustahil” selagi pembatasan terhadap perempuan dewasa dan anak-anak diberlakukan. 

2 dari 4 halaman

Taliban Larang Suara dan Wajah Telanjang Perempuan Afghanistan

Sementara itu, di Afghanistan, Taliban mengeluarkan larangan atas suara dan wajah telanjang perempuan alias tanpa penutup wajah di depan umum berdasarkan undang-undang baru yang disetujui untuk memerangi kejahatan dan mempromosikan kebajikan.

Undang-undang dikeluarkan pada hari Rabu (21/8/2024) setelah disetujui oleh pemimpin tertinggi Taliban Hibatullah Akhundzada. Sejak merebut kekuasaan pada tahun 2021, Taliban telah mendirikan kementerian penyebaran kebajikan dan pencegahan kejahatan.

Seperti yang dilihat oleh AP, undang-undang ditetapkan dalam dokumen setebal 114 halaman dan 35 pasal dan merupakan deklarasi resmi pertama undang-undang kejahatan dan kebajikan di Afghanistan sejak pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban.

"Insyaallah kami jamin bahwa hukum Islam ini akan sangat membantu dalam mempromosikan kebajikan dan menghilangkan kejahatan," kata juru bicara Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan Afghanistan Maulvi Abdul Ghafar Farooq pada hari Kamis (23/8), seperti dikutip dari AP, Jumat (23/8).

Undang-undang tersebut memberi wewenang kepada kementerian untuk menjadi garda terdepan dalam mengatur perilaku pribadi, memberikan hukuman seperti peringatan atau penangkapan jika penegak hukum menduga bahwa warga Afghanistan telah melanggar hukum.

Pasal 13 undang-undang terkait dengan perempuan. Disebutkan bahwa perempuan wajib mengenakan cadar setiap saat di depan umum dan penutup wajah sangat penting untuk menghindari godaan dan menggoda yang lain. Pakaian tidak boleh tipis, ketat, atau pendek.

Perempuan juga wajib mengenakan cadar di depan laki-laki dan perempuan non-muslim untuk menghindari keburukan. Suara perempuan dianggap intim, sehingga tidak boleh terdengar bernyanyi, mengaji atau membaca dengan suara keras di depan umum. Perempuan dilarang melihat laki-laki yang tidak memiliki hubungan darah atau pernikahan dengan mereka, begitu pula sebaliknya.

Selengkapnya di sini...

3 dari 4 halaman

Taliban Melarang Pelapor Khusus PBB Masuk Afghanistan, Tuduh Sebarkan Propaganda

Sebelumnya, Taliban mengumumkan larangan masuk bagi Richard Bennett, pelapor khusus yang ditunjuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk memasuki Afghanistan. Pengumuman tersebut disampaikan oleh juru bicara pemerintah Taliban kepada stasiun televisi lokal, Tolo, dengan tuduhan bahwa Bennett menyebarkan propaganda yang merugikan.

Bennett ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada tahun 2022 untuk memantau situasi hak asasi manusia di Afghanistan setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada tahun sebelumnya, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (22/8/2024).

Meskipun bermarkas di luar Afghanistan, Bennett telah melakukan beberapa kunjungan ke negara tersebut untuk meneliti kondisi HAM, terutama perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan yang dianggapnya bisa menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Namun, Dewan HAM PBB belum memberikan komentar mengenai larangan ini, dan Bennett sendiri tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan tanggapan, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (22/8/2024).

Menurut Abdul Qahar Balkhi, juru bicara Kementerian Luar Negeri pemerintahan Taliban, Bennett gagal memperoleh visa perjalanan ke Afghanistan. Balkhi menambahkan bahwa meskipun Bennett telah diminta untuk mematuhi profesionalisme dalam pekerjaannya, laporan-laporannya dianggap berdasarkan prasangka dan anekdot yang merugikan kepentingan Afghanistan dan rakyatnya.

Zabihullah Mujahid, juru bicara pemerintahan Taliban, juga menegaskan bahwa Taliban menghormati hak-hak perempuan sesuai dengan interpretasi mereka terhadap hukum Islam dan adat istiadat setempat. Mujahid menyatakan kepada Tolo bahwa Bennett tidak akan diizinkan masuk ke Afghanistan karena dianggap menyebarkan propaganda dan membesar-besarkan isu-isu kecil.

Sejak tiga tahun berkuasa setelah penarikan pasukan asing, Taliban belum diakui secara resmi oleh pemerintah asing mana pun.

Pejabat asing, termasuk dari Washington, menyatakan bahwa pengakuan terhadap Taliban akan terhambat sampai mereka mengubah sikap mereka terhadap hak-hak perempuan.

Taliban telah memberlakukan larangan bagi sebagian besar anak perempuan di atas usia 12 tahun untuk bersekolah dan menempuh pendidikan di universitas, serta membatasi perempuan dari memasuki taman-taman dan melakukan perjalanan jarak jauh tanpa wali laki-laki.

Aset bank sentral Afghanistan masih dibekukan, dan banyak pejabat senior Taliban terkena pembatasan perjalanan yang diterapkan PBB, yang mengharuskan mereka mencari pengecualian untuk memasuki negara lain.

PBB terus berupaya menemukan pendekatan internasional yang terpadu dalam menangani Taliban. Pada bulan Juni, para pejabat tinggi PBB dan utusan dari 25 negara bertemu dengan Taliban di Qatar. Pertemuan tersebut dikritik oleh kelompok HAM karena tidak menyertakan perempuan Afghanistan dan perwakilan masyarakat sipil.

Misi PBB ke Afghanistan tetap beroperasi dari Kabul dan terus memantau serta melaporkan masalah hak asasi manusia di negara tersebut.

4 dari 4 halaman

UNESCO: 1,4 Juta Anak Perempuan di Afghanistan Tak dapat Akses Pendidikan Sejak Taliban Berkuasa

Setidaknya 1,4 juta anak perempuan di Afghanistan ditolak aksesnya ke pendidikan sejak Taliban kembali berkuasa pada tahun 2021.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masa depan seluruh generasi muda Afghanistan kini dalam bahaya.

Akses ke pendidikan dasar juga menurun tajam, dengan 1,1 juta anak perempuan dan laki-laki lebih sedikit yang bersekolah, kata UNESCO dalam sebuah pernyataan saat otoritas Taliban menandai tiga tahun sejak merebut kembali Afghanistan pada tanggal 15 Agustus 2021.

"UNESCO khawatir dengan konsekuensi berbahaya dari angka putus sekolah yang semakin besar ini, yang dapat menyebabkan peningkatan pekerja anak dan pernikahan dini," kata badan tersebut, dikutip dari Japan Today, Jumat (16/8/2024).

"Hanya dalam waktu tiga tahun, otoritas de facto hampir menghapus pendidikan di Afghanistan, dan masa depan seluruh generasi kini dalam bahaya."

Sekarang ada hampir 2,5 juta anak perempuan yang kehilangan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, mewakili 80 persen anak perempuan usia sekolah Afghanistan, kata badan PBB tersebut.

Pemerintahan Taliban, yang tidak diakui oleh negara lain, telah memberlakukan pembatasan terhadap perempuan yang oleh PBB disebut sebagai "apartheid gender."

Afghanistan adalah satu-satunya negara di dunia yang melarang anak perempuan dan perempuan bersekolah di sekolah menengah dan universitas.

"Sebagai akibat dari larangan yang diberlakukan oleh otoritas de facto, setidaknya 1,4 juta anak perempuan telah sengaja ditolak aksesnya ke pendidikan menengah sejak 2021," kata UNESCO.

Ini merupakan peningkatan sebanyak 300.000 sejak penghitungan sebelumnya yang dilakukan oleh badan PBB pada April 2023.