Liputan6.com, Paris - Perusahaan aplikasi perpesanan, Telegram, mengatakan bahwa CEO-nya Pavel Durov (39) yang ditahan di Prancis pada hari Sabtu (24/8/2024), tidak menyembunyikan apa pun.
Durov ditangkap di bandara di utara Paris berdasarkan surat perintah atas pelanggaran yang terkait dengan Telegram.
Baca Juga
Penyelidikan dilaporkan tentang moderasi yang tidak memadai, di mana Durov dituduh gagal mengambil langkah-langkah untuk mengekang penggunaan Telegram secara kriminal. Aplikasi tersebut disebut gagal bekerja sama dengan penegak hukum terkait perdagangan narkoba, konten seksual anak, dan penipuan.
Advertisement
Terkait tuduhan itu, Telegram menekankan bahwa "moderasinya berada dalam standar industri dan terus ditingkatkan".
"Tidak masuk akal mengklaim bahwa suatu platform atau pemiliknya bertanggung jawab atas penyalahgunaan platform tersebut," kata Telegram, seperti dilansir BBC, Senin (26/8).
Telegram mengatakan Durov sering bepergian ke Eropa dan bahwa Telegram mematuhi undang-undang Uni Eropa, termasuk Undang-Undang Layanan Digital, yang bertujuan memastikan lingkungan daring yang aman dan bertanggung jawab.
"Hampir satu miliar pengguna di seluruh dunia menggunakan Telegram sebagai sarana komunikasi dan sebagai sumber informasi penting," ungkap Telegram.
"Kami menunggu penyelesaian segera dari situasi ini. Telegram bersama kalian semua."
Sumber pengadilan yang dikutip oleh kantor berita AFP menyebutkan bahwa penahanan Durov diperpanjang pada hari Minggu (25/8) dan dapat berlangsung hingga 96 jam.
Durov lahir di Rusia dan sekarang tinggal di Dubai, tempat Telegram berkantor pusat. Dia memegang kewarganegaraan Uni Emirat Arab dan Prancis.
Telegram sangat populer di Rusia, Ukraina, dan negara-negara bekas Uni Soviet. Keberadaannya dilarang di Rusia pada tahun 2018, setelah sebelumnya menolak untuk menyerahkan data pengguna. Namun, larangan dicabut pada tahun 2021.
Respons Rusia
Durov mendirikan Telegram pada tahun 2013. Dia meninggalkan Rusia pada tahun 2014 setelah menolak untuk mematuhi tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial VKontakte miliknya, yang kemudian dia jual.
Rusia masih menganggap Durov sebagai warga negaranya. Kementerian luar negerinya mengatakan Kedutaan Rusia di Prancis telah segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam kasus-kasus seperti itu untuk mengklarifikasi situasi terkait warga negara Rusia, meskipun belum menerima permintaan dari perwakilan pengusaha tersebut.
Kemudian kedutaan Rusia juga menuturkan mereka berusaha mengklarifikasi alasan penahanan dan memberikan perlindungan hak-hak Durov serta memfasilitasi akses konsuler.
Ditambahkan pula bahwa otoritas Prancis tidak bekerja sama dengan pejabat Rusia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengunggah di Telegram mempertanyakan apakah LSM hak asasi manusia Barat akan diam saja atas penangkapan Durov, setelah mereka mengkritik keputusan Rusia untuk menciptakan hambatan bagi kerja Telegram di Rusia pada tahun 2018.
Telegram memungkinkan grup hingga 200.000 anggota, yang menurut para kritikus memudahkan penyebaran informasi yang salah, dan bagi pengguna untuk berbagi konten konspirasi, neo-Nazi, pedofilia, atau terkait teror.
Di Inggris, aplikasi tersebut diteliti karena menjadi tuan rumah saluran-saluran sayap kanan yang berperan penting dalam mengorganisasi kekacauan kekerasan di kota-kota Inggris awal bulan ini.
Telegram memang menghapus beberapa grup, namun kata para pakar keamanan siber, secara keseluruhan sistemnya dalam memoderasi konten ekstremis dan ilegal jauh lebih lemah daripada perusahaan media sosial dan aplikasi messenger lainnya.
Advertisement