Sukses

Polisi Korea Selatan Selidiki Telegram Terkait Kasus Penyebaran Konten Pornografi Deepfake

Seorang aktivis di Korea Selatan mengatakan, Negeri Gingseng tersebut mengalami epidemi kejahatan seks digital ditambah dengan UU yang tidak memadai untuk menghukum pelanggar.

Liputan6.com, Seoul - Kepolisian Korea Selatan pada Senin (2/9/2024) meluncurkan penyelidikan terhadap platform pengiriman pesan Telegram karena diduga "bersekongkol" dalam distribusi konten deepfake porno, termasuk gambar eksplisit remaja yang dibuat oleh kecerdasan buatan (AI).

Deepfake porno mencakup konten eksplisit di mana wajah individu tertentu digabungkan secara digital ke gambar atau video porno lain menggunakan teknologi AI, dikutip dari laman Channel News Asia, Selasa (3/9/2024).

Seorang penyiar berita di Korea Selatan melaporkan bahwa sekelompok mahasiswa yang membuka ruang obrolan Telegram ilegal, berbagi materi pornografi deepfake dari teman sekelas perempuan. Ini merupakan salah satu dari serangkaian kasus terkenal yang telah memicu kemarahan publik.

"Mengingat kejahatan (deepfake) ini, Badan Kepolisian Nasional Seoul meluncurkan penyelidikan minggu lalu," kata Woo Jong-soo, kepala biro investigasi di Badan Kepolisian Nasional.

"Telegram tidak menanggapi permintaan kami sebelumnya untuk informasi akun selama penyelidikan kejahatan terkait Telegram sebelumnya," katanya.

Polisi menerima 88 laporan pornografi deepfake minggu lalu saja, kata Woo, seraya menambahkan mereka telah mengidentifikasi 24 tersangka.

Penyelidikan Telegram dimulai setelah Pavel Durov, pendiri dan kepala Telegram, ditangkap bulan lalu di Prancis.

Durov (39) didakwa dengan beberapa tuduhan gagal mengekang konten ekstremis dan ilegal di aplikasi perpesanan populer tersebut.

 

2 dari 2 halaman

Upaya Polisi Korsel

Polisi Korea Selatan telah berjanji untuk "menemukan cara untuk bekerja sama dengan berbagai badan investigasi, termasuk Prancis, untuk meningkatkan" investigasi mereka terhadap platform tersebut, kata Woo.

AFP telah menghubungi Telegram untuk memberikan komentar.

Aktivis mengatakan, Korea Selatan mengalami epidemi kejahatan seks digital, termasuk yang melibatkan kamera mata-mata dan pornografi balas dendam, dengan undang-undang yang tidak memadai untuk menghukum pelanggar.

Pelaku kejahatan deepfake dilaporkan telah menggunakan platform media sosial seperti Instagram untuk menyimpan atau mengambil gambar layar foto korban, yang kemudian digunakan untuk membuat materi pornografi palsu.

Hal ini telah memicu kemarahan publik dan mendorong Presiden Yoon Suk Yeol, mantan jaksa penuntut, untuk meminta para pejabat untuk "menyelidiki secara menyeluruh dan menangani kejahatan seks digital ini untuk memberantasnya sepenuhnya".