Liputan6.com, Beijing - Puluhan virus telah terdeteksi bercampur pada hewan di peternakan hewan yang menghasilkan bulu di China, beberapa di antaranya baru dan berpotensi menular ke manusia, kata para peneliti pada hari Rabu (4/9/2024).
Sejak pandemi COVID-19, para ilmuwan telah memperingatkan bahwa peternakan mamalia seperti cerpelai untuk diambil bulunya dapat mempermudah virus baru untuk berpindah dari alam liar dan memicu wabah baru.
Baca Juga
Ahli virologi Edward Holmes, yang memimpin penelitian tentang COVID-19, mengatakan kepada AFP bahwa ia merasa bahwa industri peternakan hewan yang menghasilkan bulu global "adalah salah satu cara yang paling mungkin untuk memulai pandemi baru".
Advertisement
"Secara pribadi, saya pikir industri peternakan bulu secara global harus ditutup," tamba Holmes seperti dikutip dari AFP, Kamis (5/9).
Holmes adalah salah satu penulis studi baru yang meneliti potensi bahaya yang ditimbulkan oleh virus di peternakan bulu di negara tempat kasus COVID-19 pertama muncul pada akhir tahun 2019.
Tim peneliti yang dipimpin China mengurutkan materi genetik dari sampel paru-paru dan usus dari 461 hewan seperti cerpelai, kelinci, rubah, dan anjing rakun yang mati karena penyakit di seluruh negeri antara tahun 2021 dan 2024.
Sebagian besar berasal dari peternakan bulu, beberapa juga diternakkan untuk makanan atau obat tradisional, sementara sekitar 50 adalah hewan liar.
Tim mendeteksi 125 virus, termasuk 36 virus baru, menurut studi dalam jurnal Nature.
Adapun 39 virus memiliki "risiko tinggi" untuk berpindah antar spesies, termasuk ke manusia, menurut evaluasi para peneliti.
Beberapa virus tersebut -- seperti hepatitis E dan ensefalitis Jepang -- telah menyebar ke manusia, tetapi 13 di antaranya baru, kata studi tersebut.
Beberapa jenis flu burung juga terdeteksi pada marmut, cerpelai, dan muskrat.
Dan tujuh jenis Virus Corona juga ditemukan -- meskipun tidak ada yang terkait erat dengan SARS-CoV-2, yang menyebabkan COVID.
Â
Virus Ini Dianggap Paling Mengkhawatirkan
Virus yang paling mengkhawatirkan Holmes adalah "virus mirip Pipistrellus HKU5 pada kelelawar". Virus ini sebelumnya telah terdeteksi pada kelelawar tetapi ditemukan di paru-paru dua cerpelai yang diternakkan.
Virus ini merupakan kerabat dari Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS) yang dapat mematikan bagi manusia.
"Bahwa kita sekarang melihat bahwa virus ini berpindah dari kelelawar ke cerpelai yang diternakkan harus menjadi tanda peringatan," kata Holmes, yang merupakan seorang profesor di Universitas Sydney.
"Virus ini perlu dipantau."
Ribuan virus yang tidak diketahui diyakini beredar di antara mamalia liar. Para ilmuwan khawatir bahwa peternakan bulu dapat memungkinkan hewan ternak tertular virus tersebut, yang pada gilirannya dapat menularkan kepada manusia.
Teori utama tentang asal-usul COVID adalah bahwa virus ini bermula pada kelelawar, kemudian ditularkan ke manusia selama perdagangan hewan liar.
"Saya sangat yakin bahwa perdagangan satwa liar bertanggung jawab atas munculnya SARS-CoV-2," kata Holmes.
"Dan saya pikir perdagangan peternakan bulu yang terkait dapat dengan mudah mengakibatkan virus pandemi lainnya," tambahnya.
Dalam penelitian tersebut, para peneliti menyerukan peningkatan pengawasan terhadap hewan ternak berbulu -- khususnya untuk cerpelai, anjing rakun, dan marmut, yang mencatat virus paling "berisiko tinggi".
Denmark memusnahkan seluruh populasi cerpelai yang diternakkan karena kekhawatiran COVID pada tahun 2020, tetapi sejak itu telah mengesahkan kembali praktik tersebu
Advertisement