Liputan6.com, Mexico City - Clemente Rodriguez (56) mendokumentasikan pencarian panjang putranya yang hilang lewat tato.
Pertama adalah gambar kura-kura — simbol sekolah Christian Rodriguez yang berusia 19 tahun ketika hilang. Kemudian, gambar santo pelindung Meksiko, Perawan Guadalupe, disertai angka 43. Kemudian, gambar harimau untuk kekuatan dan burung merpati untuk harapan.
Baca Juga
"Bagaimana lagi anakku akan tahu bahwa aku mencarinya?" tanya Rodriguez, seperti dilansir kantor berita AP, Sabtu (21/9/2024).
Advertisement
Bagi ayah yang patah hati tersebut, seni melukis tubuh adalah bukti bahwa dia tidak pernah berhenti mencari — bukti yang mungkin suatu hari nanti bisa dia tunjukkan kepada putranya.
Pada 26 September 2014, Christian yang bertubuh tinggi, gemar menari tari tradisional, dan baru saja mendaftar di sekolah pendidikan guru di Negara Bagian Guerrero, hilang bersama 42 teman sekelasnya. Setiap tahun sejak itu, pada tanggal 26 setiap bulannya, Clemente dan istrinya, Luz Maria Telumbre, serta keluarga lainnya bertemu di sekolah pendidikan guru di Ayotzinapa dan melakukan perjalanan panjang dengan bus ke ibu kota, Mexico City, untuk menuntut jawaban.
Mereka akan melakukannya lagi minggu depan, pada peringatan 10 tahun hilangnya putra-putra mereka.
"Sulit, sangat sulit," tutur Clemente.
Banyak Pertanyaan, Sedikit Jawaban
Clemente dan orang tua lainnya tidak sendirian. Ke-43 siswa tersebut termasuk di antara lebih dari 115.000 orang yang masih dilaporkan hilang di Meksiko, yang mencerminkan banyaknya kejahatan yang belum terselesaikan di negara di mana kekerasan, korupsi, dan impunitas, menurut aktivis hak asasi manusia, telah lama menjadi norma.
Selama bertahun-tahun, pihak berwenang telah memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Pemerintahan Presiden Enrique Pena Nieto, yang memerintah pada 2012-2018 mengatakan bahwa para mahasiswa diserang oleh pasukan keamanan yang terkait dengan kartel narkoba setempat dan bahwa jasad-jasad mereka kemudian diserahkan kepada tokoh-tokoh kejahatan terorganisasi, yang membakar jasad mereka di tempat pembuangan sampah dan membuang abunya ke sungai. Sebuah pecahan tulang salah satu mahasiswa kemudian ditemukan di sungai.
Pemerintahan Presiden Andres Manuel Lopez Obrador mengonfirmasi sumber serangan. Namun, kementerian kehakiman saat ini — bersama dengan Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR) dan Komisi Kebenaran yang dibentuk khusus untuk menyelidiki hilangnya para mahasiswa — membantah cerita tentang pembakaran jasad-jasad di tempat pembuangan sampah. Mereka menuduh mantan pejabat tinggi menanam pecahan tulang di sungai untuk menyesuaikan narasi mereka. Mereka juga menemukan petunjuk di lokasi yang berbeda, termasuk pecahan tulang dari salah satu kaki Christian.
Namun, keluarga korban masih belum memiliki jawaban pasti tentang apa yang terjadi pada para mahasiswa tersebut. Sementara itu, Clemente sama sekali tidak yakin bahwa putranya telah meninggal.
Tidak lama setelah para siswa menghilang, para orang tua mengambil tindakan sendiri, menyerbu ke kota-kota pegunungan terpencil yang sering dikuasai geng untuk mencari anak-anak mereka. Mereka bertemu dengan orang lain yang telah mengungsi karena kekerasan. Ketakutan ada di mana-mana.
"Ketika saya meninggalkan rumah, saya tidak pernah tahu apakah saya akan kembali hidup-hidup," kata Clemente.
Selama pencarian, Christina Bautista, ibu berusia 49 tahun dari siswa yang hilang, Benjamin Ascencio, menuturkan orang-orang asing mengatakan kepadanya bahwa mereka mencari seorang putra selama tiga tahun atau seorang putri selama lima tahun.
"Saya tidak tahan, saya lari," ujarnya. "Bagaimana bisa begitu banyak orang hilang?"
Puluhan jasad ditemukan, namun bukan anak-anak mereka.
Â
Perjuangan yang Mengubah Hidup
Perjuangan selama satu dekade mempertahankan kasus ini telah mengubah hidup orang tua tersebut. Sebelum putranya menghilang, Clemente menjual kendi air dari belakang truk pikapnya dan merawat kebun binatang kecil di Kota Tixtla, tidak jauh dari sekolah. Telumbre menjual tortilla buatan tangan yang dimasak di atas api kayu.
Namun, ketika para siswa menghilang, mereka meninggalkan semuanya. Para orang tua menjual atau menelantarkan hewan mereka, membiarkan ladang tidak terawat, dan mempercayakan kakek-nenek untuk mengasuh anak-anak lainnya.
Clemente sejak itu berhasil mengumpulkan kembali sebagian ternaknya dan menanam jagung di sebidang tanah milik keluarga. Pendapatan utama keluarga tersebut berasal dari kerajinan buatan sendiri yang dijual dalam perjalanan ke Mexico City: tikar yang ditenun dari alang-alang; botol-botol mezcal buatan pamannya yang dihias dengan benang dan wajah harimau berwarna-warni; serta serbet kain yang disulam oleh Telumbre.
Terkadang Clemente yang kekar dan bertutur kata lembut mengunjungi lahannya untuk merenung atau melepaskan amarah dan kesedihannya.
"Saya mulai menangis, melepaskan semuanya," ujarnya.
Para orang tua juga menemukan pelipur lara di sekolah pendidikan guru di Ayotzinapa.
Sekolah, yang melatih siswa untuk mengajar di desa-desa terpencil yang miskin, merupakan bagian dari jaringan fasilitas pendidikan pedesaan dengan sejarah panjang aktivisme radikal. Dinding sekolah yang dicat dengan slogan-slogan yang menuntut keadilan bagi siswa yang hilang juga memajang mural yang menghormati Che Guevara dan Karl Marx.
Bagi keluarga sangat miskin, Ayotzinapa menawarkan jalan keluar: Siswa menerima tempat tinggal, makan, dan pendidikan gratis. Sebagai gantinya, mereka bekerja.
Suasananya bernuansa militeristik: Kepala siswa baru dicukur dan tahun pertama adalah tentang disiplin dan bertahan hidup. Mereka bertugas memelihara ternak, menanami ladang, dan menyita bus untuk dikendarai ke tempat unjuk rasa di ibu kota. Para siswa yang menghilang pada tahun 2014 diculik dari lima bus yang diambil alih di Kota Iguala, 120 kilometer di utara sekolah.
Para orang tua tiba di Ayotzinapa sedikit demi sedikit dari desa-desa yang jauh di pegunungan. Mereka berkumpul di lapangan basket sekolah, sebuah landasan beton di bawah paviliun tempat 43 kursi masih menyimpan foto masing-masing siswa yang hilang.
"Pada tahun-tahun setelahnya, ketergantungan tertentu telah berkembang. Perjuangan sekolah untuk keadilan didorong oleh kesedihan dan kemarahan para orang tua. Sementara itu, para siswa sekolah adalah lengan kuat kami," tutur Bautista.
"Di sinilah gerakan itu dimulai."
Para siswa memperlakukan orang tua dengan hormat dan penuh kasih sayang, menyapa dengan "bibi" atau "paman" saat mereka melewati gerbang yang dijaga.
Advertisement
Tidak Ada Komitmen dari Pemimpin Baru Meksiko
Pada akhir Agustus, Clemente dan orang tua lainnya bertemu terakhir kalinya dengan Lopez Obrador, yang meninggalkan jabatannya pada akhir bulan ini.
Pertukaran pendapat itu disebut sangat mengecewakan.
"Pemerintahan ini sama seperti pemerintahan Enrique Pena Nieto," kata Clemente. "Dia mencoba mengejek kita dengan menyembunyikan informasi, melindungi Angkatan Darat, dan menghina pengacara keluarga."
Lopez Obrador terus bersikeras bahwa pemerintahannya telah melakukan yang terbaik untuk menemukan jawaban. Dia mengutip puluhan penangkapan, termasuk penangkapan mantan jaksa agung yang didakwa menghalangi keadilan. Namun, dia telah meremehkan peran militer. Bertahun-tahun yang lalu, Lopez Obrador menyatakan penculikan siswa sebagai "kejahatan negara", dengan menunjuk pada keterlibatan otoritas lokal, negara bagian, dan federal, termasuk Angkatan Darat.
Pada bulan Juli, para keluar orang hilang bertemu dengan penerus Lopez Obrador, Claudia Sheinbaum, yang akan menjabat pada 1 Oktober. Namun, dia tidak memberikan janji atau komitmen apa pun.
Clemente, seperti orang tua lainnya, bersumpah untuk terus berjuang.
"Selama 10 tahun ini, kami telah belajar banyak tentang pengaburan ... kebohongan," kata dia.
"Para pejabat tinggi militer dan pemerintah punya jawabannya. Mereka dapat mengungkapkannya."
Â