Sukses

Kekeringan di Brasil Mengancam Kenaikan Harga Kopi

Krisis iklim tidak hanya memengaruhi tanaman kopi di Brasil, namun juga Vietnam.

Liputan6.com, Brasilia - Perkebunan kopi milik Silvio Almeida terletak di ketinggian ideal di lereng bukit Brasil, di mana tanahnya yang kaya tanah liat mampu menahan kelembapan dari hujan dan waduk di dekatnya.

Namun, akhir-akhir ini, air langka di pertanian sederhana Almeida di Caconde, sebuah kota di salah satu daerah penghasil kopi utama di Negara Bagian Sao Paulo. Dia tidak dapat menanam kopinya sebagaimana mestinya.

Di Brasil, produsen kopi terbesar di dunia, Almeida dan petani lainnya mulai bergulat dengan kekeringan terburuk di negara itu dalam lebih dari tujuh dekade dan suhu di atas rata-rata. Almeida berharap dapat memanen 120 karung biji kopi pada musim panen ini, namun malah hanya berhasil memanen 100 karung.

"Mengingat kondisi di sini, panen tahun 2025 sudah terpengaruh," katanya kepada AP, seperti dikutip pada Minggu (22/9/2024) sambil menunjuk ke bagian perkebunannya yang kuncup bunganya mati sebelum mekar.

"Saya tidak akan mengatakan bahwa ini akan gagal karena bagi Tuhan segalanya mungkin terjadi. Namun berdasarkan situasinya, itu sudah terancam."

Musim panen Brasil yang berakhir bulan ini hampir datar dari tahun lalu dan ekspor melonjak, namun menurut laporan Pusat Studi Lanjutan Ekonomi Terapan di sekolah agribisnis Universitas Sao Paulo yang dipublikasikan Senin (16/9), kekeringan yang sedang berlangsung sudah mempersulit dimulainya musim 2025/2026.

Pada saat yang sama, Vietnam, produsen kopi terbesar kedua di dunia, mengalami panas dan kekeringan, yang memengaruhi tanamannya. Potensi kekurangan pasokan di kedua negara, ungkap menurut laporan tersebut, telah mulai menaikkan harga kopi global.

2 dari 2 halaman

Campur Tangan Manusia

Pasar memantau dengan cermat bagaimana tanaman kopi Brasil bertahan dalam kondisi iklim yang buruk ini, yang dapat menyebabkan bunga berhenti mekar, gagal berubah menjadi ceri atau menghasilkan biji kopi berkualitas rendah, kata Felippe Serigati, yang mengoordinasikan program magister agribisnis di Getulio Vargas Foundation, sebuah universitas di Sao Paulo.

"Ini bisa mengakibatkan panen kopi yang lebih sedikit," tutur Serigati. "Karena pasar cenderung mengantisipasi pergerakan ini, kami telah melihat harga kopi arabika di New York dan robusta di Eropa diperdagangkan pada level yang lebih tinggi."

Harga kopi belum mencapai rekor tertinggi yang pernah terjadi di dunia pada akhir tahun 1970-an, setelah embun beku yang parah memusnahkan 70 persen tanaman kopi Brasil. Namun, harganya telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir.

Pada bulan Agustus, Harga Indikator Gabungan Organisasi Kopi Internasional – yang menggabungkan harga beberapa jenis biji kopi hijau – rata-rata USD 2,38 per pon, naik hampir 55 persen dari bulan yang sama tahun lalu.

Sebagian, harga naik karena permintaan yang lebih tinggi, terutama di Asia. Namun, cuaca juga mendorong kenaikan. Kekeringan, embun beku, dan kebakaran telah merusak seperlima area penanaman produsen kopi arabika di Brasil, kata Billy Roberts, ekonom senior untuk makanan dan minuman di CoBank yang berbasis di Colorado.

"Sepertinya tidak akan membaik dalam waktu dekat. Dibutuhkan curah hujan yang konsisten untuk pulih," ujarnya.

Kebakaran hutan yang tidak terkendali dan disebabkan manusia di seluruh Brasil akhir-akhir ini telah merusak kawasan lindung dan pertanian. Salah satunya melanda Caconde pekan lalu.

Almeida, yang juga seorang guru matematika di sekolah umum setempat, membantu menghitung kerusakan untuk asosiasi regional. Sejauh ini, dia memperkirakan kebakaran telah mempengaruhi 1.282 hektare. Setengahnya adalah Hutan Atlantik asli, 30 persen padang rumput, dan 15 persen perkebunan kopi.

Di tanah milik Almeida sendiri, 2.000 dari 15.000 tanamannya terbakar. Tetangganya, Joao Rodrigues Martins (71), kehilangan segalanya.

Martins memiliki 2.500 tanaman kopi di sebidang tanah kecil, yang sekarang sepenuhnya menghitam karena jelaga. Kopi yang dia jual ke koperasi setempat adalah mata pencahariannya dan juga membayar biaya pengobatan putranya.

Bagi petani kecil, melihat bertahun-tahun penanaman berubah menjadi abu adalah hal yang sulit untuk diperhitungkan.