Sukses

Kebijakan Anti-Kolonialisme Perkuat Hubungan Indonesia dan Rusia

Pengamat Pertahanan dan Keamanan Andi Widjajanto mengatakan, kebijakan anti-kolonialisme memperkuat hubungan Indonesia dan Rusia demi mengejar kebijakan yang saling menguntungkan.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Pertahanan dan Keamanan Andi Widjajanto menyebut kebijakan anti-kolonialisme memperkuat hubungan Indonesia dan Rusia.

Hal ini ia sampaikan pada Seminar Internasional bertajuk Indonesi-Russia: from the Past to the Future, the Historical and Geopolitical Perspective yang diadakan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) bekerja sama dengan Federal Archival Agency of the Russian Federation dan Valdai Discussion Club.

"Hubungan antara Jakarta dan Moskow selama rezim orde lama berakar dalam pada prinsip pribadi Sukarno dan Nikita Khrushchev yang memiliki komitmen terhadap anti-kolonialisme," kata Andi Widjajanto dalam diskusi sesi kedua dengan tema: Geopolitical Perspectives on the Bilateral Relations between Indonesia and Russia pada Selasa (24/9/2024) di Hotel Borobudur Jakarta.

"Keselarasan ideologis ini memungkinkan kedua negara untuk mengejar kebijakan yang saling menguntungkan. Indonesia mencari kemitraan internasional untuk memperkuat kemerdekaannya yang baru diperoleh. Sementara Uni Soviet berupaya memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara di tengah persaingannya dengan Barat."

Namun, transisi kepemimpinan berikutnya di kedua negara menyebabkan hubungan yang mendingin.

Di bawah Suharto, Indonesia bergeser ke arah sikap anti-komunis, menyelaraskan diri dengan kekuatan Barat dan mengurangi pengaruh Soviet di kawasan tersebut.

Sebaliknya, kepemimpinan Indonesia modern memandang kerja sama dengan Rusia melalui sudut pandang pragmatis, menyeimbangkan kepentingan strategis-militer dengan realitas geopolitik yang lebih luas daripada bergantung pada penyelarasan ideologis, kata Andi.

2 dari 3 halaman

Pengamat: Sesuai dengan Konstitusi Indonesia

Selaras kebijakan anti-kolonialisme tersebut, Pengamat Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana menyebut bahwa hal ini terjadi lantaran Indonesia memegang perspektif yang tertuang dalam konstitusi RI.

"Kita mendasarkan diri pada konstitusi dan pada paragraf empat pembukaan konstitusi kita, yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia akan ikut serta dalam pembentukan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial," kata Hikmahanto

"Kami berpihak pada kemanusiaan. Dan ini sangat penting, bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk negara-negara dunia ketiga.

"Karena ketika presiden kita bertemu dengan para pemimpin G7, Presiden Zelensky dan juga Presiden Putin, beliau menyatakan bahwa yang akan menderita akibat perang di Ukraina adalah negara-negara dunia ketiga, yaitu rakyat."

 

3 dari 3 halaman

Situasi di Gaza

Hikmahanto mengangkat contoh tentang apa yang terjadi di Gaza. Dimana negara-negara Barat, seolah-olah memaafkan genosida yang dilancarkan oleh pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina.

"Dan karena itu, pemerintah kita menyuarakan keprihatinan itu melalui PBB, Dewan Keamanan, dan juga kepada Majelis Umum. Bahkan beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berbicara di hadapan Mahkamah Internasional ketika negara-negara diundang oleh ICJ untuk memberikan pandangan mereka sehingga ICJ dapat menanggapi pertanyaan dari Majelis Umum."

"Maka dengan hormat ini, pemerintah kita bekerja sama dengan negara-negara lain, termasuk Rusia, untuk mengatakan bahwa janganlah kita didominasi oleh satu negara saja. Marilah kita berdamai dan berpihak pada kemanusiaan. Karena kita memahami bahwa di antara lima anggota tetap PBB, tiga di antaranya berasal dari dunia Barat."