Liputan6.com, Lebanon - Setidaknya 11 orang tewas dan 108 lainnya cedera dalam serangan Israel di Lebanon sejak Jumat (13/9), sehingga jumlah korban tewas sejak 16 September menjadi 1.030 dengan 6.352 cedera, kata Kementerian Kesehatan pada Sabtu (27/9).
Sejak dimulainya bentrokan antara Israel dan Hizbullah Oktober 2023 lalu, telah terjadi 1.640 kematian, termasuk 104 anak dan 194 wanita, dan 8.408 orang cedera, Menteri Kesehatan Firas Alabiad mengatakan dalam konferensi pers seperti dikutip dari Anadolu Agency (AA), Senin (30/9/2024).
Baca Juga
"Dari 8 Oktober 2023 hingga 15 September 2024, ada 610 orang tewas, termasuk 38 wanita dan 17 anak-anak, bersama dengan 2.056 cedera," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Firas Alabiad.
Advertisement
Menkes Alabiad mengatakan bahwa sejak 16 September, dua hari sebelum ledakan perangkat komunikasi nirkabel di Lebanon, hingga Jumat, telah terjadi 1.030 korban tewas, termasuk 156 wanita dan 87 anak-anak, serta 6.352 korban luka-luka.
"Ada korban yang tewas di bawah reruntuhan, sementara banyak yang hilang," kata Menkes Alabiad.
Pada 17 dan 18 September, puluhan orang tewas dan ribuan orang, termasuk anak-anak dan wanita, terluka dalam dua gelombang ledakan yang menargetkan pager dan perangkat komunikasi nirkabel ICOM di Lebanon, dengan Beirut dan Hizbullah menganggap Israel bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Hizbullah dan Israel telah terlibat dalam perang lintas perbatasan sejak dimulainya serangan Israel di Jalur Gaza, yang telah menewaskan hampir 41.600 orang. Serangan udara besar-besaran baru-baru ini oleh Israel juga menewaskan pemimpin kelompok Lebanon, Hassan Nasrallah.
Â
AS dan Prancis Desak Gencatan Senjata Segera 21 Hari di Lebanon, Imbas Konflik Hizbullah Vs Israel Kian Panas
Uni Eropa, Amerika Serikat, Prancis dan delapan negara lainnya pada Rabu (25/9) menyerukan gencatan senjata segera selama 21 hari di sepanjang perbatasan Israel-Lebanon.
Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar ikut menyerukan dalam seruan gencatan senjata, yang menyatakan bahwa konflik regional yang lebih luas “tidak ada kepentingannya, baik bagi rakyat Israel maupun rakyat Lebanon.".
Para pemimpin AS dan Prancis bersama-sama mendesak gencatan senjata segera selama 21 hari di Lebanon, dalam seruan yang diikuti oleh sekutu saat jumlah korban tewas akibat serangan Israel terhadap Hizbullah kian meningkat.
Presiden Joe Biden dan Emmanuel Macron bertemu di sela-sela UN General Assembly (UNGA) atau Sidang Umum PBB di New York saat mereka menyuarakan kekhawatiran bahwa konflik, setelah pertumpahan darah selama setahun di Gaza, akan meningkat menjadi perang regional besar-besaran.
Situasi di Lebanon telah menjadi "tidak dapat ditoleransi" dan "tidak menguntungkan siapa pun, baik rakyat Israel maupun rakyat Lebanon," kata pernyataan bersama yang dirilis oleh Gedung Putih.
"Kami menyerukan gencatan senjata segera selama 21 hari di perbatasan Lebanon-Israel untuk memberi ruang bagi diplomasi menuju penyelesaian diplomatik," demikian pernyataan yang dikeluarkan bersama dengan kekuatan Barat, Jepang, dan kekuatan utama Teluk Arab -- Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab seperti dikutip dari AFP, Kamis ((26/9/2024).
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot sebelumnya mengungkap usulan tersebut pada sesi darurat Dewan KeamananPBB.
"Telah terjadi kemajuan penting dalam beberapa jam terakhir," kata Barrot. "Kami telah berupaya sejak awal minggu ini di New York untuk mencapai solusi diplomatik dengan khususnya teman-teman Amerika kami."
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak gencatan senjata segera di Lebanon dan memperingatkan, "Neraka sedang terjadi."Â
Advertisement
TNI dan Kemlu RI Bahas Pemulangan WNI di Lebanon
Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha menyebut bahwa pihak Kemlu RI telah mengadakan rapat teknis pada tgl 26 September 2024 yang membahas soal perkembangan situasi pasukan TNI di UNIFIL serta pelindungan WNI.
"Jika keadaan semakin tereskalasi, pasukan TNI di UNIFIL siap memberikan dukungan proses evakuasi WNI di Lebanon, dengan tetap berkoordinasi melalui Force Commander UNIFIL," kata Judha Nugraha dalam pernyataannya kepada awak media, Kamis (26/9/2024).
"Hingga saat ini terdapat 155 WNI di Lebanon."
"Sejak KBRI Beirut menetapkan Siaga 1 utk seluruh Lebanon, Kemlu RI dan KBRI telah memfasilitasi evakuasi 25 WNI. Sedangkan mayoritas lainnya memilih untuk tetap tinggal di Lebanon."
Â
Cerita Ratusan Warga Beirut Tidur di Jalanan Usai Serangan Israel ke Lebanon
Asap masih mengepul dari pinggiran selatan Beirut Sabtu (28/9/2024) pagi, terlihat banyak keluarga yang telah meninggalkan rumah mereka di sana, malam sebelumnya untuk menghindari pemboman besar-besaran Israel.Â
Itu adalah malam yang mengerikan. Pasalnya mereka keluar di tengah ledakan yang mengguncang bumi, mencari ruang dengan sia-sia di salah satu sekolah yang penuh sesak yang berubah menjadi tempat penampungan.
Pada pagi hari, ratusan keluarga tidur di alun-alun umum, di pantai atau di dalam mobil di sekitar Beirut.
Barisan orang berjalan dengan susah payah ke pegunungan di atas ibu kota Lebanon, menggendong bayi dan beberapa barang.
Sebelumnya, Israel melancarkan serangkaian serangan di berbagai bagian Dahiyeh, kumpulan pinggiran kota yang sebagian besar berpenduduk Syiah di tepi selatan Beirut tempat puluhan ribu penduduk tinggal. Ledakan terbesar yang melanda Beirut dalam hampir satu tahun konflik menewaskan pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah.
Dikutip dari laman Japan Today, Minggu (29/9) serangan itu merupakan bagian dari eskalasi cepat serangan Israel minggu lalu yang telah menewaskan lebih dari 700 orang di Lebanon.
Israel telah bersumpah untuk melumpuhkan Hizbullah dan mengakhiri 11 bulan serangannya ke wilayah Israel dalam apa yang Nasrallah gambarkan sebagai "front dukungan" bagi sekutunya Hamas di Gaza.
Orang-orang yang melarikan diri dari kekacauan pada Jumat kemarin malam bergabung dengan puluhan ribu orang yang telah melarikan diri ke Beirut dan daerah lain di Lebanon selatan minggu lalu untuk menghindari pemboman Israel.
Bagi banyak penduduk Dahiyeh, evakuasi paksa itu terasa sangat familiar.
Beberapa adalah warga Lebanon yang telah mengalami perang yang berlangsung selama sebulan antara Israel dan Hizbullah pada tahun 2006, ketika Israel menghancurkan sebagian besar pinggiran kota Beirut. Yang lainnya adalah warga Suriah yang telah berlindung dari perang saudara yang panjang di negara mereka sendiri.
Advertisement