Sukses

Sudan Selatan Pakai Teknologi AI untuk Obati Pasien Digigit Ular Berbisa, Begini Caranya

Gigitan ular dapat menyebabkan kecacatan hingga kematian bila tidak ditangani dengan baik. Namun, kini kecerdasan buatan bisa membantu penanganan itu.

Liputan6.com, Sudan Selatan - Di daerah pedesaan miskin di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, gigitan ular menimbulkan ancaman yang lebih mematikan daripada kebanyakan penyakit tropis terabaikan lainnya. Di Sudan Selatan, Médecins sans Frontières sedang menguji coba alat bertenaga artificial intelligence (AI) yang diharapkan dapat menghentikan mereka menyelinap di bawah radar.

Dengan pengembangan software yang didukung oleh kecerdasan buatan itu, diharapkan perjuangan mengobati pasien gigitan ular secara tepat waktu demi menyelamatkan nyawa bakal dipermudah.

Gigitan ular merupakan serangan hewan yang berbahaya, tetapi lazim terjadi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 5,4 juta orang digigit ular setiap tahunnya. Di antara jutaan orang tersebut, 2,7 juta di antaranya sakit parah dan 138 ribu orang meninggal karena komplikasi. Antivenom (antibisa) yang digunakan untuk menangani kasus-kasus gigitan ular termasuk langka dan mahal. Oleh karena itu, identifikasi menjadi bagian yang sulit namun penting dalam pengobatan untuk memastikan bahwa antivenom hanya digunakan jika diperlukan. 

Melansir dari The Guardian, pada Senin (14/10/2024), teknologi identifikasi ular berbisa ini menggunakan basis data berisi 380 ribu gambar ular untuk mengidentifikasi spesies ular berbisa.

Dr. Gabriel Alcoba, penasihat medis MSF untuk gigitan ular dan penyakit tropis yang terabaikan, mengatakan, "hasil awal cukup menjanjikan; AI terkadang mengidentifikasi ular dengan lebih baik daripada para ahli."

“Saya ingat saat kami menggunakan album foto untuk mengidentifikasi ular di rumah sakit MSF. Staf medis akan membolak-balik foto untuk mencari tahu ular mana yang telah menggigit seorang pasien,” tambah Alcoba.

2 dari 3 halaman

Cara Kerja AI dalam Mengidentifikasi Ular Berbisa

Aplikasi software ini sedang diujicobakan di dua rumah sakit MSF di Sudan Selatan, di mana jumlah orang yang dibawa ke rumah sakit karena gigitan ular cukup tinggi. Antara Januari dan akhir Juli 2024, lebih dari 300 pasien gigitan ular telah dirawat di fasilitas medis MSF di seluruh penjuru negeri tersebut.

Ketika seseorang digigit, petugas medis menganjurkan korban untuk mengambil foto pada saat itu juga atau meminta staf mereka untuk kembali ke lokasi, dengan hati-hati, untuk memotret ular tersebut.

Foto-foto tersebut kemudian dimasukkan ke dalam software berbasis AI untuk membantu mengidentifikasi jenis ular dan jenis perawatan apa yang diperlukan, bahkan sebelum pasien tiba di rumah sakit. Alcoba mengatakan bahwa keakuratan program ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan lebih banyak dana, penelitian, dan kualitas foto yang lebih baik.

"Seringkali, pasien menerima perawatan yang salah karena ularnya tidak diidentifikasi dengan benar, atau antivenom yang berharga terbuang percuma karena gigitan ular yang tidak berbisa, yang juga dapat menyebabkan efek samping yang serius. Antivenom sangat langka dan sangat mahal, biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien bisa mencapai satu bulan hingga satu tahun gaji," kata Alcoba.

3 dari 3 halaman

Gigitan Ular: Krisis bagi Masyarakat yang Paling Terpinggirkan

Gigitan ular kebanyakan terjadi kepada orang-orang miskin yang sulit mendapat akses terhadap bantuan medis. Korban-korban gigitan ular biasanya adalah petani yang bekerja di ladang, penggembala ternak dan pekerja pertanian lainnya, serta anak-anak.

Bencana alam, seperti banjir, dan orang-orang yang terlantar akibat konflik juga semakin meningkatkan kemungkinan pertemuan yang tidak diinginkan antara manusia dan ular.

Melansir dari Geneva Solutions (30/9), Gabriel Alcoba mengatakan, "Ini adalah penyakit orang yang bertelanjang kaki, orang yang terlantar, krisis kemanusiaan dan konflik."

"Ini adalah penyakit yang terabaikan - oleh pihak berwenang, dunia akademis dan industri farmasi," tambahnya, menyesalkan kurangnya perhatian internasional terhadap gigitan ular.

David Williams, seorang ahli gigitan ular WHO, mengatakan bahwa masyarakat pedesaan adalah yang paling parah terkena dampak gigitan ular. Menurutnya, mayoritas dari 240.000 orang yang menjadi cacat akibat gigitan ular setiap tahunnya terdorong ke dalam kemiskinan akibat biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan.

Williams mengatakan bahwa kerusakan iklim menyebabkan meningkatnya kekhawatiran tentang gigitan ular, dengan banjir baru-baru ini yang menyebabkan peningkatan insiden di Sudan Selatan, Bangladesh, Nigeria, Pakistan dan Myanmar.

Banyak dari negara-negara tersebut tidak memiliki perawatan yang memadai. Selain itu, kurangnya regulasi telah menyebabkan penjualan antivenom palsu yang telah mengikis kepercayaan di banyak komunitas.