Sukses

Menlu Lebanon: Sebelum Dibunuh Israel, Hassan Nasrallah Sudah Setuju Gencatan Senjata

Rencana gencatan senjata Hizbullah dan Israel diusulkan selama 21 hari.

Liputan6.com, Beirut - Menteri Luar Negeri Lebanon Abdallah Bou Habib mengatakan kepada bahwa pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah telah menyetujui gencatan senjata selama 21 hari beberapa hari sebelum dia dibunuh oleh Israel.

Gencatan senjata sementara tersebut diserukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan sekutu lainnya selama Sidang ke-79 Majelis Umum PBB pekan lalu.

"Dia (Nasrallah) setuju, dia setuju," kata Habib, seperti dikutip dari CNN, Jumat (4/10/2024).

"Kami setuju sepenuhnya. Lebanon menyetujui gencatan senjata, namun berkonsultasi dengan Hizbullah. Ketua DPR Lebanon Nabih Berri berkonsultasi dengan Hizbullah dan kami memberi tahu AS dan Prancis tentang apa yang terjadi. Dan mereka memberi tahu kami bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga menyetujui pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua presiden (Biden dan Macron)."

Penasihat senior Gedung Putih Amos Hochstein, ujar Habib, kemudian bersiap pergi ke Lebanon untuk merundingkan gencatan senjata.

"Mereka memberi tahu kami bahwa Netanyahu menyetujui hal ini dan kami juga memperoleh persetujuan dari Hizbullah mengenai hal itu dan Anda tahu apa yang terjadi sejak saat itu," tutur Habib.

Nasrallah tewas dalam serangan udara Israel pada hari Jumat (27/9) di pinggiran selatan ibu kota Lebanon, Beirut.

Sehari sebelumnya, AS, Prancis, Australia, Kanada, Uni Eropa, Jerman, Italia, Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Qatar mengeluarkan pernyataan bersama yang isinya menyerukan gencatan senjata selama 21 hari, "untuk memberi kesempatan bagi diplomasi agar berhasil dan menghindari eskalasi lebih lanjut di perbatasan."

2 dari 2 halaman

Pengaruh AS Berkurang di Timur Tengah?

Seorang sumber Barat yang mengetahui negosiasi juga mengonfirmasi Hizbullah telah menyetujui gencatan senjata sementara, sesaat sebelum AS merilis proposal tersebut pekan lalu. Sumber tersebut tidak mengatakan apakah keputusan itu datang langsung dari Nasrallah, namun menegaskan bahwa agar gerakan tersebut setuju, mereka memerlukan persetujuannya. Sumber kedua yang mengetahui pembicaraan setuju bahwa AS mengetahui Hizbullah menyetujui gencatan senjata.

Namun, seorang pejabat dari pemerintahan Biden mengatakan kepada CNN pihaknya tidak pernah mendengar Nasrallah menyetujui kesepakatan itu.

"Jika benar, (itu) tidak pernah dikomunikasikan kepada kami," kata pejabat pemerintahan Biden.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Matthew Miller tidak mengesampingkan bahwa itu telah terjadi, namun juga mengatakan AS tidak mengetahuinya.

"Saya tidak dapat berbicara tentang apakah dia pernah menyetujuinya dan memberi tahu seseorang di Lebanon. Jelas, itu bisa menjadi sesuatu yang terjadi yang tidak akan kami ketahui. Saya dapat memberi tahu Anda bahwa jika itu benar itu tidak pernah dikomunikasikan kepada kami dalam bentuk apa pun," kata Miller kepada CNN pada Kamis.

"Kami melakukan sejumlah pertemuan diplomatik untuk membicarakan proposal yang akan kami ajukan. Saya pikir semua pihak sangat menyadari proposal yang akan kami ajukan, tetapi tidak ada satu pun dalam percakapan itu kami mendapat pesan bahwa Hizbullah telah setuju atau akan menyetujuinya."

Menanggapi pertanyaan tentang pengaruh AS yang semakin berkurang di kawasan, Habib mengatakan Washington "selalu penting dalam hal ini".

"Saya rasa kami tidak punya alternatif lain. Kami butuh bantuan AS. Apakah kami mendapatkannya atau tidak, kami belum yakin, tetapi AS sangat penting, vital agar gencatan senjata dapat terwujud," imbuhnya.