Sukses

Kisah Ahli Jantung Palestina-AS Kehilangan 175 Anggota Keluarga dalam Perang Gaza

Sudah 42,409 warga Palestina di Jalur Gaza tewas akibat serangan Israel. Kapan perang berakhir?

Liputan6.com, Gaza - Angka-angka dapat diperdebatkan, dipolitisasi, dijadikan senjata. Namun, selama perang terbaru Hamas versus Israel, angka menjadi bukti tindakan luar biasa kejam: menghilangkan identitas.

Dengan semakin banyaknya korban tewas, angka seolah menjadikan tragedi kemanusiaan sekadar hitungan, mengaburkan duka seorang ibu, tangis seorang anak, dan harapan seorang ayah. Tidak hanya di sisi Jalur Gaza, namun juga Israel.

Tariq Haddad menyimpan angka 175 di benaknya. Itulah jumlah anggota keluarganya yang diyakininya tewas di Jalur Gaza selama lebih dari 12 bulan terakhir, sejak perang pada 7 Oktober 2023, yang diawali dengan serangan Hamas ke Israel selatan. Angka yang dicatat Haddad mungkin bertambah, namun tetap dia bertekad membagikan kisahnya.

"Hamza baru berusia 10 tahun," ujarnya kepada Al Arabiya News merujuk pada salah satu kerabatnya, seperti dikutip Kamis (16/10/2024).

"Dia satu-satunya anggota keluarganya yang selamat. Dia terbangun di rumah sakit dengan amputasi dan kabar bahwa orang tuanya, paman-pamannya, kakek-neneknya, setiap anggota keluarganya tewas. Dan kemudian dia sendiri meninggal karena trauma akibat amputasinya."

Delapan adalah jumlah mil dari praktik medis Haddad di Virginia ke Gedung Putih dan Kementerian Luar Negeri AS.

Sebagai seorang ahli jantung Palestina-Amerika Serikat (AS), Haddad menghabiskan hari-harinya menyelamatkan nyawa orang asing sementara tidak berdaya menyelamatkan keluarganya sendiri. Ketika kabar tentang kisahnya sampai ke kantor Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Haddad pun diundang untuk bertemu.

Namun, dia kemudian diberitahu bahwa pertemuan itu hanya akan berlangsung selama 3 menit. Itu adalah angka lain yang menurutnya tidak dapat diterima – waktu yang tidak memadai untuk mengungkapkan kemarahannya atas konsekuensi dukungan militer AS terhadap Israel. Jadilah dia menulis surat sepanjang 12 halaman, alih-alih memilih bertatap muka dengan Blinken.

"Bagaimana saya bisa menatap mata seseorang selama tiga menit yang tidak hanya dapat mencegah kematian anggota keluarga saya dan 15.000 anak di Gaza yang tewas, namun juga secara aktif berkontribusi terhadap penderitaan dan kematian mereka dengan menyediakan amunisi militer dari pasokan militer AS untuk membunuh keluarga saya dan menghancurkan rumah mereka?"

Haddad mengatakan suratnya tidak mendapat tanggapan.

2 dari 2 halaman

Ingin Hidup Damai

Angka 3 memiliki resonansi yang berbeda bagi Michael Levy. Itulah usia yang dicapai oleh keponakannya Almog – yang dikenal sebagai Moggy – pada ulang tahunnya yang terakhir. Orang tua Moggy, Or dan Eynav, tidak dapat berbagi kesempatan itu.

Ibu meninggal di tempat perlindungan bom di festival musik Supernova pada 7 Oktober, yang diserbu Hamas. Michael mengatakan Or berhasil menelepon keluarganya dari tempat perlindungan.

"Dia hanya mengulang sebuah kalimat. 'Ibu, Ibu tidak dapat menyangka apa yang terjadi di sini.' Sepuluh menit kemudian, teroris tiba di tempat perlindungan bom dan menembakinya dengan peluru dan granat, mereka bahkan menembakkan granat berpeluncur roket (RPG) ke dalamnya," tutur Levy.

Dari 27 orang di tempat perlindungan itu, hanya sedikit yang selamat. Or adalah salah satunya. Dia disebut diseret ke truk, bersama dengan Hersh Goldberg-Polin yang lengannya putus setelah mencoba melemparkan granat ke luar tempat perlindungan.

Goldberg-Polin termasuk di antara enam mayat yang ditemukan dari sebuah terowongan di Jalur Gaza oleh tentara Israel pada bulan September. Ayah Moggy dikabarkan masih berada di Jalur Gaza.

Levy menjadikan pembebasan saudaranya sebagai misinya. Dia telah berbicara dengan Paus Fransiskus, presiden, dan perdana menteri dalam upayanya mencapai tujuan itu. Dia menerima simpati dan dukungan, namun seperti Haddad, usahanya tidak membuahkan hasil.

"Kita semua ingin hidup damai," kata Levy kepada Al Arabiya News.

"Saya ingin hidup damai dengan Palestina. Saya tidak membenci siapa pun. Saya hanya ingin saudara saya kembali dan para sandera lainnya kembali. Dan semoga kita dapat menemukan cara untuk hidup bersama dalam damai."

Haddad juga mengakui adanya ikatan bersama antara orang-orang tak berdosa di kedua belah pihak yang terus berbagi penderitaan dan kesedihan setiap hari.

"Saya rasa ada kemanusiaan dalam diri kita semua yang mengikat kita bersama. Dan saya berdiri di sini dan mengatakan bahwa saya dapat merasakan dan berempati dengan penderitaan siapa pun," ungkap Haddad.

Demikian kisah dua manusia, seorang Palestina dan seorang Israel, yang sangat menginginkan berakhirnya perang. Keduanya sepakat bahwa lebih dari 365 hari yang terlampaui sejak 7 Oktober 2023 adalah jumlah yang tidak boleh terus bertambah.

Video Terkini